Tahu-Bakso Organik: Inisiatif PUK untuk Kesehatan Konsumen

Apa yang terlintas di benak pembaca saat mendengar “bakso”? Makanan lezat sarat penyakit, karena terkandung “borak” sebagai pengawet berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Begitu pula “tahu”. Varian makanan yang terbuat dari kedelai ini juga “dihujat” sebagian orang sebagai sumber penyakit karena terkandung bahan pengawet “kimiawi” supaya bertahan beberapa hari. 

Namun di tangan Sri Murgiyati, tahu dan bakso menjadi berbeda. Perempuan asal kab. Sukoharjo, Jawa Tengah, yang akrab disapa bu Mur ini menjadikan tahu dan bakso dalam satu adonan yang dinamakan tahu-bakso. Tahu-bakso hasil karyanya dijamin menyehatkan dan bebas bahan pengawet kimiawi. Mari kita tengok bersama proses produksinya. Saat pemilihan bahan tahu, bu Mur berhati-hati dalam memilih jenis makanan ini. Ia mengambil langsung dari daerah pengrajin di satu desa di Sukoharjo yang terkenal produsen tahu. Setelah sekian tahun, produsen tahu langgananya paham betul kriteria yang diminta bu Mur. Ia pun bisa komplain bila ada pesanan yang tidak sesuai standarnya. Selepas mengambil tahu dari produsen, ia langsung merendam tumpukan tahunya ke dalam alat pendingin atau kulkas yang sebelumnya ia telah masukan air kelapa ke tempat tahu. Menurutnya, tahu menjadi lebih kenyal dan bisa bertahan lama karena air kelapa merupakan zat pengawet alami. Berbeda bila tahu yang baru tercetak langsung ia goreng, maka tersembur warna coklat. Menurut perempuan yang aktif di JARPUK Sukoharjo dan dampingan YKP Solo, tidak bagus secara estetis dan memiliki rasa tidak lezat.

Sementara itu, untuk bahan dasar bakso yang terbuat dari daging sapi, ia juga terjun langsung ke pasar khusus pemotongan daging. Ia ingin menjamin bahwa daging yang ia gunakan telah melalui proses yang sesuai dengan tuntunan kepercayaan agamanya, yaitu halal. Dari situ kemudian ia bawa ke tukang giling daging hingga mencapai adonan yang halus dan bisa dibuat bakso, setelah dicampur dengan tapioca dan bumbu rempah-rempah. Proses produksi tahu-bakso pun dilakukan dengan hati-hati dan higienis. Salah satunya ia mengurangi penggunaan minyak goreng untuk memproses tahu sehingga tidak banyak bahan yang menimbulkan kolesterol. Pengukusan pun berlangsung dengan pengawasan ketat bu Mur, dan diteruskan dengan “pentirisan” hingga menjadi dingin sehingga siap dikemas dalam wadah yang disiapkan.

Karena dinilai higienis itulah, tahu-bakso bu Mur menjadi langganan tetap Rumah Sakit Islam Yarsi, kantin Pondok pesantren Assalam, dan bahkan sering di pesan orang yang hendak bepergian ke luar kota. “Tahu bakso ini bisa bertahan sampai satu minggu loh…. Ini berkat ramuan pengawet alami,” ungkap bu Mur kepada penulis sumringah.

Kini, tahu bakso bu Mur telah mendapat izin Depkes (departemen kesehatan) dengan menggunakan lebel “tahu bakso ASRI”. Dengan harga sebesar Rp 1.300- per buah selama dua tahun, tahu bakso bu Mur telah memiliki pelanggan tetap dan bahkan bertambah. Menurutnya kini ada pembeli yang memesan untuk dijadikan oleh-oleh (buah tanggan) saat pulang ke Sukoharjo dan akan balik ke Jakarta misalnya. Meski bila dihitung secara kalkulatif – bila dijumlah secara keseluruhannya –, maka harga satuan tahu bakso belum menutup BEP (break event point), namun ia bangga dan bersyukur atas pencapiannya. Menurutnya, biarlah ia menerima keuntungan tidak berlimpah-limpah, namun banyaknya pelanggan yang menikmati karyanya merupakan anugrah tak terhingga. Apalagi, ia bisa menolong warga yang bermukim di rumah sakit untuk menikmati makanan sehat dengan harga terjangkau, begitu ungkapnya berkaca-kaca. Point terakhir inilah mungkin yang tak terlihat. Keikhlasan, ketekunan, dan berniat suci untuk memberi manfaat bagi pelanggan, kunci lain dalam berusaha. Bila anda penasaran dengan tahu-bakso Bu Mur, silahkan mampir bila suatu saat ke Sukoharjo.(ids)