Situasi Tanpa Perlawanan

(Penelusuran Kondisi Perempuan Usaha Mikro

 di Jawa Tengah)[1]

 Oleh M. Firdaus dan Ratih Dewayanti


[1] Tulisan ini adalah mengambil bahan dari hasil kajian Akatiga dan ASPPUK mengenai persoalan struktural Perempuann Pengusaha Mikro di Jawa Tengah.  Hasil studi secara lengkap akan segera terbit dalam bentuk buku. Dan tulisan ini adalah versi aslinya sebelum dimuat di Jurnal Perempuan, No.35, 2004.

Topik pembicaraan mengenai terpuruknya usaha rakyat yang berskala mikro, tak mungkin terlepas dari perempuan. Hal itu bisa diperjelas dengan data-data yang sudah banyak tersebar di penelitian, baik yang dilakukan oleh Ornop maupun isntansi pemerintah. Dari gambaran struktur ekonomi Indonesia, nampak jelas bahwa dari 39,72 juta unit usaha yang terhampar di belahan Indonesia, 39,71 juta atau 99,97% nya adalah usaha ekonomi yang melibatkan rakyat dalam jumlah besar, atau biasa dengan bahasa pemerintah dinamakan “usaha mikro”, “usaha kecil”, dan “menengah” (UMKM). Bila hal tersebut ditelusuri lebih jauh, maka ternyata usaha mikro yang mengais “rizqi” di dalamnya mempunyai porsi terbesar, dengan jumlah sekitar 98% atau sekitar 39 juta usaha.[1]


[1] Tulus Tambunan, “Industralisasi di Negara sedang Berkembang” Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2001.

Lebih jauh, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa lokasi terbesar dari usaha kecil-mikro berada sebagian besar  di pedesaan Jawa dan Bali dengan jumlah 68,78%.[1]  Bila analisis terhadap data tersebut dilanjutkan, maka jumlah perempuan yang berada dalam areal tersebut menempati porsi yang lumayan besar, bahkan sebagian besar. Data BPS menyebutkan bahwa jumlah usaha mikro dan kecil di tahun 2002, berjumlah 41,3 juta unit usaha. Dari jumlah tersebut, kurang lebih sebanyak 43% nya dikelola oleh perempuan.[2]

Fakta lain dari gambaran data di atas adalah bahwa usaha yang dijalankan perempuan dalam hal itu, merupakan usaha-usaha yang masuk dalam kategori “subsisten”. Artinya, usaha yang hasilnya lebih banyak habis untuk konsumsi sehari-hari. Perempuan melakukan jenis-jenis usaha ini sebagai “pilihan terakhir” di antara terbatasnya pilihan yang ada. Dalam hal ini usaha dimaknai bukan sebagai sarana untuk mengeksplorasi naluri enterprenership manusia, namun hal tersebut dilakukan karena tidak ada pilihan lain, dan bila ia tidak berusaha (atau bekerja), maka hidup keluarga dan dirinya akan terancam. Usaha yang dijalani oleh rakyat seperti diatas, oleh Jumani disebut dengan “subsistence cum commercial economy”.[3]       

Aras makro yang bisa menjelaskan kondisi masuknya rakyat, sebagian besar di antaranya perempuan, ke usaha subsisten adalah akibat kegagalan proses industrialisasi di negara berkembang, yang condong mengambil model-model pembangunan di negeri Barat. Konsep industrialiasi ala Barat mengandaikan bahwa ada harapan akan terjadinya kaitan yang harmonis dari hulu ke hilir, atau adanya stimulan yang efektif atas keberadaan industri-industri skala besar bagi usaha-usaha mikro yang masuk ke dalam rantai produksi industri tersebut. Namun yang terjadi, industri-industri manufaktur berskala besar tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi sebagian besar masyarakat, sebagai akibatnya muncul kegiatan-kegiatan ekonomi pinggiran yang berskala mikro dan kecil, terutama di perkotaan.[4]

Ciri yang penting dari perkembangan industrialisasi adalah tumbuhnya bentuk-bentuk produksi di luar sistem pabrik. Pesatnya pertumbuhan unit-unit usaha mikro di tingkat keluarga juga didukung oleh perempuan yang terlempar dari sektor formal karena hubungan industrial yang mengabaikan siklus hidup perempuan, seperti perkawinan dan memiliki anak. Dalam konteks itu, satu konsep yang dapat membantu memahami relasi antara industrialisasi dengan pekerjaan perempuan adalah marjinalisasi. Secara umum, konsep tersebut dapat didefinisikan sebagai proses dimana hubungan-hubungan kekuasaan antar manusia berubah dengan suatu cara sehingga salah satu kelompok terputus dari akses pada sumber-sumber daya vital yang kian lama dimonopoli oleh elit kecil. Konsekwensinya dalam proses tersebut, perempuan lebih tersisih dari laki-laki. Sehingga sebagai akibatnya, perempuan harus menyandarkan kehidupannya kepada sumber-sumber marjinal pada periferi ekonomi pasar.[5]   

Lebih jauh, karakteristik marjinal dan subsistennya ekonomi yang dijalankan perempuan dalam konteks itu, biasanya sektor-sektor yang lekat dengan fenomena kemiskinan di tingkat perdesaan. “Perempuan seringkali kehilangan bidang kegiatan dan kewenangan tradisionalnya serta menemukan dirinya terbuang ke dalam tugas-tugas yang dianggap berproduktivitas rendah dan tidak termodernisasi” dengan berbagai kondisi buruk yang menyertainya; upah yang rendah, berbagai intervensi pemerintah yang seringkali justru memperburuk kondisi dirinya, serta struktur hulu-hilir yang cenderung eksploitatif. Dalam keadaan seperti itu, perempuan dan kelompok miskin harus bertahan hidup dengan mengembangkan relasi-relasi ekonomi dan sosial yang terbatas, yang berkaitan dengan bagaimana perempuan usaha mikro dan kelompok miskin harus bertahan hidup.

Di sisi lain, perempuan yang bergerak di usaha mikro menyimpan sejumlah persoalan, yaitu dari yang bersifat teknis usaha sampai kepada yang bersifat struktural. Pada tingkat persoalan struktural, juga masih menyisakan problem lain; semisal dari hal yang dihubungkan dengan kebijakan formal pemerintah, dan lembaga kredit seperti perbankan, serta lembaga yang berwenang memberikan kelayakan produk, sampai pada hambatan struktural yang sifatnya dekat dengan “tubuh perempuan”. Dalam hal ini, yang sering terjadi adalah eksploitasi tarhadap perempuan, yang  disebabkan oleh ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan, seperti yang ditemukan dalam studi Akatiga dan ASPPUK di Jawa Tengah. Dan tak kalah pentingnya adalah kesulitan perempuan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik.[6]

Hasil-hasil temuan studi Akatiga dan ASPPUK dalam kasus perempuan produsen genteng di Klaten dan dan gula kelapa di Banyumas, cukup jelas memperlihatkan gambaran kondisi di atas. Dua contoh usaha tersebut yang berlokasi di perdesaan, memberikan gambar akan posisi dan relasi perempuan dengan pihak lain dalam kehidupan di masyarakat.

Situasi tak Adil dan “Kediaman” Perempuan

Berkecimpungnya perempuan sebagai produsen gula kelapa di Banyumas dan genting di Klaten, bukanlah hal baru. Bahkan pekerjaan itu digeluti perempuan sudah 2-3 (dua sampai tiga) generasi secara turun temurun. Secara umum, usaha mikro yang dijalani perempuan di pedesaan sangat dekat dengan sistem sosial dan budaya yang ada. Sistem patron klien yang kental juga ikut mewarnai hubungan perempuan (sebagai aktor dalam usaha tersebut) dengan pihak-pihak yang ada di sekitar usaha tersebut. Sebagai contoh, dalam hal transaksi yang mengiringi setiap dinamika usaha, perempuan tidak bisa terlepas dari aturan itu, seperti dilakukan secara langsung (face to face) berdasarkan kepercayaan, referensi pribadi, dan mengikuti aturan sosial yang berlaku di komunitas mereka. Memang, hal itu tidak saja terjadi di Jawa, namun pada umumnya di Asia Tenggara.[7]

Dalam konteks yang luas, pada umumnya ciri ekonomi perdesaan yang melekat pada kedua kasus adalah proses berbagi risiko. Hubungan kerja dan hubungan ekonomi yang terbangun di pedesaan, umumnya berbeda dengan hubungan ekonomi pasar yang impersonal dalam ekonomi perkotaan.[8] Artinya dalam konteks itu, hubungan ekonomi berubah menjadi bentuk hubungan pribadi yang kompleks, sehingga sulit untuk dipisahkan dalam waktu lama. Kemudian, pada sisi lain para pelaku pada dua usaha ini masih menyimpan ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya alam sebagai input bahan baku. Di usaha gula kelapa, pengrajin sangat tergantung kepada “nira”, yaitu cairan air yang diambil dari pucuk pohon kelapa yang merupakan sumber daya alam lokal, dan produksi genteng terhadap “lempung”, rambut (ijuk) yang bisa digantikan dengan grajen (serbuk kayu), serta minyak kacang.

Dari sisi produksinya, usaha genteng dan gula kelapa selalu melibatkan anggota keluarga untuk berbagi peran dalam produksinya. Artinya dalam hal itu, telah terbangun sistem produksi keluarga dimana didalamnya terdapat pembagian tugas diantara anggota keluarga. Sehingga dalam pembagian kerja yang terbagun, ada kombinasi antara pembagian jenis usaha yang dijalankan (diversifikasi usaha) yang dilakukan masing-masing. Dari kondisi umum dua usaha di pedesaan, berikut ini kondisi pembagain kerja dari tiap usaha, dimana analisis eksploitasi terhadap perempuan bisa terpaparkan.

Dalam proses produksi gula kelapa, rangkaian produksi dilakukan di rumah-rumah produsen gula, dan dikerjakan oleh anggota keluarga di dalam rumah tangga tersebut. Dari semua sirkulasi produksi di gula kelapa, peranan tenaga penderes dan pengindel serta relasi dengan pemilik pohon, merupakan faktor produksi terpenting yang harus dimiliki.[9] Dari sini bisa dipahami bahwa pembelian alat produksi bukan merupakan satu-satunya modal penting yang harus dimiliki oleh produsen gula kelapa, sebagaimana biasanya dilakukan di usaha lain.

Sebagaimana disebut di atas bahwa produksi gula kelapa menggunakan tenaga kerja keluarga. Dalam hal ini secara rinci; Suami atau anak laki-laki berperan sebagai penderes, dan isteri atau anak perempuan berperan sebagai pengindel. Pembagian yang sudah turun menurun ini berlangsung setiap hari, hanya pada waktu-waktu dan kondisi yang sangat mendesak saja peran tersebut digantikan oleh tenaga kerja upahan di luar keluarga, seperti pada kasus dimana suami – sebagai penderes – sakit atau mempunyai kesibukan lain di luar rumah. Untuk lebih jelasnya, tahapan produksi dan pembagian kerja dapat dilihat dalam  tabel berikut:

Tabel 2.2

Kombinasi Pembagian Kerja dan Alokasi Waktu Harian Produsen Gula

Waktu

Penderes (Laki-laki)

Pengindel (Perempuan)

04.00 – 05.00

Tidur

     Bangun Pagi, sholat

   Berbelanja ke pasar untuk membeli barang yang akan dijual

05.00 – 06.00

Bangun pagi, minum kopi, mandi, sarapan

06.00 – 07.00

07.00 – 08.00

Menderes (30 pohon) yang jaraknya terpisah-pisah

  • Mempersiapkan warung
  • Memasak air, menyiapkan sarapan, membereskan rumah, mencari kayu bakar di sekitar rumah
  • Mencuci pakaian, menyetrika, membersihkan rumah, menyapu halaman, memberi makan ternak,
  • Memanaskan nira, ngenclang (mencuci pongkor), mencari kayu bakar di sekitar rumah

08.00 – 09.00

09.00 – 10.00

10.00 – 11.00

          Mengindel: nggeneni, ngubek, nitis

          Memasak

          Istirahat, sholat dan makan siang.

          Menunggu warung

          Memberi makan ternak

11.00 – 12.00

Istirahat, mandi, sholat dan makan siang, membantu mencari kayu bakar, mencari pakan ternak

13.00 – 14.00

14.00 – 15.00

Menderes (30 pohon) yang jaraknya terpisah-pisah

15.00 – 16.00

          Mandi, istirahat, sholat

          Menyiapkan makan malam

          Memanaskan nira

          Menunggu warung

  Menjual ternak pada pedagang keliling

17.00 – 18.00

18.00 – 19.00

19.00 – 20.00

Mandi, sholat, makan malam

          Makan malam

          Cuci piring, beres-beres

          Memanaskan nira

          Menutup warung

20.00 – 21.00

Nonton TV

Minum kopi

Menghadiri pertemuan komunitas

21.00 – 22.00

Tidur

22.00 – 23.00

Tidur

 Sumber: Penelitian Lapangan 2002

Pembagian kerja dalam gambar tersebut memperlihatkan bahwapada hal-hal tertentu, seperti pekerjaan produktif baik itu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki (misalnya ketika memanasi nira),  seharusnya bisa disubstitusi atau digantikan oleh orang lain yang diupah. Namun hal itu, tidak dilakukan. Yang terjadi, perempuan tetap mengerjakan pekerjaan itu. Sementara pekerjaan domestik yang sepenuhnya dikerjakan oleh perempuan, tidak bisa disubstitusikan atau digantikan oleh anggota keluarga lain. Di sini lah – salah satu — letak pembagian kerja yang tidak fair bagi perempuan di produksi gula.   

Apalagi pola pembagian kerja ini merupakan bentuk yang dipertahankan terus dari waktu ke waktu, serta diwariskan pada generasi berikutnya. Dalam perjalanannya, hampir tidak ada pola pembagian kerja  yang berubah untuk kurun waktu yang cukup lama. Kondisi ini terjadi, karena dipengaruhi tidak saja oleh skala usaha yang juga cenderung tidak berubah dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi juga disebabkan hampir tidak ada pilihan pola pembagian kerja yang lain yang dapat dilakukan. Pola pembagian kerja yang ada merupakan hasil dari berbagai kombinasi dari berbagai sektor yang diusahakan perempuan dan keluarganya untuk tetap bertahan hidup. Wujud tersebut juga merupakan hasil kombinasi dengan berbagai pekerjaan rumah tangga yang juga tidak dapat dilepaskan dari hampir semua pelaku yang terlibat dalam usaha tersebut.

Merujuk pengertian Olin Wright (1997)[10], tentang eksploitasi, salah satunya berupa penutupan askes pada satu atau dua orang pelaku pasar. Dalam konteks itu, bila dilihat secara luas, eksploitasi – baik itu pada perempuan dan laki-laki – di usaha gula kelapa, berawal terutama dari adanya kebutuhan-kebutuhan produsen yang tidak dapat dipenuhi sehingga produsen harus berutang. Sehingga pemasaran produksinya harus terpaku pada orang yang telah memberi utang. Dengan ikatan tersebut, produsen tidak dapat memasarkan usahanya ke pembeli lain yang memberi harga lebih bagus.

Pada awalnya, utang dilakukan produsen dalam keadaan terdesak akibat adanya kebutuhan mendadak yang harus segera dipenuhi, seperti anak perlu uang untuk sekolah di tahun ajaran baru, ikut acara “selamatan” dll, namun lama kelamaan utang dilakukan produsen untuk memenuhi kebutuhan rutin dan kebutuhan besar yang sudah direncanakan. Dalam konteks itu, produsen kemudian memandang utang sebagai satu bentuk tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Ini terjadi, karena keterpaksaan kondisi yang dijalani akibat terbatasnya pilihan untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan pada saat yang cepat.

Sama halnya dengan sistem produksi gula kelapa, produksi genteng juga dilakukan dalam lingkungan desa yang menjadi tempat tinggalnya. Dari mulai proses pencetakan genteng sampai “penyisikan”, dan penjemuran, seluruhnya dikerjakan di area produksi yang terletak di sekitar rumah. Sementara pada saat pembakarannya, dilakukan pada cerobong yang biasanya terletak agak jauh dari rumah, namun masih satu desa dengan tempat pembuatannya.

Letak perbedaanya – walaupun sedikit — dengan pembagian kerja yang terjadi di usaha gula kelapa, adanya pembagian kerja yang tidak spesifik berdasarkan jenis kelamin, kecuali dalam hal pembakaran yang ini menjadi porsi tunggal para lelaki. Suami istri, dalam hal ini, karena sebagai pemilik usaha, bertanggung jawab bersama atas terselesaikannya proses produksi, termasuk pembelian bahan baku dan memasarkan genteng pada pedagang yang datang ke desa. Lebih jelasnya, berikut ini bagan pembagian kerja di genteng;

Tabel 2.4 Alokasi Waktu Produsen Genteng

Waktu

Pemilik usaha perempuan

Pemilik usaha laki-laki

Buruh perempuan

04.30

Bangun, shalat, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak

Bangun, shalat

Bangun, shalat, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak

05.00

05.30

06.00

Sarapan

Pergi bekerja : mencetak, mengeplek, atau menyisik. Buruh yang punya anak kecil biasa membawa anaknya ke tempat kerja

06.30

Mengawasi proses produksi, kadang ikut mengeplek, menyiapkan minum dan makanan kecil  untuk buruh, menjemur genteng

07.00

07.30

08.00

Menggiling, mencari lempung, mengawasi proses produksi, kadang ikut mencetak, menyusun penjemuran genteng, menunggu bakul

08.30

09.00

09.30

10.00

10.30

11.00

11.30

12.00

Istirahat, makan siang, shalat

Istirahat, makan siang, shalat

Pulang ke rumah untuk makan siang dan shalat

12.30

13.00

Mengurus penjemuran genteng, mengawasi produksi, kadang ikut mencetak, menunggu bakul

Meneruskan kerja

13.30

14.00

Mengurus genteng yang sedang dijemur, meneruskan mengeplek atau mencetak, mengurus anak

14.30

15.00

15.30

Pulang ke rumah : istirahat, menonton TV, mandi

16.00

Istirahat, menonton TV, mengurus anak

16.30

Istirahat di rumah

17.00

Menghadiri pertemuan kelompok (macam-macam kelompok), menonton TV, atau mengobrol ke rumah tetangga

Menghadiri pertemuan kelompok (macam-macam kelompok), menonton TV, atau mengobrol ke rumah tetangga

17.30

18.00

Shalat di rumah atau mushola desa

18.30

Shalat, memasak makan malam

Istirahat di rumah

Shalat, memasak makan malam

19.00

19.30

Makan malam, menonton TV

Makan malam, menonton TV

20.00

Pertemuan bapak-bapak

20.30

Mengikuti pertemuan macam-macam kelompok atau tidur

Mengikuti pertemuan macam-macam kelompok atau tidur

21.00

21.30

22.00

22.30

23.00

Sumber : Penelitian Lapangan 2002

Namun dalam hal perempuan sebagai buruh di usaha genteng, beberapa hal bisa dianalisis dengan cermat. Walaupun perempuan bekerja sebagai buruh upahan dalam usaha genteng, ini tidak tidak berarti perempuan dapat melepaskan diri dari beban kerja domestik. Dalam hal itu, saat di waktu istirahat kerja, perempuan selalu menyempatkan diri pulang untuk memasak, atau menyelesaikan pekerjaan domestik sebelum dan setelah bekerja. Yang meringankan bagi buruh perempuan adalah jarak antara rumah dan tempat kerjanya yang relatif dekat. Selain itu, hubungan sosial  yang terjalin selama ini, antara pemilik usaha dan buruh upahan sebagai tetangga ataupun saudara, memungkinkan buruh perempuan upahan ini mendapatkan kelonggaran waktu antara beban produksi dan beban domestik. Namun bagi buruh lelaki, ia dengan santai duduk-duduk sambil merokok saat waktu istirahat datang. Sehingga jarang terlihat, lelaki dalam kontek itu ikut berbagi beban dalam mengurus tugas-tugas domestik.

Sebagai buruh, perempuan terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap tidak memiliki risiko yang besar serta tidak memerlukan banyak keahlian khusus.Dengan alasan kecilnya risiko yang harus dipikul perempuan, maka upah buruh perempuan pun dinilai lebih rendah. Namun begitu, relasi-relasi yang terjadi antara pemilik usaha dan buruh upahan dalam usaha perdesaan, biasanya lebih bercorak sosial dibandingkan ekonomi. Sehingga masing-masing menanggung risiko usaha walaupun tetap ada pengalihan risiko pada buruh upahan yang dilakukan oleh pemilik usaha.

Lebih lanjut, jenis pekerjaan yang dianggap tidak berisiko – dimana perempuan banyak pelakunya — di produksi genteng ialah seperti mengeplek, mencetak, menyisik, dan menjemur. Rendahnya risiko dalam tahapan ini dipandang lebih sebagai risiko kecelakaan kerja dibandingkan risiko kegagalan produk. Namun bila dicermati, ternyata buruh cetak harus menanggung risiko kerusakan genteng yang dialihkan oleh pemilik usaha. Sementara upah yang diterima buruh cetak hanya Rp 12.000,- per seribu genteng yang dicetak. Padahal faktanya buruh tersebut harus menyetor 1050 buah genteng, dimana kelima puluh genteng sisanya merupakan tambahan yang harus dibuat demi mengatasi risiko kegagalan dalam proses pembakaran genteng. Maka, sebenarnya siapa yang lebih berisiko?

Peran perempuan dalam konteks diatas,  secara gradasi mempunyai hubungan yang bermacam-macam. Pertama, perempuan harus membangun relasi dengan keluarga inti, dalam posisinya sebagai buruh keluarga. Kedua, ia juga terkadang harus membangun relasi dengan “tengkulak” dalam konteks pemasaran. Sementara itu, pada sisi lain gambaran di atas memperlihatkan bahwa pembagian tugas yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Dimana dalam hal itu perempuan tidak hanya bertanggung jawab terhadap tahapan produksi yang dilakukan di sekitar rumah, namun juga terbebani dengan tugas domestik, seperti memelihara anak dan rumah. Disamping itu, perempuan juga berkaitan dengan strategi bertahan hidup sebagaimana mana keluarga miskin di desa.

Sementara itu, laki-laki hanya bertanggung jawab atas tahapan produksi yang membutuhkan mobilitas lebih tinggi. Lain tidak. Artinya, lelaki tidak mau atau dihubungkan dengan tugas-tugas domestik, seperti memelihara rumah dan anak. Pembagian ini mencerminkan bahwa peran domistik seperti memelihara anak dan membersihkan rumah, tidak bisa disubstitusikan kepada orang lain (suami atau anak). Sehingga ini mencerminkan bahwa tugas domistik hanya menjadi tugas istri (perempuan) sendirian. Sementara itu, perempuan (istri) juga masih terkait dengan strategi bertahan hidup (survival strategy) yang dilakukan oleh keluarga-keluarga miskin di pedesaan.

Perempuan pengusaha mikro di perdesaan, sebagai bagian dari kelompok miskin harus mengupayakan beragam strategi bertahan, dengan tidak hanya mengandalkan ekonomi keluarga pada satu sumber pendapatan saja, tetapi mengkombinasikan beberapa sumber pendapatan dengan cara melakukan usaha atau pekerjaan lain di luar usaha utamanya. Usaha sampingan tersebut, seperti pertanian sawah dan lahan kering di kebun dan pekarangan, peternakan skala kecil, dan perdagangan eceran skala kecil, serta kombinasi pekerjaan sebagai buruh pada unit usaha lain harus dilakukan karena pendapatan dari usaha utama tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Di sini juga kelihatan akan peran perempuan yang menjadi aktor dimana bisa berperan dalam mengkombinasi usaha lain disamping menjadi produsen gula kelapa dan genteng. Dalam hal ini, sebagain besar perempuan, berinisiatif membuka usaha warungan sebagai usaha tambahan, atau mengurus ternak ayam, dan sebagai pembuat usaha keripik (dalam kasus genteng), saat profesi sebagai buruh genteng tidak bekerja.Walaupun memang, kombinasi usaha – yang sebagain besar dilakukan oleh perempuan — dilakukan hampir tidak berorentasi untuk mengejar akumulasi modal, namun hanya sekedar untuk menopang kebutuhan hidup keluarga, dan mendapatkan jaminan keberlangsungan usahanya.

Kesimpulan

Gambaran akan peran perempuan di perekonomian pedesaan di Jawa khususnya memperlihatkan bahwa perempuan tidak berdiri sendiri. Artinya kiprahnya dalam usaha yang dilakukannya adalah bagian dari komponen besar “keluarga”, yang tiap komponennya mempunyai tugas sendiri-sendiri yang terpisah, namun dalam waktu yang bersamaan. Dua jenis usaha di atas adalah sistem produksi keluarga. Namun, tidak semua perempuan dalam sistem produksi keluarga merupakan tenaga kerja tanpa upah. Dalam hal itu, perempuan yang menjadi pemilik usaha, dan sekaligus menjalankan peran sebagai tenaga kerja, ia tidak mendapat upah dalam sistem produksi keluarga. Pada sisi lain, perempuan yang bukan merupakan anggota keluarga dan ikut bekerja, akan menjadi tenaga kerja upahan.

Dari gambaran di atas juga memperlihatkan bahwa ketika dua usaha tersebut “kesulitan” untuk memperoleh untung, sebagian besar perempuan lansung mengambil inisiatif untuk menjalankan strategi “penyanggah” dari usaha utamanya. Diantaranya, perempuan banyak memiliki dan menjalankan usaha sendiri di rumah untuk menambah penghasilan, seperti warung, jasa penjahitan, dan pengolahan makanan. Usaha-usaha tersebut seringkali dianggap sebagai kerja “khas” perempuan. Maka dalam konteks itu, studi Akatiga dan ASPPUK melihat adanya suatu pengelompokan usaha yang membuka peluang untuk dimasuki perempuan perdesaan, yaitu (1) pekerjaan tanpa upah dalam sistem produksi keluarga, (2) pekerjaan upahan dalam hubungan yang sifatnya informal, dan (3) usaha mandiri yang dijalankan sebagai penambah penghasilan keluarga.

Dalam konteks itu, terkadang tidak dapat dipungkiri bahwa usaha mandiri yang dijalankan perempuan seringkali pada akhirnya menjadi sumber penghasilan utama, dan terbesar bagi keluarga.Hal itu banyak dijumpai di perdesaaan, apalagi ketika banyak perusahaan besar gulung tikar, dimana pekerjanya juga ikut di PHK.   

Namun begitu, bila dicermati secara seksama dan dihubungkan dengan analisis makro diawal pembahasan ini,  kerja-kerja semacam itu – dimana perempuan banyak berkecimpung — adalah “ranah-sisa”, sebagai akibat dari proses marjinalisasi dari “bias” industrialisasi dan kapitalisasi. Di ruang-sisa inilah, sebagian besar perempuan berkumpul, tanpa banyak pilihan. Dan bila ada sektor usaha yang dapat dimasuki, itu pun relatif terbatas dan tidak memberikan prospek yang baik dilihat dari kelayakan usaha dalam jangka panjang.Serta, di dalam sektor itu sudah terbangun pola-pola relasi yang sulit untuk dihindari karena hampir tidak ada pilihan lain. 

Selain itu, studi ini juga memperlihatkan bahwa perempuan ternyata terbiasa menjalankan usaha sendiri, baik dalam bentuk usaha mandiri, usaha keluarga, atau kombinasi keduanya. Disamping itu masih sulit untuk memisahkan aktivitas perempuan di antara aktivitas usaha dan aktivitas domestiknya. Hal itu sudah merupakan bagian dari kontruksi budaya yang biasa disebut “gender” , yang sepertinya juga menjadi salah satu ciri usaha mikro. Dalam konteks itu, bentuk relasi perempuan dengan anggota keluarga lain di dalam unit usaha tidak sepenuhnya dapat dilepaskan dari bentuk relasi dalam aktivitas domestik. Kerja sebagai home worker, home-based worker, buruh upahan, dan self-employed dalam skala mikro menjadi pilihan utama bagi sebagian besar perempuan, sebab hal itu  dipandang dapat memberikan fleksibilitas antara mengerjakan kegiatan domestik sekaligus kerja produktif yang memberikan penghasilan (cash income). Dan yang penting, itu juga memberi kesempatan dan waktu untuk memperoleh penghasilan tambahan melalui usaha-usaha lainnya. Beban kerja yang berlebihan seperti itu seringkali dipandang oleh para feminis sebagai “beban ganda.”[11]

Begitu kompleknya persoalan perempuan yang bergerak di usaha mikro di tingkat basis. Selain bentuk usahanya yang subsisten, namun juga problem teknis usaha hingga persoalan struktural yang beraneka ragam ikut “mengeliminasi” perempuan dari pekerjaannya. Sehingga upaya penyelesaian perempuan di sektor perekonomian rakyat, tidak bisa diselesaikan secara parsial. Artinya mendahulukan penyelesaiaan dari sisi teknis-usaha semata tidak menyelesaikan persoalan. Namun hal itu perlu ditunjang dengan mengakomodasi problem ketidakadilan relasi, baik itu yang berada di ranah domestik (antara istri-suami atau keluarga) maupun di ranah publik, seperti perilaku monopsoni dan monopolinya yang diciptakan para pemodal besar seperti para “tengkulak” dengan membangun hubungan yang eksploitatif. Idealnya, problematika tersebut diselesaikan secara holistik. Kalaupun itu sulit dilakukan sekaligus, maka harus ada perencanaan dengan sistematika yang bisa dilakukan secara gradual menurut kondisi dan situasi di lapangan.

Profil Penulis:

M. Firdaus. Lulusan Paska Sarjana Fisip UI. Sekarang menjadi Koordinator Program di Sekretariat ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil).

Ratih Dewayanti. Alumnus sarjana Planologi ITB. Sekarang menjadi Koordiantor Peneliti untuk bagian studi usaha kecil di Akatiga (Pusat Analisis Sosial), Bandung.

 


[1] BPS 2002, “Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga Indonesia”, Jakarta: BPS, tahun 2000.

[2] Koran Wawasan, Sabtu, 21 Februari 2004.

[3] Usha Jumani, “Dealing with Poverty: Self-Employment for Poor Rural Women”, New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 1991. Dalam konteks itu, yang dinamakan dengan usaha mikro yang subsisten memiliki beberapa cirri sebagai berikut; skala usaha yang diperjual-belikan dalam sekup mikro, relasi usahanya dengan orang-orang yang sudah dikenal, perjanjian dagangnya deilakukan dengan kondisi yang langsung dan dengan orang yang dapat dioertanggung jawabkan, dan usahanya tersebut mempunyai role of the game secara khusus, serta barang-barang yang diperdagangkan adalah jenis atau kebutuhan-kebutuhah yang subsisten.

[4] Roger Teszler, “Small-scale Industry’s Contribution to economic Development” , 1993. Satu artikel dalam I.S.A. dan G.A. de Bruejne, “Gender, Small-Scale Industry and Development Policy” , London : IT Publication, tahun 1993.

[5] Grijns, dkk, “Different women, Different Work: Gender and Industrialisation in Indonesia”, Hans and Vermont: Avebury, 1994.

[6] Winarni, dkk, “Perempuan Pedesaan, Pemiskinan & Agenda Pembebasan”, Klaten: Persepsi & Ford Foundation, tahun 2000. Dalam buku ini terangkum beragam keluhan ibu-ibu yang menjalani usaha mikro di pedesaan dengan membicarkan persoalan relasi dirinya dengan keluarga, suami di ranah domistik, maupun dengan pihak yang “jauh” dari dirinya, publik.

[7] Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi, “Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.

[8] Suatu hubungan atau ikatan dyadic dua pihak yang menyangkut suatu persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya unutk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (client) dengan pembalasan dalam bentuk pemberian dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada bapak (patron) tadi (Scott seperti dikutip oleh Hayami dan Kikuchi, 1987).

[9] Penderes adalah orang  yang mengambil atau menyadap nira sebagai bahan baku gula dari pohon kelapa (laki-laki), sedangkan pengindel adalah orang yang mengolah nira menjadi gula kelapa (perempuan).

[10] Wright, Olin. 1997. Class Counts: Comparative Studies in Class Analysis. Cambridge: The Press Syndicate of The University of Cambridge.

[11] Untuk lebih jelas tentang “beban kerja” ini, lihat konsep “triple roles” nya Caroline Moser, dalam Coroline O.N. Moser, “Gender Planning and Development (Theory, Practice & Training)”, Routledge 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE, 1993, hal. 27 – 28.