perencanaan berantakan, perempuan miskin sengsara !!!!!

Direktur Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Maulana memberikan keterangan pers terkait 10 kementerian atau lembaga (K/L) paling korup di Jakarta, Minggu (15/7). Analisis Seknas FITRA terhadap hasil pemeriksaan negara yang dilakukan BPK terhadap pengelolaan anggaran di 83 K/L periode 2008-2010 menunjukkan potensi kerugian negara mencapai Rp16,4 triliun dengan tiga peringkat K/L paling korup yakni Kejaksaan RI, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (FOTO ANTARA/Andika Wahyu)Sesuai UU no.25 tahun 2004, perencanaan pembangunan disusun pemerintah mulai dari dusun hingga kebupaten/kota dalam bentuk musyawarah rencana pembangunan atau “musrenbang” dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Namun kenyataanya, musrenbang selama ini disusun minim keterlibatan rakyat, terutama kelompok perempuan miskin, dan hanya melibatkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Akibatnya hasil perecanaan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, apalagi memuat keberpihakan kepada kelompok rentan, termasuk suara perempuan miskin.

Masyarakat pun makin apatis terhadap keberlangsungan musrenbang, karena bila hal itu diikuti serius hingga tingkat kecamatan, tembok forum SKPD (satuan kerja perangkat daerah) menghambat usulannya. Mereka telah menyiapkan usulan sendiri. Akhirnya keterlibatan rakyat hanya sebagai formalitas.

Ditengah apatisme pelaksanaan musrenbang, sejak tahun 2007 muncul PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) yang memiliki perecanaan tersendiri. Masyarakat seperti mendapat “harapan baru”, karena setiap usulan yang direncanakannya direalisasikan secara cepat. Ini berbeda dengan skema usulan masyarakat melalui jalur musrenbang yang membutuhkan waku tsatu tahun. Saat bersamaan, melalui perpres No.15/2010 tentang TNP2K (tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan) pemerintah pusat (dipimpin wakil presiden RI) membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang bertugas mengkoordinir semua upaya penanggulangan kemiskinan secara nasional dan di tingkat daerah dibentuk TKPKD (tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah) yang ketuai wakil pemerintah daerah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Sayangnya, inisiasi ini belum berjalan sebagaimana rencana, yaitu mengkoordinir dan mengintegrasi semua program kesejahteraan rakyat di daerah. Akibatnya perencanaan pembangunan berjalan sendiri-sendiri tanpa pemandu. Inisiatif lain adalah munculnya Inpres No.3/2010 tentang program pembangunan berkeadilan yang ditujukan; program untuk rakyat, program untuk semua, dan bertujuan pencapian MDGs. Pemerintah juga membuat perecanaan nasional yang lebih responsive gender untuk mengintegrasikan program kesejahteraan rakyat, melalui RPJMN 2010-2014, Keputusan Presiden No.5/2010 tentang integrasi perspektif gender dalam proses pembangunan, Instruksi Presiden) No.9/2000 tentang pengarusutamaan gender dalam proses pembangunan nasional termasuk perencanaan, konseptualisasi, pelaksanaan pemantauan, dan evaluasi.

Sayangnya, pemerintah tingkat kota/kabupaten dan SKPD “membonsai” peran desa yang sejatinya menjadi lokasi paling dekat dengan rakyat. Sebagai contoh, penggalian parit yang kecil nominal dananya, diambil pemda sebagai sumber PAD. Desa pun tidak mendapat apa-apa, meski dianjurkan kreatif. Padahal desa sering dinamai “kabupaten mini”, karena di sana ada APBdes, sementara di kab/kota ada APBD, PADes dan PAD, RPJMdes dan RPJMD, dsb. Posisi pemerintah desa seolah “semu” dan menjadi “bawahan” pemerintah kota/kabupaten dalam menjalan pelayanan masyarakat.

Gambar tersebut menjadi awal tererosinya integritas dan akuntabilitas aparat pemerintah dari tingkat bawah hingga nasional dalam proses (perencanaan) pembangunan. Salah satu dampak dari situasi tersebut adalah alokasi dana di atas 60 % hingga 70% APBD untuk belanja aparatur dan sisanya untuk program kesejahteraan rakyat di 5 daerah (kota Aceh, kab. Karo, Pontianak, Klaten dan kab. Kupang). Di kab. Kupang, APBD 2012 hanya mengalokasikan dana 9.02% untuk untuk Pemberdayaan Perempuan dan anak, sementara dana untuk makan-minum sekda meraup 2 Milyar. Di kota Aceh, APBD hanya mengalokasikan 835 juta dari budget 2.9 milyar untuk dinas kesehatan, 4% untuk pemberdayaan perempuan, 4-6% untuk kelautan dan perikanan, dan 5,6 % untuk ketanakerjaan. Sementara di Klaten, alokasinya bagi pemberdayaan perempuan dibawah 1%, dan Dinas pendidikan 67% tetapi peruntukannya ke aparatur daerah. Kota Pontianak, hanya mengalokasikan 11%K untuk kesehatan dan 15,44% bagi pendidikan. Kondisi itu bagai cerminan daerah lain di Indonesia sebagai dampak dari buruknya kondisi implementasi perencanaan pembangunan.

Kondisi ini berakibat kepada tingkat kesejahteraan rakyat miskin – khususnya perempuan dan anak – yang memprihatinkan. Hal itu terlihat dari lambannya laju penurunan angka kemiskinan yang terjadi di periode Maret 2009 hingga 2010, yang hanya berjumlah 0,82 persen dibanding maret 2008 – maret 2009 sebesar 1,27 persen (kompas/12/7/10). Sehingga jumlah penduduk miskin hingga bulan Maret tahun 2010 berjumlah 31,02 juta atau 13,33 %. Di tahun 2011, per September 2011 angka kemiskinan mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen) (kompas, 3/1/2012). Hingga akhir tahun 2011 angka kemiskinan pun turun masih dibawah 1%, tidak sesuai dengan alokasi anggaran yang besar. Padahal di APBN 2012, diperkirakan ada sekitar 99 trilyun anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang tersebar di 19 kementrian dan lembaga. Dan hampir 70% dari orang miskin merupakan kaum perempuan. Gambaran itu diketahui dari jumlah buta aksara sebesar 8 % dari pendudukan Indonesia, 60% merupakan perempuan. Di bidang kesehatan, status gizi buruk, angka kematian ibu (AKI) yang masih 248 per 100.000 kelahiran hidup merupakan daerah hunian perempuan. Kondisi tingginya orang miskin dan juga minimnya pendidikan perempuan yang sedang hamil berakibat pada munculnya 1.6 juta anak-anak menderita gizi-buruk (malnutrition), (Thejakartapost, 14/5/2012).

Berdasarkan fenomena diatas, kami menuntut pemerintah untuk melakukan hal berikut;

  1. Mensinergikan semua perencanaan pembangunan yang dimulai dari tingkat paling bawah; yaitu desa, kecamatan dan kabupaten/kota, dan SKPD juga harus terbuka dengan usulan masyarakat saat rapat pembahasannya.
  2. Musyawarah perencanaan pembangunan yang ada, harus betul-betul melibatkan unsur masyarakat dimulai dari tahapan pra hingga pelaksanaannya.
  3. Intensifkan peran TKPK di nasional dan TKPKD di tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam integrasi program kesejahteraan rakyat.
  4. Memberikan ruang otonomi seluas-luasnya terhadap pemerintah desa dalam perencanaan dan proses pembangunan desa demi kesejahteraan rakyat, dengan disyahkan RUU Desa.
  5. Perlunya aturan atau sejenisnya yang memungkinkan penggunaan alokasi anggaran daerah dan nasional sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat terutama bagi kelompok perempuan miskin dan anak.

    Jakarta, 14 Juli 2012

    Salam,
    M. Firdaus
    Deputy SEN (Sekretary Eksekutif Nasional)
    Sekretariat Nasional ASPPUK
    Jl. Pintu II TMII No.37 A, RT 015 RW 03, Kel. Pinang Ranti, Kec. Makasar, Jakarta Timur, 13560, web: www.asppuk.or.id Tlp 021 – 8406172 Fax 021 – 87780329

Note: Foto diambil dari Antara