Pengengembangan UMKM Pasca MDGs

Millineum Devalopmen Goals (tujuan pembangunan milineum) biasa disingkat MDGs, berakhir dalam hitungan tahun. Banyak pihak menengarai tujuan yang diprakarsai PBB dan berakhir 2015 disusun secara top-down. Sehingga ruang partisipasi masyarakat tertutup. Hasilnya banyak yang belum mengadopsi keragaman inisiatif masyarakat.

Masyarakat kelompok minoritas misalnya, ia luput dari perhatian 8 tujuan MDGs, seperti dikeluhkan Jaringan masyarakat sipil. “Masyarakat adat yang sering disebut kelompok minoritas, tidak mendapat porsi diantara 8 goal MDGs. Padahal hampir semua masyarakatnya mengalami ketertinggalan”, ungkap Rubiah dari AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara). Ia menyampaikannya bersama   Sugeng bahagio (Infid), Diantara Kartikasari (KPI) dan M. Firdaus dari ASPPUK, saat mengadakan jumpa pers, di Warung daun Cikini, Jakarta, 11 Desember 2012, pukul 11.00 siang.

Temu dengan jurnalis diadakan sebagai upaya refleksi atas keberlangsungan pencapaian MDGs selama ini, dan apa yang mesti dilakukan masyarakat sipil terhadap agenda post-MDGs. Sebagaimana diketahui, Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah untuk pertemuan High Level Panel (HLP), yang ditunjuk PBB guna merumuskan agenda pembangunan setelah 2015 untuk kawasan Asia, tgl 13 dan 14 Desember 2012 di Bali. HLP of Eminent Person on Post 2015 Development Agenda adalah tim yang dibentuk Sekjend PBB, Ban Ki Moon, untuk membantu Sekjend PBB merumuskan agenda Pembangunan Setelah 2015. Tim akan mengumpulkan masukan dari berbagai pihak di berbagai negara untuk dilaporkan ke Sidang Umum PBB pada September 2013. Tim juga melakukan kajian mengenai kemajuan maupun kegagalan yang sudah diraih MDGs yang tinggal tiga tahun. Sekaligus juga merumuskan tantangan pembangunan ke depan. UKP-PPP (unit kerja presiden bidang pengawasan dan pengendalian pembangunan) menjadi penanggung jawab teknis kegiatan di Bali. Hasil rumusan yang direncanakan disana; sharing mengenai proses dan perkembangan HLP; mendapatkan masukan dari multi-pihak khususnya dari kelompok pemuda, masyarakat sipil dan sektor swasta; dan merumuskan rekomendasi utama mengenai visi, kerangka dan isu/tujuan pembangunan setelah 2015.

Oleh karenanya, sejumlah masyarakat sipil berencana terlibat dalam pertemuan tersebut guna ikut merumuskan ide untuk penyusunan Post-MDGs. Dari rangkain diskusi internal masyarakat sipil terumuskan usulan, yaitu; Jaminan Sosial dimana memastikan setiap individu dapat bebas dan hidup bermartabat. Inklusi Sosial yang memastikan terjaminnya setiap individu untuk menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dengan cara individu bebas dari eksklusi untuk memperkuat kohesi sosial. Inklusi Ekonomi yang memastikan regulasi kepada pasar dan perusahaan agar mereka menjadi bagian  solusi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Keberlanjutan Lingkungan, yang memastikan proses pembangunan menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan serta melindungi keanekaragaman hayati. Pemerintah Yang Terbuka dan Berkualitas, yang memastikan perilaku pemerintah yang terbuka, akuntabel, responsif dan non diskriminatif dalam dengan warga negara.

ASPPUK yang memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan ekonomi yang terfokus pada pengembangan UMKM guna peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya perempuan, terlibat aktif sejak awal di rangkaian diskusi antar masyarakat sipil. Dalam siaran pers tersebut, ASPPUK mengusulkan untuk pentingnya memperhatikan pengembangan UMKM sebagai salah strategi penanggulangan kemisminan. Sebab, selama ini pengembangan UMKM terdiskriminasi dalam strategi pembangunan dibanding usaha besar. Pemerintah perlu mendorong pengembangan UMKM yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional sebagai satu solusi penanggulangan kemiskinan. Sektor ini memiliki jumlah yang cukup besar, yaitu 53 Juta pelaku usaha mikro yang 60 % nya merupakan perempuan pengusaha (Kemenkop dan UMKM 2010). Sektor ini banyak dimasuki kelompok miskin dan rentan miskin. Jadi dengan mengembangkan usahanya berarti telah melaksanakan program nyata dalam penanggulangan kemiskinan setidaknya sekitar 23 % penduduk Indonesia. Oleh karenanya, ASPPUK melalui M. Firdaus, meminta pemerintah untuk memberi keberpihakan kepada pasar rakyat dibanding hipermart. Hal itu disebebakan pertumbuhan pasar modern (seperti hyper mart dsb) makin tak terkendali, sehingga mengakibatkan penurunan pasar rakyat di sejumlah daerah. Antara tahun 1997 hingga 2005 (FAO,2006), bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional.
(ditulis oleh M.Firdaus, Deputy SEN ASPPUK).

/p

Rubiah