Kemiskinan Kian Merisaukan

Jakarta, cetak.Kompas.com. Laju penurunan angka kemiskinan semakin lambat. Di sisi lain, angka inflasi meningkat seiring kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Belum terhitung beban masyarakat, termasuk mereka yang marjinal, seiring kenaikan tarif dasar listrik per 1 Juli 2010. Beban semakin berat. Kemiskinan kian merisaukan.

Laju kemiskinan yang semakin melambat dilansir oleh Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan. Laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009-Maret 2010 hanya 0,82 persen. Lebih lambat dibandingkan dengan periode Maret 2008-Maret 2009 sebesar 1,27 persen. ”Target angka kemiskinan nasional 11 persen tahun ini bakal sulit tercapai,” ujar Rusman.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta orang atau 13,33 persen. Berkurang 1,51 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang (14,15 persen).

Catatan pengamat ekonomi Faisal Basri menyebutkan, dalam 15 tahun ini angka kemiskinan absolut turun, tetapi lambat, yakni dari 17,7 persen tahun 1996 menjadi 13,3 persen tahun 2010. Bahkan, pada tahun 2006, angka kemiskinan absolut naik cukup tajam menjadi 17,8 persen dibanding 16 persen tahun 2005.

”Penurunan kemiskinan yang lambat perlu menjadi evaluasi bagi kita semua,” ujar Rusman.

Nada keprihatinan Rusman ini disebabkan angka itu belum memperhitungkan dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang bisa berimbas terhadap kenaikan inflasi 0,22 persen, Juli 2010. Itu pun dengan asumsi harga barang tidak akan naik sebagai dampak kenaikan TDL.

”Jika harga barang ikut naik, kenaikan inflasi bisa lebih besar,” ujar Rusman.

Target inflasi 5,3 persen tahun ini bakal terlampaui. Soalnya, selama Januari-Juni 2010, inflasi sudah 2,42 persen. Padahal, pada semester II ini, inflasi akan semakin tinggi, karena pada Juli-September ada pemicu lain, yakni biaya sekolah tahun ajaran baru, puasa, dan Idul Fitri.

Pendapatan tetap

Kalangan pengusaha yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, kenaikan TDL sangat memukul pengusaha, termasuk industri kecil dan menengah (UKM). TDL yang disepakati naik 10-15 persen ternyata naik 11-80 persen bagi pengusaha.

Dampak kenaikan ini bakal terasa pada kenaikan harga barang. Alhasil, beban kehidupan pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat dengan penghasilan marjinal lainnya semakin berat.

Analis sosial Akatiga, Indrasari Tjandraningsih, yang dihubungi di Bandung, menyebutkan, pihaknya bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia, Serikat Pekerja Nasional, Gabungan Serikat Buruh Garmen dan Tekstil (Garteks), dan serikat buruh tekstil regional TWARO membuat survei upah layak buruh garmen dan tekstil di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Survei pada 384 responden yang dilaksanakan di Jakarta Utara, Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Bogor, Sukabumi, Semarang, Sukoharjo, dan Karanganyar menemukan bahwa buruh menerima upah total rata-rata Rp 1.090.253 per bulan. Jumlah itu di bawah rata-rata pengeluaran riil total mereka yang mencapai Rp 1.467.896 per bulan. Artinya, buruh garmen dan tekstil hanya menerima upah 74,3 persen dari kebutuhan riil mereka. Adapun pengeluaran terbesar buruh adalah kebutuhan pangan yang bisa mencapai hampir separuhnya.

Tarmaji (36), pekerja di sebuah perusahaan furnitur di kawasan Surabaya barat, dan menerima upah minimum Rp 1.031.500 per bulan, menjadi contoh nasib kebanyakan buruh di negeri ini. Tarmaji harus sungguh-sungguh menghemat supaya gajinya cukup pula untuk menghidupi istri, anak, serta ibunya di Tuban.

Untuk berhemat, kamar tidur dengan harga sewa Rp 180.000 per bulan digunakan bertiga. Tarmaji dan dua temannya memasak sendiri di tempat indekos. Kendati demikian, setiap hari diperlukan sekitar Rp 12.000 untuk tiga kali makan. Ditambah biaya untuk membeli pulsa sekitar Rp 10.000 seminggu, kebutuhan pribadi Tarmaji sebulan sekitar Rp 460.000.

Biaya lainnya hanya untuk membeli bensin, bahan bakar sepeda motornya. Kendaraan roda dua ini dipilih karena hemat. Untuk pulang ke Tuban dua minggu sekali mengunjungi istri dan seorang anak, serta ibunya, Tarmaji cukup menyediakan Rp 26.000 untuk bensin. Selebihnya, Tarmaji menyerahkan gajinya kepada istrinya.

Nasib Tarmiji juga tak beda jauh dengan yang dihadapi nelayan. Sekretaris KUD Mina Bahari di Eretan Kulon, Kabupaten Indramayu, Royani, langsung mengatakan, kenaikan TDL mengakibatkan biaya melaut nelayan membengkak, khususnya biaya pembelian balok es dan logistik. Harga es naik dari Rp 7.000 jadi Rp 9.000, mengakibatkan biaya melaut bertambah Rp 400.000-Rp 600.000. Itu karena, sekali melaut, nelayan Eretan membawa 200-300 balok es.

Sementara itu, harga ikan malah cenderung turun. Ketua KUD Mina Bumi Bahari di Gebang, Dasuki, mengatakan, perolehan ikan tangkap nelayan Cirebon turun sampai 50 persen. Itu karena cuaca yang berubah-ubah sehingga pergerakan ikan tidak bisa ditebak. Seharusnya, bulan Mei-Juli, nelayan di Cirebon bisa panen ikan.

Beratnya impitan hidup dirasakan oleh nelayan kecil di Muara Angke, Jakarta Utara. Edi Sukardi, pengurus Serikat Nelayan Tradisional di Muara Angke, Jumat, menuturkan, selama dua bulan terakhir harga bahan kebutuhan pokok naik.

Harga beras kualitas sedang saat ini Rp 5.800 per kilogram (kg), padahal sebelumnya Rp 5.000-Rp 5.200 per kg.

Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok berlangsung saat hasil tangkapan semakin tak pasti. Pencemaran perairan di Teluk Jakarta serta perubahan cuaca dan iklim membuat hasil tangkapan ikan terus menurun. Sebagian nelayan kini beralih profesi menjadi tukang becak, pemulung, tukang ojek, dan buruh.

”Nelayan sudah bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan, tetapi harga sembako semakin naik. Kalau begini terus, barang akan semakin susah terbeli,” ujar Edi.

Petani senasib

Beban kehidupan petani juga setali tiga uang. Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, Minggu, di Indramayu, pendapatan petani sekarang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan. Bahkan, masih ada sebagian petani yang dari hasil usaha taninya saja tak cukup untuk membeli makan. Mereka terpaksa bekerja menjadi buruh di tempat lain. ”Dengan adanya kenaikan TDL, hidup petani semakin berat,” katanya.

Kenaikan TDL pasti diikuti kenaikan biaya hidup lain, seperti untuk makan. ”Petani, kan, tidak hanya makan nasi saja, perlu lauk-pauk dan bumbu-bumbu. Kalau TDL naik, harga minyak goreng naik, gas naik, biaya pendidikan naik, transportasi juga naik,” katanya.

Nantinya akan berdampak terhadap nilai tukar petani yang semakin rendah, karena indeks harga yang diterima petani lebih rendah dari yang dibayar. Dengan kata lain, biaya hidup yang dikeluarkan petani lebih besar sehingga akan terjadi pemiskinan.

Padahal, sedikitnya di Jawa ada sekitar 25 juta rumah tangga petani, sedangkan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan pemasok pangan terbesar nasional terutama beras. ”Dengan kenaikan TDL, hidup petani di Jawa jelas semakin berat,” katanya.(GRE/(THT/INA/MAS/lkt/ham/Ke)