Relevansi Program BDS Dan Perkembangan Usaha PUK

bds_picPeranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tidak lagi diragukan kontribusinya pada perekonomian nasional. Menurut Data BPS tahun 2009, jumlah UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja. Kontribusi terhadap PDB  sebesar 56,70 %. Sedangkan menurut data Kementerian Koperasi dan UKM dari total total pelaku UMKM tersebut, diperkirakan 60 % diantaranya dikelola oleh perempuan.

Dari data-data tersebut menunjukan bahwa peran perempuan dalam pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, khususnya dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Akan tetapi justru golongan inilah, pelaku usaha perempuan, yang masih sangat kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Pada umumnya UMKM masih menghadapi banyak kendala. Mereka utamanya menghadapi berbagai hambatan teknis usaha dan persoalan struktural. Dalam persoalan teknis usaha, mereka menghadapi hambatan kekurangan modal, terbatasnya jaringan pasar, keterbatasan penguasaan tehnologi yang tepat guna, serta terbatasnya penguasaan keterampilan manajemen dan penguasaan teknis produksi.

Dalam persoalan struktural, biasanya menghadapi masalah-masalah terkait hambatan yang datang dari kebijakan formal, birokrasi, lembaga kredit seperti perbankan dan lembaga yang berwenang memberikan standar kelayakan produk, serta ketidaksetaran relasi dalam mata rantai produksi dan perdagangan. Selain menghadapi persoalan-persoalan teknis usaha dan persoalan struktural, perempuan masih menghadapi persoalan ketidaksetaraan relasi gender, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan  pengusaha mikro lebih berat dibanding laki-laki (Dewayanti dan Chotim, 2004).

Masalah ketidaksetaraan gender ini biasanya erat kaitannya dengan masalah budaya dan Stereotip (pelabelan) terhadap perempuan. Misalnya, perempuan tidak pantas mengelola usaha, makhluk lemah, harus melahirkan, mengasuh anak, tidak memiliki aset dan jika memiliki usaha akan dianggap sebagai usaha sampingan penambah penghasilan suami. Kaitannya dengan persoalan usaha, situasi budaya ini akan menyulitkan perempuan yang salah satunya dalam mengakses sumber permodalan usaha dan perijinan usaha.

Secara khusus ASPPUK mencatat sulitnya PUK mendapatkan modal baik dalam memulai usaha maupun dalam pengembangan usaha. Survey ASPPUK di 9 propinsi dan 15 kabupaten tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 2.177 PUK, 86,6% diantaranya belum pernah mengajukan pinjaman ke bank. Beberapa alasannya adalah  keterbatasan perempuan dalam pemilikan aset yang bisa secara formal dipakai sebagai jaminan kredit (kolateral). Umumnya karena kepemilikan sumberdaya dalam keluarga atas nama laki-laki atau suami.

Banyaknya masalah yang meliputi telah mengakibatkan peningkatan usaha yang dikelola PUK menjadi terhambat. Lebih-lebih dalam era ekonomi global yang semakin kompetitif, pelaku usaha mikro kecil mengalami banyak tekanan khususnya semenjak maraknya pasar-pasar modern yang telah merambah hingga pelosok desa. Meskipun banyak pendapat yang menyatakan bahwa keberadaan pasar modern ini tidak mengganggu dunia usaha di bawahnya karena memiliki segmentasi pasar yang berbeda, tapi tetap saja dalam praktek nyata kehadiran pasar modern ini tetap saja menyedot pasar pelaku usaha retailer-retailer seperti pedagang kaki lima, usaha warungan, dan pasar-pasar tradisional.

Survei yang dilakukan AC Nielsen pada tahun 2006, menunjukkan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia sebanyak 1,7 juta atau sebesar 73% dari keseluruhan pasar yang ada. Sisanya sebanyak 27% berupa ritel pasar modern. Yang lebih mengejutkan adalah survei yang dilakukan FAO (2006) yang menyatakan bahwa antara tahun 1997 hingga 2005, bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern yang mana pasar tradisional merupakan tempat usaha sebagian besar (PUK).

Selain persaingan usaha di wilayah pasar domestik, PUK juga  masih berhadapan dengan pasar bebas akibat dari implementasi perjajian internasional, seperti ACFTA. ASPPUK pernah melakukan survei tentang prosentase persaingan usaha ini di Surakarta, Sukoharjo, Kudus. Sebanyak 49% pengusaha kecil produk sejenis, 43 % pengusaha besar produk sejenis, 5% pasar modern (Supermarket, minimart, indomart, alfamart, swalayan, toserba, carefour, dan mall), sementara produk Cina masih berkisar 2%.

Data ini menunjukkan ancaman usaha dihadapan mereka masih di pusaran pedagang besar dan pasar modern. Namun demikian keberadaan produk China tetap juga merupakan acaman, karena kehadirannya yang sangat massif, sementara keadaan dalam negeri yang jauh dari kesiapan untuk bersaing. Hal ini terkait infrastruktur usaha dan iklim usaha yang sangat tidak kondusif, seperti perijinan usaha sulit, sulitnya permodalan, teknologi, dan persaingan tidak sehat.

Persaingan usaha yang makin ketat sebagai akibat liberalisasi perdagangan akan semakin meminggirkan pelaku usaha perempuan. Kondisi lingkungan usaha yang syarat persaingan tidak sehat, semakin menyulitkan mereka meraih untung. Bahkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.  Sehingga kegoyahan sedikit saja pada usaha perempuan akan berujung  pada bertambahnya angka kemiskinan. Dalam situasi kemiskinan inilah perempuan yang paling banyak terkena dampak, perempuan akan menerima beban kerja dua kali lipat karena tidak mungkin melepaskan kegiatan produksi subsisten.

Pada situasi ini ASPPUK yang merupakan salah satu LSM jaringan yang peduli terhadap perempuan usaha kecil  mencoba terus mendorong kekuatan perempuan usaha kecil-mikro.  Hal ini seperti yang tertuang dalam visi ASPPUK, yaitu ‘Terwujudnya Perempuan Usaha Kecil-Mikro yang Kuat dan Mandiri dalam Masyarakat Sipil yang Demokratis, Sejahtera dan Egaliter, Setara dan Berkeadilan Gender’.

Dalam mewujudkan visinya, ASPPUK melakukan penguatan Perempuan Usaha Kecil (PUK) dan LSM anggota yang meliputi dua aspek pendekatan, yaitu aspek ekonomi dan aspek politik. Penguatan dalam aspek ekonomi merupakan usaha ASPPUK dalam meningkatan kemampuan anggota dalam memfasilitasi pengembangan usaha PUK. Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam aspek ini diantaranya meliputi pelatihan-pelatihan perencanaan usaha, pembukuan usaha, teknik produksi, dan strategi pemasaran.

Program-program yang terkait langsung dalam aspek penguatan ekonomi yang pernah dilaksanakan ASPPUK, antara lain yaitu, Program (1) ‘Micro Credit And Menegement Assistance for Women in Small Business’ Periode  1998 – 2004; (2) Program ‘Pengembangan Ketrampilan Hidup bagi Pekerja Perempuan di 8 Pabrik’ periode 2002-2004; (3) Program ‘Strengthening Female Small Scale Enterpreneurship’, periode 2003 – 2004.

Juga (4) Program ‘Sistem Pemulihan Aset Usaha Mikro yang dikelola Perempuan usaha Mikro di Bantul Yogyakarta, periode 2007-2008; (5) Program ‘Penguatan Kelembagaan JARPUK sebagai Gerakan Ekonomi Politik’,  2007-2008; dan (6) Program ‘Penguatan JARPUK sebagai Wadah Pengembangan Ekonomi Rakyat’, periode 2008-2011.

Sedangkan pada penguatan aspek politik, ASPPUK melakukan pendidikan politik. Hal ini meliputi pelatihan tehnik advokasi, seperti lobi, negosiasi, dan analisis kebijakan. Dalam penguatan aspek politik ini bukanlah dimaksudkan untuk melakukan pendidikan politik praktis, seperti berafiliasi kepada partai politik tertentu, tetapi lebih ditujukan untuk peningkatan kesadaran kritis PUK. Bagi ASPPUK kesadaran kritis PUK perlu didorong mengingat kemajuan ekonomi PUK tidak akan bermakna tanpa meningkatnya kesadaran kritis PUK.

Beberapa contoh program ASPPUK dalam bidang pendidikan politik diantaranya, (1) ‘Penguatan Perempuan dalam Politik melalui Civic Education dan Voter Education’ (1999-2004), (2) Program ‘Peningkatan Akses dan Penguasaan Perempuan Usaha Kecil Terhadap Sumber Daya Ekonomi dan Politik’ (2003-2008), (3) Program ‘Penguatan Masyarakat Sipil untuk Mendorong Perubahan Kebijakan yang Responsif Gender’ ( 2005-2006).

Selain itu juga ada (4) program ‘Penguatan Perempuan Basis untuk Mendorong Perubahan Kebijakan lokal yang Responsif Gender’ (2009-2010), (5) Program ‘Penguatan Kapasitas Kelembagaan Perempuan Usaha Kecil-Mikro melalui Pengembangan Jejaring Usaha Berbasis Sumber Daya Lokal Mandiri yang Berkelanjutan yang Mampu Mendorong Terwujudnya Tata Pemerintahan Lokal Demokratis’ ( 2009-2011), (6) Program ‘Penguatan Masyarakat untuk Terwujudnya Integrirtas dan Akuntabilitas Pemerintah’( 2010 – 2012).

*****

Berdasarkan refleksi organisasi melalui Forum Nasional (Fornas) ASPPUK tahun 2008, tampaknya dari kedua strategi pendampingan tersebut masih timpang. Pendampingan ekonomi yang telah lama diimpikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi PUK melalui peningkatan usaha tampaknya masih tertinggal. Apabila dibandingkan dengan pendampingan aspek politik.

Pada  refleksi Fornas 2008  juga memperjelas ketertinggalan dampak pendampingan dalam ranah penguatan ekonomi PUK. Diantaranya belum maksimalnya perubahan manajeman usaha, belum ada peningkatan pada proses produksi dan pemasaran, belum maksimalnya pengelolaan keuangan usaha, rendahnya kemampuan menganalisis kebutuhan pasar-kebutuhan konsumen, kemampuan memanfaatkan organisasi sebagai wadah pemasaran produk masih rendah dan belum merata di dalam PUK, dan belum terbangunnya solidaritas pasar di antara anggota PUK serta tingginya biaya pemasaran dan aksesibilitas informasi pasar belum terdistribusi secara merata.

Secara umum usaha ekonomi yang dikembangkan PUK masih bersifat subsistensi, yaitu usaha hanya cukup untuk memenuhi bertahan hidup. Belum dikelola secara profesional, bahkan masih banyak di antara mereka yang menganggap usaha mereka hanyalah usaha sampingan. Oleh karena itu, ASPPUK mengalami kesulitan untuk melihat perkembangan program anggota dari aspek bisnis, karena memang belum ada ukuran yang jelas. Seperti tingkatan-tingkatan  usaha dan klaster usaha PUK.

Selain persoalan-persoalan yang tersebut,  juga terungkap penyebab belum berhasilnya penguatan ekonomi PUK juga terkait dengan masih belum meratanya Program-Program Nasional ASPPUK. Khususnya program-program yang terkait penguatan ekonomi pada seluruh anggota. Hal ini mengingat cakupan wilayah ASPPUK yang cukup luas, yaitu tersebar di 5 wilayah yaitu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan Nusa Tenggara. Tersebar di 17 provinsi dan 64 kabupaten/kota. Hal inilah yang menjadi tantangan di masa mendatang bagi ASPPUK untuk terus memelihara keberhasilan-keberhasilan program yang telah dicapainya.

Menyadari  dari berberapa kelemahan ini, khususnya dalam pendampingan pada aspek ekonomi  ASPPUK   melaksanakan ‘Program Pengembangan Usaha Kecil-Mikro Sebagai Kekuatan Ekonomi Rakyat’ (2008-2011). Secara rinci program ini  di antaranya bertujuan, mendorong berkembangnya usaha PUK, meningkatkan kapasitas JARPUK dan jaringan ASPPUK sebagai fasilitator dan layanan pengembangan bisnis (Provider BDS),  serta  meningkatkan kapasitas jaringan ASPPUK sebagai fasilitator PUK dan memfasilitasi terbentuknya LKM sekunder tingkat nasional sebagai organisasi payung  Lembaga Keungan Perempuan (LKP) di tingkat kabupaten.

Pada awalnya program ini hanya berada di beberapa lokasi. Antara lain Kota Solo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus (Wilayah Jawa), Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Singkawang, Kabupaten Sintang (Wilayah Kalimantan), dan Kota Padang (Wilayah Sumatra Barat). Kemudian cakupan wilayah diperluas sebagai keberlanjutan program, yaitu di wilayah Kota Singkawang dan Kabupaten Ketapang (2009-2011).

*****

Program  Pengembangan Usaha Kecil-Mikro Sebagai Kekuatan Ekonomi Rakyat  yang dilaksanakan ASPPUK terkadang sering  disederhakan  sebagai “ Program BDS”. Hal ini setidaknya sering  muncul dalam percakapan-percakapan yang dilakukan dijejaring ASPPUK, baik oleh pendamping, PUK dan JarPUK. Penyederhanaan  penyebutan program ini bukan tanpa alasan, dikarenakan dalam program ini memang  banyak sekali kegiatan yang terkait secara khusus  dengan  penguatan kapasitas dalam peningkatan layanan pengembangan  bisnis (Provider BDS). Kegiatan-kegiatan itu di antaranya meliputi, pembuatan konsep BDS, pelatihan-pelatihan kewirausahaan, konsultasi bisnis yang  melibatkan konsultan ahli, pengkategorian tahapan usaha PUK, klaster usaha, pendataan produk unggulan, dsb. Meskipun pada kenyataannya program BDS mereka  pahami masih dalam bingkai besar program “ Pengembangan Usaha Kecil-Mikro Sebagai Kekuatan Ekonomi Rakyat “ yang  dijalankan ASPPUK. Dalam konteks program ini disadari pula oleh ASPPUK penguatan-penguatan ekonomi terhadap PUK tanpa diimbangi oleh peningkatan kesadaran kritis mereka akan sulit mewujudkan kesejahteraan mereka. Hal ini disebabkan hambatan-hambatan usaha PUK seperti telah disebutkan sebelumnya sangatlah kompleks, yaitu selain hambatan teknis usaha mereka juga masih berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak serta problem ketidaksetaraan relasi gender. Untuk itu dalam rangkaian besar program ini (BDS) sangatlah perlu memadukan pendekatan dari aspek ekonomi dan politik  (advokasi).

Program BDS  secara teknis menggunakan model klaster usaha dan tahapan usaha. Pendekatan pendampingan usaha melalui kategorisasi tahapan dan klaster usaha ini sangat memungkinkan untuk memberikan perlakuan yang tepat sasaran sesuai dengan persoalan-persoalan usaha secara spesifik yang dihadapi PUK di setiap tingkatan.

Misalnya terkait jenis-jenis pelatihan yang diberikan, dukungan pemodalan, dsb. Tahapan-tahapan usaha tersebut di antaranya tahap rintisan usaha, tahap berkembang, dan tahap akumulasi modal. Sedangkan ukuran untuk melihat tahapan-tahapan ini diantaranya meliputi umur usaha, omzet usaha, jumlah tenaga kerja, dan aset pertahun. Sedangkan secara klaster, usaha-usaha PUK dapat dikategorikan menurut jenis-jenis usahanya, misalnya klaster jahit, kerajinan, makanan olahan, pertanian , dsb.

Secara umum keberhasilan program ini yang patut mendapat apresiasi adalah adanya peningkatan  kualitas pendampingan LSM, peningkatan skala usaha PUK dan munculnya produk-produk unggulan PUK, perluasan akses pasar PUK serta terjadinya  peningkatan kapasitas kelembagaan JarPUK. Secara khusus peningkatan kapasitas kelembagaan JarPUK  telah berdampak mulai diperhitungkannya mereka oleh stakeholder lain, khususnya di tingkat pemerintahan lokal, seperti akses terhadap sumberdaya modal, pelatihan-pelatihan yang diselenggaran dinas-dinas setempat, keterlibatan dalam perencanaan daerah serta jejaringan masyarakat lainnya.

Pelajaran berharga lain  dari program ini, di antaranya ASPPUK bersama anggotanya telah mencoba mempraktekan model pendampingan dengan  pendekatan bisnis. Meskipun diakui oleh sebagian besar anggota ASPPUK sesungguhnya juga telah melakukan metode ini sejak lama. Hanya saja, metode-metode ini belum terlembagakan secara baik. Persoalan lain yang tidak kalah penting yaitu masih adanya sikap ragu-ragu, khususnya di kalangan LSM anggota dalam mempraktekan strategi pendampingan yang berorientasi bisnis profesional.  Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya kemampuan pendamping dalam bidang-bidang usaha profesional.  Di samping itu untuk membentuk sentra bisnis dan layanan pengembangan bisnis (Provider BDS) membutuhkan persiapan-persiapan yang kompleks. Seperti kesiapan lembaga pendamping secara menejerial, ketersediaan pendamping ahli di bidang bisnis, dan prosedur/konsep BDS yang jelas dan implementatif. ( Darmanto – Artikel telah dimuat dalam buku “Pada Kerja Kami Percaya, ASPPUK – Jakarta, 2012).