Tenun Tradisional antara Harapan dan Tantangan

Saya belajar menenun sejak masih SD, umur 10 tahun. Setiap pulang sekolah, saya membantu tante menenun. Saya suka menenun karena seperti sedang bermain dengan alat-alat kayu. Saya suka mendengarkan irama kayu saat sedang menenun. Sampai saat ini saya masih menenun” kata Wa ode Faria, 35 tahun, salah satu anggota kelompok perempuan usaha kecil (KPUK) tenun Kecamatan Abeli Kelurahan Anggalomelai, Kota Kendari.

Kegiatan sehari-hari Ibu Faria selain mengurus rumah tangga adalah menenun. Ditemui di rumahnya yang sangat sederhana di tengah kebun ubi kayu (singkong) di sore hari,  Ibu Faria masih asyik dengan alat tenun kayu yang dihentak-hentakan oleh sisir kayu untuk menjalin helai demi helai benang menjadi sebuah kain. Proses menenun tradisional masih dijalaninya dengan tekun ditengah maraknya industri tekstil mesin.  Ibu Faria menyadari bahwa usahanya ini belum bisa diandalkan untuk menambah pendapatan keluarga.

Saya menyelesaikan 1 sarung dalam 3 minggu, untuk 1 sarung saya jual 250 ribu, 1 sarung menghabiskan 3 doz benang dengan harga 16 ribu/doz, 1 doz isinya 12 gulung benang, jadi 1 sarung saya habiskan modal uang 48.000 ribu” jelas ibu Faria.

Menilik penjelasan Ibu Faria di atas, kelihatannya keuntungan yang diperoleh sangat besar yaitu 202.000 rupiah. Namun jika dicermati lebih jauh, dengan waktu yang diluangkan untuk 1 sarung selama 3 minggu, maka keuntungan bersih per harinya adalah 9.600 rupiah. Dengan penghasilan seperti itu, menghidupi 2 orang anak ditambah dirinya dan suami dalam kondisi saat ini dimana harga bahan makanan mahal, tentu saja belum bisa memenuhi standar kehidupan yang layak.  Suami ibu Faria adalah buruh bangunan harian musiman. Kadang ada pekerjaan,  kadang juga tidak ada. Jika tidak sedang bekerja sebagai buruh, suami Ibu Faria menanam ubi kayu dan pisang untuk di jual dan dikonsumsi.

Ada pengusaha tenun tradisional yang ingin menjalin kerjasama dengannya, namun Ibu Faria belum berani mengambil keputusan karena tawaran sistem kerjasama yang belum bisa diterimanya. Pengusaha tenun itu hanya menampung hasil tenunannya, tidak dengan sistem beli atau bayar kontan.

Ditanya pendapatnya tentang tenun tradisional yang ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alami, ibu Faria mengatakan bahwa saat ini dia sudah tidak melakukannya lagi, karena sudah banyak benang sintesis dari pabrik yang dijual dengan harga murah. Ibu Faria menambahkan bahwa proses tenun tradisional dengan menggunakan pewarna alami lebih bertahan lama jika di pakai dan disimpan, benangnya lebih kuat karena melalui proses masak beberapa kali, walaupun kelihatan kurang menarik karena warnanya pudar, tidak terang. 

Untuk diterapkan saat ini, Ibu Faria mengakui sangat sulit. Dibutuhkan tenaga kerja lebih dari 2 orang untuk 1 kali produksi. “Harus mengumpulkan bahan-bahan alam seperti daun jati untuk warna merah maron, daun cabe untuk warna hijau dan kunyit untuk warna kuning. Semua membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang lebih banyak dan otomatis menjadi lebih mahal, karena banyak biaya yang dikeluarkan”, tambahnya.

Masalah yang dihadapi PUK tenun bukan hanya menjadi masalah mereka, tetapi juga menjadi masalah dan tantangan ASPPUK sebagai organisasi yang memfasilitasi perempuan usaha kecil mikro untuk menghidupkan kembali tenun tradisional dengan menggunakan bahan alami dan pewarna alamini. Harapannya melalui kerjasama yang sedang dijalankan bersama HIVOS, NTFP dan CTI atas pembiayaan Uni Eropa dapat memberikan harapan baru bagi KPUK Tenun tradisional untuk menggeliat bersama kembali melalui produksi tenun yang ramah lingkungan dengan menggunakan bahan alam. (mia)