Aspek Pemberdayaan Perempuan Dibalik Lembaga Kredit Mikro

Pendahuluan            

Banyak alasan yang bisa dikemukakan kenapa LKM (lembaga keuangan mikro) bisa eksis sebagai sumber keuangan “alternatif” di desa-desa belakangan ini. Alasan ini biasanya hampir sama ditemui dari beberapa lembaga non bank atau lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan tersebut. Munculnya LKM tersebut, biasanya berangkat dari ketidakmampuan lembaga formal seperti bank untuk melayani nasaba-nasabah yang mepunyai spesifikasi tertentu dalam berkegiatan.


[1] Artikel ini adalah versi aslinya, sebelum dimuat di Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.3 Desember 2001, tentang kredit mikro.

[2] M. Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK, dan Titik Hartini, Direktur Eksekutif Nasional ASPPUK. Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Analisis Sosial, Akatiga, dalam topik “Kredit Mikro”.

Satu contohnya, adalah petani di pedesaan yang pada saat tertentu harus mempunyai pinjaman “lekas saji” untuk membeli bibit saat waktu tanam tiba, atau saat pemberian pupuk, serta juga saat panen tiba. Atau juga, pada perempuan usaha kecil-mikro (PUK) yang secara prosedural bank harus menyertakan izin suami dalam peminjaman kredit. Padahal kondisi masyarakat desa, PUK biasanya berperan besar dalam usaha. Menurut data BPS yang tertuang dalam “Indikator Sosial Wanita Indonesia 1997”, disebutkan bahwa penduduk perempuan yang bekerja di desa, yang termasuk dalam pekerjaan “utama” sebanyak 63,54%, dan laki-laki yang bekerja berjumlah 61,43%[1].

Dalam konteks itu, bank akan menyerah untuk mengurusi nasabah-nasabah “unik” seperti itu. Di samping secara ekonomi, biaya cost tinggi, juga tenaga lapang, yang harus menagih terus-terusan kepada nasabah tersebut, berjumlah puluhan bahkan ribuan jumlahnya. Dalam keadaan seperti itu, maka biasanya nasabah seperti di atas akan mencari sumber keuangan yang cepat, tidak birokratis (tidak berbelik-belit), bahkan bunganya pun tidak dipersoalkan baginya. Yang penting, menurut nasabah itu, pinjamannya lekas dikucurkan dan gampang didapat. Posisi seperti itu, selama ini biasanya ditempati oleh para tengkulak. Untuk menanggulangi posisi tengkulak yang memberi bunga sangat tinggi, peranan LKM menjadi sumber alternatif keuangan lain, dari yang ada. Secara ringkas, posisi lembaga ini selama ini berfungsi sebagai lembaga penampung dan penyalur kapital, juga sebagai “akselator” pembangunan pada lapisan desa, serta sebagai “center of excellence, learning, and Practice” untuk lapisan desa yang menyangkut dua hal pokok. Yaitu, kewirausahaan dan manajemen.[2]    

Kredit Mikro (KM) “pintu” Pemberdayaan

Tidak begitu jauh alasan yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan pengalaman ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) dalam mengelola LKM ini. LKM atau yang biasa dikenal bagi ASPPUK adalah program Kredit Mikro ini, berdiri atas alasan seperti di atas, bahkan lebih jauh dari hal tersebut. Secara jaringan, kredit mikro yang dilakukan oleh ASPPUK baru berjalan dari tahun  1998, namun secara internal dari LSM yang tergabung dalam jaringan ASPPUK, sudah melakukannya bertahun-tahun, bahkan ada yang puluhan tahun lebih. Sebab, ASPPUK sendiri adalah lembaga jaringan yang beranggotakan 53 LSM anggota, di 22 propinsi di Indonesia. Alasan pembentukan LKM bagi jaringan yang dulu bernama YASPPUK, terus berganti ASPPUK ini, adalah untuk memenuhi misi yang telah dirumuskan bersama oleh LSM anggota jaringan. Di antara salah satu misinya adalah pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha kecil. Dan supaya pemberdayaan perempuan usaha kecil (PUK) bisa dicapai, maka diperlukan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis mereka (PUK).[3]

Maka sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan praktis sekaligus kebutuhan strategis ini, ASPPUK mempunyai lembaga keuangan alternatif tersebut. Secara makro, alasan yang dikemukakan ASPPUK – sebagaimana dikemukakan dalam pembukaan pedoman KMnya — adalah bahwa penduduk Indonesia sebagian besar tinggal pedesaan, dan sebanyak 50,23% adalah perempuan. Kemudian, secara kultural, perempuan memegang peranan penting, tidak hanya dalam keluarga namun juga di masyarakat, seperti keterlibatnnya dalam banyak kegiatan ekonomi seperti warungan, kerajinan, perdagangan dll. Mayoritas dari mereka mempunyai usaha dengan skala yang sangat kecil. Di sisi lain, sebagai anggota keluarga perempuan memegang peranan sebagai pengatur keuangan keluarga, pendidik anak dan sekaligus pencari nafkah bersama-sama suaminya. Gambaran di atas dengan jelas telah diugkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS tahun 1997. Di mana pada sektor lapangan pekerjaan utama (primer), di pedesaan, keterlibatan perempuan tidak kalah besarnya dengan laki-lakai.[4] Data itu bisa mungkin lebih besar, bila dikaitkan dengan kondisi krisis yang menempa Indonesia.

Selain itu, dari hasil identifikasi  sementara ASPPUK terhadap dampingan LSM anggota yang tersebar di 22 propinsi, terungkap bahwa kendala paling utama dihadapi oleh usaha kecil-mikro adalah permodalan. Ini diperkuat dengan hasil survey tentang usaha kecil (industri skala kecil dan industri rumah tangga) Januari 1992, menunjukkan bahwa secara terinci kendala tersebut adalah sbb:

  1. Kesulitan modal                                              35,1%
  2. Kesulitan Pemasaran                                        25,9%
  3. Kesulitan Persaingan                                        16,1%
  4. Kesulitan Keahlian dalam tehnik produksi             3,4%
  5. Kurang keahlian dalam pengelolaan                    3,4%

Persoalan diatas belum termasuk kendala khas yang dihadapi perempuan, seperti temuan LSM yang selama ini mendampingi kelompok usaha kecil-mikro (KPUK). Selain kendala di atas, PUK juga lebih banyak lagi keterbatasan dan kendala, terkhusus dalam menghadapi persoalan gender. Dengan demikian, di satu sisi PUK harus menghadapi kebutuhan utama yaitu modal, dan di sisi lain, mereka mempunyai  keterbatasan untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal, dikarenakan berbagai kendala dan keterbatasannya, misalnya:

  1. Lokasi kelompok yang sangat jauh dari lembaga formal.
  2. Kegiatan usaha yang masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan juga sangat kecil. Dan ini tidak akan dilayani oleh lembaga formal, karena tidak efesien.
  3. Adminsitrasi keuangan di KPUK masih belum dikelola dengan baik, sehingga tidak memenuhi standart pembukuan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan formal.
  4. Keterbatasan dalam pemilikan assest yang bisa secara formal dipakai sebagai jaminan kredit.

Berdasarkan data-data yang diungkapkan diatas, serta juga sebagai upaya untuk memenuhi misi ASPPUK – yaitu pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis –, maka terbentuklah program kredit mikro, sejak tahun 1998. Kegiatan ini adalah satu program ASPPUK untuk Perempuan usaha Kecil (PUK) yang didampingi oleh LSM anggota jaringan asosiasi. Konkritnya, kegiatan ini adalah bentuk pinjaman revolving fund (RF) melalui Kelompok Perempuan usaha Kecil (KPUK). Pinjaman tersebut dapat digunakan untuk usaha dan kebutuhan perempuan lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan kepemilikan aset produktif.

Program Kredit mikro (KM) yang sudah berjalan 4 tahun ini awalnya mempunyai 2 tujuan utama. Pertama, menguatkan LSM anggota dalam rangka memfasilitasi kredit mikro pada Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) yang didampingi, di mana mereka memerlukan modal di luar modal swadayanya sendiri, namun belum dapat berhubungan dengan lembaga keaungan formal (bank). Kedua, pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dalam rangka peningkatan kondisi dan posisi perempuan usaha kecil (PUK).

Sedang yag menerima kredit mikro adalah Perempuan usaha Kecil (PUK), yang menjadi anggota Kelompok Perempuan usaha kecil (KPUK), yang mempunyai kriteria sebagai berikut. Diantaranya, mereka adalah dampingan LSM anggota, dan telah memiliki pengurus terpilih, dan mempunyai pertemuan rutin. Selain itu, ia juga menerapkan sistem pembukuan yang memadai, peraturan kelompok secara tertulis, dan telah melakukan pemupukan modal swadaya, serta menganut sistem tanggung renteng.

Ada dua jenis kredit dalam KM ini, yaitu pertama, kredit usaha, yang peruntukannya untuk pengembangan usaha yang sudah ada, dan pembetukan usaha baru. Kedua, kredit kebutuhan perempuan, yang peruntukannya untuk pendidikan (terkhusus untuk anak dan perempuan), kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif. Secara singkat dibawah ini bagan skema kredit ASPPUK (gambar 1), skema pengajuan KM ASPPUK (gambar 2).

Dua bagan diatas menggambarkan bahwa kredit tersebut diberikan kepada KPUK (kelompok perempuan usaha kecil), dengan beberapa kreteria yang telah ditentukan sebagai berikut. Pertama, pemohon (lewat LSM pendamping) mengajukan permohonan kredit dengan melampirkan profil anggota KPUK, kelayakan usaha, dan rencana penggunaan kredit. Kedua, pemohon kredit harus ditembuskan kepada Forwil (forum wilayah) atau korwil (koordinator wilayah) masing-masing, kalau diperlukan untuk mendapatkan rekomendasi. Ketiga, permohonan kredit akan ditanggapi minimal 3 (tiga) hari oleh sekretariat dan maksimal 1 bulan. Keempat, LSM anggota harus memiliki “agunan” berupa tabungan solidatitas di rekening bank ASPPUK.

Kelima, penandatanganan akad kredit dilakukan antara wakil ASPPUK dengan masing-masing LSM anggota dengan diketahui oleh wakil dari masing-masing KPUK. Keenam, jika disetujui, ASPPUK mentransfer dana kredit untuk KPUK melalui LSM anggota. Ketujuh, KPUK mengangsur kredit melalui kredit LSM anggota ke ASPPUK, dengan tenggang waktu angsuran 1 bulan pada awal penandatanganan kredit. Kedelapan, KPUK mengangsur kredit melalui LSM anggota ke ASPPUK setiap 6 bulan. Kesembilan, LSM anggota melaporkan perkembangan penggunaan kredit dan profil pemanfaat kredit, jika diperlukan ASPPUK dibantu Korwil melakukan monitoring ke lapangan.

Selain itu, ada juga beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari para pemohon, yaitu pelampiran berkas-berkas seperti, kelayakan usaha, profil PUK, serta rencana pengguna kredit. Disamping itu, bunganya juga tidak terlalu tinggi, yaitu rata-rata untuk pinjaman jenis usaha berjumlah 11% tetap pertahun, dan pinjaman untuk kebutuhan perempuan, tanpa dikenai bunga. Kemudian, surat permohonan pinjaman diajukan maksimal 1 bulan sebelumnya dan waktu pinjaman maksimal 12 bulan, serta yang tak kalah pentingnya, LSM anggota yang memperoleh KM dapat mengakses dana pendampingan dan pelatihan sesuai dana yang ada di sekretariat ASPPUK. Serta beberapa persyaratan lain yang disusun berdasarkan kesepakatan antara LSM anggota lewat forwil-forwilnya. (lihat Pedoman Progran KM ASPPUK).[1]

“Bercermin” dari Pengalaman

Menginjak keberadaan KM ASPPUK yang sudah memasuki tahun ke lima ini, tingkat pengembaliannya mencapai level di atas rata-rata, yaitu antara 90 – 95% dari total pinjamanya. Tingkat pengembalian kredit dari PUK yang melampau hasil di atas rata-rata tersebut, terjadi dari tahun ke tahun (lihat Laporan Tiga bulanan KM ASPPUK)[2].

Kemudian, ada beberapa hal penting dari temuan lapangan yang baru-baru ini dilakukan oleh sekretariat ASPPUK. Diantaranya, bahwa secara garis besar para PUK menginginkan untuk terus dilanjutkan kegiatan KM ini. Sebab, menurutnya (PUK) yang berhasil diwawancarai, selain memperbesar modal, juga untuk mengembangkan dan memperlancar usaha PUK, sehingga ia memiliki akses ekonomi. Ini beda, ketika mereka (para PUK) belum memiliki usaha – atau usaha yang modalnya seadanya – akses terhadap segala sarana amat terbatas. Selain itu, KM ini juga dapat membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perempuan, seperti biaya pendidikan dan biaya kesehatan, sehingga PUK dapat terhindar dari lilitan rentenir.

Selain itu, KM ini dapat meningkatkan penghasilan pendapatan rumah tangga PUK. Serta yang penting, dengan adanya KM ini, terjadi peningkatan pengetahuan PUK terutama dalam pengelolaan uang, serta dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam pengelolaan uang, serta ini menjadi wadah pendidikan bagi PUK.  (lihat kumpulan hasil temuan lapang “Kredit Mikro ASPPUK”, 2001)[3]. Ini lah mungkin yang membedakan dengan kredit dari LKM lain atau bank, di mana di ASPPUK ada fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan perempuan yang mendasar, dalam bentuk pemberian kredit tanpa bunga.

Bila dilihat dari keberadaan kredit mikro yang dijalankan oleh ASPPUK, maka ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai pelajaran. Pertama, prosedur yang ditujukan untuk pengajuan kredit dari PUK (dalam hal ini sebagai pengaju), tidak berbelit-belit. Bahkan dalam pengajuannya pun ada proses pendampingan dari LSM pendamping, serta juga ada peroses dialog antar LSM untuk menentukan kelayakan dalam pengajuan tersebut. Selain itu, di sana ada aspek sosialisasi untuk PUK, mengingat selam ini telah terjadi pembebanan dalam pengajuan kredit di bank (lihat peraturan perbankan yang mengharuskan perempuan untuk mempunyai agunan dalam mengurus kredit).

Kedua, letak lokasinya pun ramah terhadap kehidupan masyarakat setempat (terkhsus untuk perempuan usaha mikro di pedesaan). Artinya keuangan mikro tersebut, tidak bersifat pasif, namun lebih kreatif bahkan menjemput bola (nasabah) dari tenaga lapang dari LSM, atau bisa terjadi pola kekeluargaan yang mementingkan kesejahteraan bersama, antara pemohon dan pendamping. Sehingga bila ada kemacetan dalam pengembalian, disana ada pemecahan secara bersama dari teman-teman kelompoknya dengan dibantu oleh LSM pendamping. Ini terjadi, karena ada pertemuan kelompok di antara PUK setiap dua minggu sekali. Lokasi keberadaan PUK atau KPUK pun bisa melebar kemana-mana, sebab ada pendamping LSM yang terus memantau perkembangan KPUK, bahkan terkadang sebaliknya, KPUK yang melapor perkembamgannya. Serta yang penting, proses dalam pengembaliannya pun tidak cepat seperti bank. Di sana ada waktu tenggang yang cukup lama, demi untuk memberikan keluasaan bagi PUK dalam pengembangan bisnisnya supaya tidak selalu dikejar-kejar oleh pengembalian kredit. 

Ketiga, seperti disebutkan diatas, disamping ada pemenuhan untuk kalangsungan usaha bagi PUK, LKM ASPPUK juga memberikan kredit untuk pemenuhan kebutuhan perempuan. Ini mungkin yang membedakan dengan LKM lain atau bank, yang tidak memikirkan aspek seperti ini. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan perempuan ini, kredit yang ditawarkan tidak dikenakan bunga.

Keempat, ada pertemuan kelompok oleh para KPUK yang diadakan secara rutin paling minimal setiap dua minggu sekali. Dalam pertemuan inilah dibahas semua keluhan-keluhan yang dialami oleh nasabah (PUK), dan bagaimana juga para teman-teman lain bisa saling berbagi pengalaman dalam mengelola pembukuan atau pengembangan bisnisnya. Biasanya, untuk kelompok baru, para pendamping LSM pendamping, selalu datang untuk bisa bergabung dalam proses dialog yang ada. Dan bagi para pendamping LSM, disediakan dana untuk pendampingan (walaupun tidak besar) untuk bisa bekerja secara maksimal dalam memantau perkembangan pijaman dan usahanya.

Terakhir, kelima, sebelum atau ditengah-tengah berlangsungnya kredit mikro ini, ada beberapa pelatihan yang diikuti oleh para ketua KPUK, yang nantinya bisa menginformasikannya ke PUK dalam pertemuan kelompok. Di antara pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh ASPPUK adalah pembukuan yang baik, kelayakan usaha, studi pasar, dan menajemen keuangan. Selain itu, sambil melakukan proses pendampingan, untuk melihat pengembalian kredit, para PUK juga mendapat siraman pengetahuan kesadaran gender. Ini dilakukan, karena tujuan dari KM ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis perempuan, atau dengan kata lain, kredit mikro ini sebagai pintu masuk untuk pemberdayaan PUK yang lebih mendalam (Lihat Dina L :1999).[4]

Melihat Hambatan, Mengali Otokritik

Ibarat seperti pepatah ”tak ada gading yang tak retak“. Begitu pula dalam LKM yang dijalankan oleh ASPPUK. Setelah berjalan cukup lama, ada beberapa kelemahan dan hambatan yang perlu dibenahi. Diantaranya, pertama, jangkauan wilayah ASPPUK yang luas. Sehingga ini menyulitkan bagi sekretariat untuk bisa memantau perkembangannya secara rutin dan sistematis. Walaupun dalam kegiatannya, sekretariat dibantu oleh tenaga lapang dari LSM pendamping, namun kegiatan LSM pendamping bukanlah hanya mengurus soal kredit mikro saja. Mereka (LSM pendamping) umumnya aktfitas kredit mikro, satu kegiatan dari rangkaian program yang dipunyainya. Maka dalam tujuan jangka panjang LKM ASPPUK, nantinya di tiap kabupaten ada LKM yang diurus oleh KPUK (Kelompok Perempuan Usaha Kecil) sendiri –tanpa melalui oleh LSM penamping dalam pengajuannya –. Ini sebenarnya sudah terlaksana, namun itu baru terjadi di beberapa daerah saja, dimana keberadaan PUK sudah lama menjadi dampingan LSM anggota ASPPUK.  

Kedua, sampai saat ini sekretariat ASPPUK belum bisa membuat indikator dampak, yang bisa mengukur tentang dampak dari LKM ini kepada PUK. Karena ketiadaan indikator dampak tersebut, maka yang terjadi, kegiatan kredit mikro tersebut masih menjadi aktiftas ekonomi semata. Ini terjadi, – salah satu sebabnya – kurangnya sumber daya yang “capable” untuk melakukan hal tersebut, dan memang terkadang sistem manajemen data di LSM pendamping, kurang tertangani dengan baik. Dengan adanya pengukuran dampak dengan indikator-dampak, maka akan bisa diketahui – secara general – bahwa kegiatan LKM ini mempunyai pengaruh yang signifikan atau malah sebaliknya. Sebab, bagi ASPPUK, aktifitas kredit mikro ini adalah sebagai alat “entry point” untuk pemberdayaan Perempuan Usaha Kecil-mikro (PUK).

Ketiga, di wilayah-wilayah yang dilanda konflik, dimana PUK peminjam KM berada, terkadang terlambat dalam proses pengembalian kredit. Ini memang, berkaitan dengan kondisi sosial makro yang tidak kondusif terhadap iklim berkembanganya usaha mikro di pedesaan. Maka iklim sosial makro dari Indoensia juga ikut mendukung berjalannya suatu LKM.

Persyaratan LKM Supaya Bertahan

Dari pengalaman di atas, nyata sekali akan kelenturan LKM (terkhusus LKM ASPPUK) dalam beberapa prasyarat. Ini berbeda sekali dengan lembaga keuangan formal seperti bank, yang peraturannya tegas untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa melihat posisi nasabah. Kelenturan itu terlihat dalam perumusan bagaimana sebaiknya aturan dari kredit mikro itu terlaksana, agar supaya bisa saling menguntungkan antara yang mengelola dan para nasabah yang akan memanfaatkan kredit. Karena kelenturannnya itulah, maka posisi tenaga lapang – yaitu orang yang selalu mendampingi PUK (dari LSM pendamping kalau di ASPPUK) menjadi posisi yang sentral. Bila dalam hal ini, para tenaga lapang tidak bisa menjaga hubungan baik, atau malas, bahkan lalai dalam pemantauan yang bersifat familiar, maka para nasabah (PUK) kan bisa “lalai” (tapi ini tidak selalu terjadi) dalam mengembalikan kreditnya.

Bahkan kalau ada persolan dalam pengembalian kreditnya, maka biasanya PUK akan bingung dalam mencari solusi pemacahannya. Ini ditambah lagi, bila pertemuan dalam dua mingguan yang biasa diadakan tidak termanfaatkan dengan baik, maka, awal sebuah kemacetan bermula. Kemudian, yang penting dari itu, dalam pemberian kredit, LKM juga bertanggung jawab dalam proses pengembaliannya dari nasabah. Artinya, setelah kredit itu tersalurkan dengan baik ke nasabah, LKM juga harus merasa bertanggung jawab dalam proses pengembaliannya dari nasabah. Ini berarti bahwa dalam konteks itu, nasabah harus diberdayakan juga dalam pengelolaan kredit itu. Seperti dalam hal ini, ASPPUK melakukan beberapa training, seperti pembukuan, manajemena usaha, kelayakan pasar, serta training sensitiftas gender, untuk menunjang dan sabagai tanggung jawab atas kredit yang disalurkan, melalui LSM pendampignnya.

Ini bermakna bahwa nasabah dan lembaga pemberi kredit, harus sama-sama saling mengambil manfaat dari aktrfitas yang dikerjakan bersama. Dari keterangan itu, jelas bahwa ketrampilan dari tenaga lapang sangat perlu dibutuhkan, dan jumlah dari tenaga lapang juga perlu diperbanyak. Sebab jangkauan dari lokasi nasabah LKM ini biasanya saling berjauhan. Ini sebagai konsekwensi logis dari para nasabah yang letaknya di desa-desa yang sarana infrastrukturnya seperti jalan, jembatan,dll, belum memadai. Sehingga diperlukan tenaga lapang yang tidak sedikit.

Dan yang tak kalah pentingya, pandangan bahwa masyarakat kecil itu tidak bisa diajak maju, perlu disingkirkan. Karena sebenarnya, semua masyarakat itu pada intinya sama, hanya lingkungan dan intervensi pendidikan yang memanusiakanlah yang akan bisa meningkatkan kehidupan masyarakat untuk lebih baik. Dari sini jelas, bahwa lokasi dari para nasabah LKM tidak bisa dibatasi dengan wialayah. Sebab, LKM sangat ramah dengan kearifan lokal, dan disinilah letaknya dialog antara pemanfaat kredit dan tenaga lapang dari LSM pendamping dalam perumusan mekanisme kredit.

RUU LKM: Intervensi Tanpa Makna 

Ada beberapa catatan dari rancana pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur lembaga keuangan mikro (LKM). Diantaranya, terjadi kontradiksi antara apa yang dipikirkan secara mulia oleh pemerintah dan BI, yaitu ide tentang perumusan RUU LKM ini. Menyimak artikel dari salah satu pejabat BI – Abdul Salam, dalam ceramahnya yang didakan oleh YMU dan Jekora, 12 Juni 2001—mengatakan bahwa pendirian RUU LKM ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan dana dari oknum orang atau lembaga, yang mengumpulkan dana dari masyarakat untuk kepentingan dirinya.[5]

Kelihatan mulia memang, bila kita sebagai masyarakat hanya melihatnya dari apa yang diungkapkan oleh seorang pejabat BI tersebut. Namun yang terjadi, bila dilihat secara serius, maka aturan yang ada hanya pembatasan-pembatasan atau rambu-rambu yang memang “sengaja” atau paling tidak, merangsang bekembangnya benih-benih KKN (kulusi, korupsi dan nepotisme). Contoh dari itu adalah beberapa pasal, seperti pasal 3, 8, 18, di mana dalam hal pendirian LKM harus meminta izin kepada pemda setempat. Selain itu, pemerintah lewat pemda juga bisa ikut dalam mendirikan LKM ini. Sehingga di sini, pemerintah menjadi pemain, dan pengumpul dana masyarakat sekaligus. Pertanyaanya, apa fungsi eksekutif daerah kemudian ?   

Dan yang membahayakan adalah pembatasan lokasi dari keberadaan LKM ini dalam RUU itu. Menurut penulis, dalam hal ini penyusun RUU LKM ini tidak memahami dinamika LKM yang berada di masyarakat. Justru, yang terjadi di masyarakat, LKM itu berada dengan jangkauan masyarakat yang luas. Sebab selama ini, para peminjam kredit mikro dari masyarakat tersebar di desa-desa, dan itu tidak pernah dijangkau oleh lembaga keuangan formal manapun. Apalagi, selama ini birokrasi pemerintah (dan bank) terkenal  dengan lika-likunya. Sedangkan LKM yang ada, jangkauan nasabanya menyebar di beberapa lokasi, yang itu sebenarnya sudah menjadi dampingan puluhan tahun dari LSM penyelenggara LKM. Dan sekaligus juga, LSM tersebut mengetahui karakter dari dampingannya tersebut selama peluhan tahun. Itu semua terjadi, sebab LKM biasanya berdiri,  seperti ASPPUK, karena tuntutan masyarakat yang menjadi dampingan dari LSM yang sudah mendampingi bertahun-tahun. Di sini letak berbahanya, bila pengaturan LKM tanpa mencermati dinamika dari masyarakat, apalagi bila kemunculan LKM tidak lahir dari proses dialog anatar masyarakat dan penyelenggara LKM. Ini tidak bedanya seperti program-program pemerintah di era orde baru, yang selalu berangkat dari anggapan bahwa masyarakat itu bodoh, bukan dari kebutuhan masyarakat sendiri.

Kemudian, menurut penulis, perancang dari RUU LKM ini belum mengadakan penelitian secara serius tentang keradaan LKM yang sudah ada. Sebagai contoh, tentang kekhawatiran akan ketidakbecusan atau dibawa kabur dana yang telah dikumpul dari masyarakat. Justru yang terjadi, malah dibank-bank yang sudah ada aturannya itu, dana-dana dari masyarakat itu dibawa kabur oleh pemilik bank-bank nasional. Ini berbeda dengan LKM, justru di lembaga ini dana yang disalurkan biasanya bukan dana yang ditarik dari masyarakat – walaupun ada dana masyarakat pengakes kredit, namun itu sedikit –, namun dana yang dihibahkan dari donatur atau pihak luar. Dalam konteks itu, nasabah kredit (dalam hal ini usaha kecil-mikro) jauh dari aspek “pencurian” dari pihak lain (atau pengumpul dana).

Sebagai catatan terakhir, menurut penulis, pemerintah (dan BI, sebagai penaggung jawab moneter Indonesia) sebaiknya berlaku “sebagai publik services” bagi lembaga keuangan mikro ini. Artinya, jangan mengintervensi sesuatu hal yang sebenarnya sudah bagus, dan tumbuh dari insiatif masyarakat sendiri. Karena dengan “sok tahu” pemerintah, yang kemudian mengeluarkan intervensi, justru itu akan merusak tatanan yang sudah ada. Dalam konteks itu, pemerintah hanya bertugas sebagai pengawal atau mensinergikan sumber daya yang sudah ada di masyarakat, dengan sedikit mungkin campur tangannya kepada masyarakat. Dan yang penting, perlu adanya penegakan hukum yang serius (low enforcement). Bila ada penyelewengan dalam persoalan uang, tindaklah dengan peraturan yang ada. Ini berarti aspek penegakan hukum harus mendapat perhatian utama. 


[1] Pedomana KM ASPPUK, Ibid.

[2] Dalam laporan yang dikeluarkan internal ASPPUK setiap 3 bulanan, dengan judul “Informasi Kredit Mikro Periode 1999 – 2001, hingga Juli 2001”, disebutkan bahwa bahwa tingkat pengembalian PUK dari 22 propinsi – kecuali daerah konflik, yang sedikit ada keterlambatan – mencapai hasil di atas 90%.

[3] Lihat laporan secretariat ASPPUK tentang temuan-temuan lapang yang diberi judul “Evaluasi Kredit Mikro YASPPUK,  tahun2000”. Dalam temuan tersebut disebutkan juga manfaat untuk para tenaga pendamping (yiatu LSM pendamping), diantaranya, membantu mengembangkan usaha produktif anggota KSM dengan memperdayakan PUK, dan untuk menambah pengetahuan tenaga penamping KPUK.

[4] Dina Lumbantobing, “LSM dan Penguatan PUK secara Politis”, 1999. Tulisan yang termuat dalam bulletin “Jaringan LSM” no. 10 – Thn IV – April 1999, yaitu majalah yang diterbitkan oleh secretariat ASPPUK.

[5] Abdul Salam, “Peran Bank Indonesia dalam Menciptakan Iklim Finansial Kondusif Bagi Usaha Kecil Mikro”, artikel yang disajikan pada diskusi terbatas di Hotel Ambhara, Jakarta, 12 juni 2001, yang diselenggarakan oleh YMU dan Jekora.


[1] Lihat “Indikator Sosial Wanita Indonesia”, yang dikeluarkan oleh BPS 1997. Dalam catatannya, disebutkan bahwa perempuan di desa sebanyak 63,54% bekerja di sector yang dikategorikan pekerjaan “primer” (utama), dari tiga lapangan pekerjaan yang ada di pedesaan (dua lainnya sekunder dan tersier). Sedangkan laki-laki yang bekerja di desa untuk pekerjaan yang sifatnya “primer”, sebanyak 61,43%.

[2] Prof Dr Gunawan Sumodiningrat Mec, “Lembaga Keuangan Mikro dan Pembangungan Pedesaan”, kompas, Selasa 20 Februari 2001.

[3] Lihat “Manual Kredit Mikro”, yang ditulis oleh YASPPUK pada Januari 1998, Jakarta.

[4] Indikator Sosial Wanita Indonesia”, 1997, BPS, Ibid.