Perempuan Dan Persaingan Usaha

Persaingan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah belantara usaha. Kehadirannya sejalan dengan bertumbuhnya usaha itu sendiri. Semakin kompleks usaha akan semakin komplek pula modus-modus persaingan usaha. Persaingan usaha ibarat pisau bermata dua, pada satu sisi kehadirannya akan dapat mendorong inovasi-inovasi usaha, namun pada sisi yang lain akan menjadi petaka bagi mereka yang kalah dalam persaingan.

Jika melihat situasi terkini tampaknya iklim persaingan usaha semakin tidak kondusif. Globalisasi dan pasar bebas diduga telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi pelaku usaha mikro kecil (UMK) di Indonesia. Pelaku UMK menghadapi tekanan pesaing yang berlapis. Lapisan-lapisan itu setidaknya dapat dikelompoknya menjadi tiga bagian. Pertama, pesaing dalam lingkaran sesama kelompok UMK. Kedua, pengusaha lokal bermodal besar dan ketiga, pengusaha asing yang masuk akibat fenomena pasar global.

Pada kelompok pertama, sebagian besar di isi oleh pelaku usaha mikro kecil yang bergerak di pasar tradisional dengan skala perdagangan ritel. Sementara kelompok kedua dan ketiga, dapat di sebut sebagai kelompok-kelompok pengusaha yang telah mentransformasi diri ke dalam wajah pasar modern, seperti, minimart,supermarket, dan hypermarket.

Persaingan di antara kelompok-kelompok pengusaha tersebut menjadi tidaklah sebanding ketika, pelaku usaha pasar modern ikut memasuki pangsa pasar retail.  Gejalanya, ketika mereka menurunkan skala komoditinya dari  grosiran ke eceran.  Sehingga yang terjadi pangsa pasar pelaku usaha mikro kecil sering menjadi ladang perebutan di antara pengusaha bermodal besar.  Alhasil, kekuatan pemodal besar akan melibas pemodal kecil.

Fenomena semakin tergesernya pasar modern oleh pasar modern menjadi salah satu contoh. Berbagai studi dan reportase media massa menggambarkan betapa ekspansifnya pasar modern telah membuat pasar tradisional semakin terjepit. Data menyebutkan pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan (Kompas, 15 Maret 2010). Data ini menunjukkan dengan jelas  bahwa telah terjadi pergeseran dari  pasar tradisional ke arah pasar modern akibat kalah dalam persaingan usaha. Gambaran situasi persaingan usaha ini tampaknya memiliki kemiripan dengan masa orba. Dimana pada masa ini telah terjadi persaingan pasar tidak sehat, karena praktek-praktek monopoli dan oligopoli oleh Usaha Besar (perusahaan konglomerat) di hampir semua sektor (Jurnal Persaingan Usaha,Edisi 1/2009).

Lebih jauh bahwa relasi mutualisme antara pelaku usaha pasar modern dan pelaku usaha mikro-kecil boleh di kata hampir tidak ada. Jika pun ada, relasi ini lebih mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha modern. Pelaku UMK akan cenderung  menjadi re-saler (membeli untuk menjual kembali) produk pasar modern,  bukan pemasok. Meski di kalangan pelaku UMK saat ini terdapat juga yang berperan sebagai pemasok komoditi ke pasar modern, tetapi jumlah ini relatif kecil. Data menyebutkan masih sedikit sekali pelaku usaha kecil yang berperan pemasok pasar-pasar modern. Seperti misalnya Indomaret dari sekitar 3000 -3500 item produk hanya 10 % pemasok local (http://www.indomaret.co.id/2009/05/14/minimarket-pun-kian-meraja/)

Sementara itu dari sisi pasokan produk, pelaku pasar modern lebih cenderung memilih pemasok dari pengusaha besar. Bahkan disinyalir semenjak berlasungnya perjanjian FTA China telah terjadi trend pengusaha besar mengambil pasokan komoditinya dari produk-produk China yang konon karakteristik produk Cina lebih variatif, volume produk yang besar, dan harga relatif murah. Sehingga komoditi China dianggap lebih menguntungkan untuk didagangkan daripada  menjual produk-produk produk lokal.

Keengganan pelaku usaha pasar modern menggandeng usaha mikro-kecil sebagai pemasok lebih disebabkan oleh kelemahan-kelemahan pada usaha mikro-kecil itu sendiri. Di antaranya meliputi, produk yang dianggap berkualitas rendah, volume produksi yang tidak stabil dan rata-rata mereka masih lemah dalam aspek perizinan usaha. Sehingga dianggap bermitra dengan pelaku UMK akan menghadapi banyak resiko, seperti kelangkaan pasokan, pemberian subsidi , dan peningkat kualitas produk.   

Selain menghadapi kepungan pelaku usaha bermodal besar baik lokal maupun asing, pelaku UMK ke depan diprediksi juga akan menghadapi pengusaha-pengusaha baru sebagai akibat pergeseran ketenagakerjaan. Pergeseran ketenagakerjaan ini ditengarai oleh semakin sempitnya lapangan kerja formal dan membengkaknya kasus-kasus PHK. Dari data perbandingan Susenas (1998 vs 2008), menunjukkan setidaknya pendidikan setingkat D4-Sarjana yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai (formal) mengalami penurunan dari 83% (1998) menjadi 79,5 % (2008). Sementara yang berusaha secara mandiri meningkat 13 % (1998), menjadi 20 % (2008).

Munculnya pemain-pemain baru di dunia usaha ini pada satu sisi menggembirakan, karena hadirnya entrepreneur-entreprener baru. Namun di sisi lain, merupakan manifestasi munculnya pesaing-pesaing baru yang akan berebut pasar local.    

Posisi perempuan usaha kecil

Perempuan sebagai bagian dari entitas dunia usaha tidaklah kecil perannya sebagai penyumbang ekonomi nasional. Data BPS tahun 2009, menyatakan jumlah UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40% dari total angkatan kerja dan berkontribusi terhadap PDB  sebesar 56,70 %, serta diperkirakan 60% nya dikelola perempuan. Diyakini bahwa perempuan usaha kecil mikro memegang peranan penting dalam perekonomian nasional dan peran dalam pengurangan angka kemiskinan.

Namun selama ini perlindungan terhadap perempuan usaha kecil (PUK) selama terasa sangat kurang. Hal ini, lebih disebabkan dunia usaha  masih dianggap sebagai netral gender. Sehingga persoalan-persoalan terkait PUK sering terabaikan. Padahal persoalan-persoalan usaha yang dihadapi perempuan lebih komplek dibandingkan laki-laki.

Perempuan usaha kecil, selain menghadapi hambatan teknis usaha, mereka juga masih bergelut dengan persoalan struktural dan relasi ketidakadilan jender. Dalam persoalan struktural, mereka menghadapi masalah-masalah terkait kebijakan formal, birokrasi, lembaga kredit dan perbankan. Terkait dengan ketidakadilan jender, PUK masih sering mendapatkan pelabelan, seperti  perempuan tidak pantas mengelola usaha, tidak memiliki asset dan jika memiliki usaha masih dianggap sebagai usaha sampingan keluarga.

Situasi ini telah membuat posisi PUK menjadi semakin sulit ketika persaingan usaha yang makin keras. Sehingga aktivitas usaha mereka semakin sulit untuk meraih untung. Gambaran aktivitas usaha yang mereka geluti hanyalah sekedar untuk bertahan hidup. Kondisi ini menjadi sangat dilematis bagi PUK. Sementara itu realitas yang terjadi saat ini, mereka harus menghadapi persaingan usaha baik di tingkat lokal maupun persaingan pasar global, tanpa dibekali kesiapan usaha yang mamadai.

Dalam situasi  yang semakin kritis, biasanya perempuan lah yang paling banyak terkena dampak. Perempuan akan menerima beban kerja dua kali lipat karena tidak mungkin melepaskan kegiatan produksi subsisten (Evers, 2002).

Peran pemerintah

Keberadaan pasar modern di masyarakat tidak dapat dipungkiri telah hadir dan berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat kita. Pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena banyaknya barang yang bersaing sehingga harga menjadi murah. Namun di sisi yang lain akan membawa petaka bagi pelaku UMK yang terpaksa harus bersaing dengan kondisi kesiapan usaha yang tidak memadai. Namun juga yang perlu diwaspadai kehadiran pasar modern lahir sebagai kabijakan kapitalis dengan pasar bebasnya yang dampaknya akan meminggirkan pelaku usaha kecil.

Pada konteks ini perlunya peran pemerintah untuk melindungi pengusaha kecil. Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah, diantaranya peran pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, menghilangkan berbagai bentuk persaingan usaha tidak sehat, menegakkan aturan zonasi pendirian pasar modern, pemberian kuota pelaku UMK sebagai pemasok, meninjau ulang produk perjanjian dagang internasional yang ada saat ini, serta meningkatkan daya saing UMK.  Namun begitu, karena PUK memiliki problem spesifik dan berbeda dengan pelaku UMK pada umumnya, maka setiap produk kebijakan yang dibuat haruslah berperspektif adil jender. Hal ini misalnya terkait dengan masih banyaknya PUK yang sulit mengakses modal karena dianggap tidak memiliki asset, dan juga sulitnya membuat ijin usaha, dsb.

Kebijakan-kebijakan yang memihak pelaku UMK perlu didorong pula pada pemerintah daerah. Adanya otonomi daerah, berarti pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Akan menjadi preseden buruk, Jika produk kebijakan daerah yang dibuat tidak mendukung pelaku UMK, hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang UMK. Tentu saja hal ini akan sulit terwujud jika paradigma pemerintah yang masih belum berpihak pada pelaku UMK. (Di tulis oleh Darmanto Koord Litbang & ICT ASPPUK)