Lembaga Keuangan Mikro Butuh Legalitas

Jakarta, Kompas – Potensi usaha mikro di Indonesia sangat besar. Hal ini yang membuat lembaga keuangan mikro berkembang pesat. Untuk itu, dibutuhkan undang-undang guna mengatur lembaga keuangan mikro.

Pengurus Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) menyampaikan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Senin (24/1).

Menurut Ketua Komite II DPD Bambang Susilo, rapat tersebut untuk menghimpun masukan yang akan menjadi bahan pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

LKM memiliki karakteristik sendiri sehingga tidak bisa dipaksakan sebagai badan hukum bank atau koperasi.

Isnaini Mukti Azis dari Bank Muamalat mengatakan, pelaku usaha mikro sulit mengakses kredit dari bank karena persyaratan untuk mendapat kredit sulit dipenuhi oleh usaha mikro. Dalam kondisi ini, LKM berperan strategis dalam menyalurkan kredit bagi usaha mikro.

”Kelemahannya, kalau LKM bangkrut, tidak bisa dituntut atau diminta tanggung jawabnya karena tidak ada badan hukumnya,” kata Isnaini.

Chairil Asfar Azis dari BII Syariah mengakui bahwa bank sulit menjangkau nasabah mikro. ”Keberadaan LKM membantu akses bank terhadap nasabah mikro melalui jaringan,” ujarnya.

Tahun 2008, kata Budiana Saifullah dari Jaringan Nasional Pendukung Usaha Kecil Menengah (JNPUKM), terdapat 51,2 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Sekitar 80 persen dari jumlah itu usaha mikro.

Di sisi lain, Syahril T Alam, Ketua divisi Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan LKM Syariah mengkritisi pasal 12 RUU tentang LKM. Pasal itu menyebutkan, LKM dapat menerima simpanan, memberi pinjaman, dan melakukan usaha lain yang tidak melanggar aturan.

”Ini luas sekali. Padahal, BPRS saja hanya memberi pinjaman dan menerima simpanan,” kata Syahril.

Besaran kredit mikro umumnya maksimal Rp 50 juta. Data Bank Indonesia, mengutip hasil studi GTZ-Profi sampai 2006, menyebutkan, total kredit mikro yang disalurkan Rp 49,656 triliun untuk 70,042 juta nasabah.

Dari kredit itu, Rp 16,154 triliun di antaranya disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat untuk 5,672 juta nasabah, Baitul Maal wat Tamwil menyalurkan Rp 264 miliar untuk 460.000 nasabah, dan Badan Kredit Desa menyalurkan Rp 197 juta untuk 480.000 nasabah. (idr)