Pemerintah RI Abai terhadap UMKM; Bom Kemiskinan Menghadang, Komoditas Budaya Terancam

Sepanjang tahun 2011, pemerintah seperti “sengaja” membiarkan UMKM (usaha  mikro, kecil dan menengah) dalam kubangan ketakberadayaan tanpa ujung. Sistem ekonomi pasar bebas yang terjadi melalui perjanjian global antara Indonesia dengan negara lain seperti; AFTA, ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement), ASEAN+3, AANZFTA dsb, dan kepentingan “politik” jangka pendek sepertinya menjadi sandungan UMKM selama tahun 2011.

Catatan kami dalam kurun waktu itu, pertama, ACFTA makin menyengsarakan rakyat melalui UMKM, karena pemerintah tidak memperbaiki sistem ekonomi berbiaya tinggi (seperti carut-marutnya perizinan, percaloan, KKN, dsb) dan korupsi di birokrasi yang dijadikan “gizi” partai politik. Terbukti, kain tenun Nusa tenggara misalnya kalah saing dengan tenunan China, batik lokal berangsur-angsur tersisih dengan batik China, karena harganya lebih murah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2010, neraca perdagangan Indonesia dengan China defisit lebih dari empat miliar dolar Amerika Serikat.

Akibatnya – salah satu contoh — 400 perempuan (dampingan ASPPUK) yang mempunyai usaha konveksi di Nusa Tenggara Barat mengalami penurunan omset sampai 35%, ratusan pengrajin batik di Jawa Tengah kelimpungan, sehingga masyarakat yang dulunya produsen batik, kini mulai menjadi pedagang produk China karena harganya murah dan cepat terbeli. Kondisi ini sangat rawan bagi masyarakat penjual barang (apalagi produk China), bukan sebagai produsen. Anehnya, bahan baku kita banyak diekspor ke luar negri, sehingga di sini mengalami kekosongan stok, seperti; benang, alat pewarna batik dsb. Dari tahun 2009, Indonesia mengalami kenaikan import tinggi dalam migas sebesar 73,5%, dibanding Brunei yang hanya 48,1%, Vietnam 29%, dan Thailand 26,9%. Dan terjadi penurunan surplus perdagangan Indonesia ke China yang deficit sebsar 3,61 sejak tahun 2008. Sementara di sector non migas, juga mengalami defisit yang sangat besar dari surplus 79 juta dolar AS di tahun 2004 menjadi defisit 7,16 miliar dolar AS pada tahun 2008. Bahkan antara Januari – November 2011, impor minuman naik 16,2 % menjadi 220,9 juta dolar AS, padahal tahun 2010 hanya 216 juta. Dalam hal itu, Malasyia pengimpor pangan paling besar dengan jumlah 24,1%, China 13,9% dan Thailand 9,9% (Kompas, 22 Desember 2011).

Kedua, pertumbuhan pasar modern (seperti hyper mart, carefour dsb) makin tak terkendali, mengakibatkan penurunan pasar tradisional di sejumlah daerah. Antara tahun 1997 hingga 2005 (FAO,2006), bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional. Di situ terlihat pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern, padahal pasar tradisional merupakan tempat usaha rakyat, terutama perempuan pelaku usaha mikro. Persaingan pun menjadi tidak adil. Pemerintah seolah absen dalam situasi seperti itu. KPPU (komisi pengawasan dan persaingan usaha) belum berperan dengan baik. Ia hanya fokus pada persaingan diantara usaha-usaha menengah dan besar.
 
Ketiga, hubungan antara usaha besar, mikro dan kecil, masih belum fair dan tidak saling menguntungkan. Selama ini usaha mikro dan kecil belum dianggap sebagai patners yang sama-sama saling membutuhkan. Pemerintah lebih condong kepada kroni pengusaha-pengusaha besar melalui berbagai fasilitas. UMKM, terutama mikro dan kecil hanya dianggap “pelengkap” penderita.

Keempat, produk-produk yang mempunyai nilai budaya tinggi tidak mendapat prioritas perlindungan pemerintah (padahal ini melibatkan rakyat banyak). Akses pasar dan pengembangan produk misalnya, seperti tak terurus dan diserahkan melalui mekanisme pasar. Kalau pun ada perhatian pemerintah, biasanya sekedar janji saat menjelang pemilu, dan dilupakan setelahnya. Sebagai contoh, kain tenun lokal (di Kalimantan Barat) dan batik pewarna alam lokal di Jawa Tengah, dan produk bernuansa budaya lainnya. Para pengrajin yang sebagian besar perempun berjuang sendirian untuk mempertahankan kelestarian budaya dan kekayaan alamnya tanpa dukungan pemerintah. Sejatinya kekayaan alam ini digali dan dieksplorasi pemerintah sebagai asset negara. Pengabaian kontribusi UMKM dan pemberdayaan yang tidak tulus kepadanya menyimpan kerentanan masyarakat untuk jatuh kepada kemiskinan. Atau jangan-jangan secara sengaja UMKM dikondisikan seperti ini?

Padahal kontribusi UMKM pada perekonomian nasional sangat signifikan. Data BPS tahun 2009, menyatakan jumlah UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja. Kontribusi terhadap PDB sebesar 56,70 %. Dan diperkirakan 60 % diantaranya dikelola perempuan (data Kementerian Koperasi dan UKM).

Oleh karenya, ASPPUK, asosiasi pendamping perempuan usaha kecil, yang bekerja dengan lebih dari 68 JARPUK (jaringan perempuan usaha kecil) di 19 propinsi, menuntut berbagai hal berikut;

  1. Bila ingin serius menanggulangi kemiskinan, Pemerintah RI diminta untuk menangani UMKM secara konprehensif dan sistematis. Karena keseriusan mengurusinya merupakan langkah awal penyusunan fondasi ekonomi yang kuat dan penciptaan SDM yang produktif dan tidak rapuh.
  2. Jadikanlah UMKM sebagai bagian penting perkonomian Indonesia. Ia telah menjadi katup pengaman rakyat untuk tidak jatuh ke kemiskinan dan membangun rakyat lebih produktif. Stop politisasi kemiskinan dan UMKM, serta tinjau ulang kebijakan pembangunan pasar modern dan bersegera merevitalisasi pasar tradisional.
  3.  Produk-produk yang bernilai budaya, selayaknya mendapat perhatian khusus guna menjadi “marwah” bangsa, dan pelestari budaya.

Salam,

M. Firdaus
Deputy SEN (Sekertaris Eksekutif Nasional)