Hari Bumi 2022, Petani dan Nelayan Rentan Alami Pemanasan Global

Hari ini, 22 April 2022, seluruh penduduk Bumi memperingati Hari Bumi. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, kesadaran untuk mempromosikan kesehatan lingkungan.

Mengapa Hari Bumi perlu diperingati? Karena masih banyak masalah lingkungan di Bumi. Perlu ada kesadaran serius tentang lingkungan yang terus mengalami perubahan.

Pada hari ini, para aktivis lingkungan mengajak semua orang di Bumi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan beradaptasi dengan cara hidup yang lebih ramah lingkungan.

Tahun ini, Tema Hari Bumi mengambil tema “Invest in Our Planet” atau Investasi di Planet Kita dengan sub tema “Nature in the Race to Zero” atau Alam dalam Perlombaan Menuju Nol.

Hal ini sejalan dengan upaya untuk mencapai nol emisi gas rumah kaca pada pertengahan abad untuk menjaga suhu global di bawah 1,5°C. Sementara fokus utamanya adalah pada pengurangan ketergantungan bahan bakar fosil.

“Bergabunglah bersama kami untuk mempelajari bagaimana solusi berbasis alam dapat membantu kami mewujudkan sepertiga dari pengurangan gas rumah kaca,” tulis organisasi Earth Day.

Inilah saatnya untuk mengubah semuanya — iklim bisnis, iklim politik, dan bagaimana kita mengambil tindakan terhadap perubahan iklim. “Sekaranglah saatnya keberanian yang tak terbendung untuk menjaga dan melindungi kesehatan kita, keluarga kita, mata pencaharian kita… bersama-sama, kita harus Berinvestasi di Planet Kita,” tulis Earth Day.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak pada siapa saja, termasuk para petani dan nelayan. Perubahan iklim mengakibatkan kekeringan dan banjir sehingga menimbulkan ancaman gagal panen dan juga mengakibatkan kegiatan menangkap ikan semakin jauh ke tengah laut.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa petani di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Ghana dan negara-negara di Afrika Timur tidak memiliki kemampuan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena rendahnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya pilihan baik berupa teknologi maupun infrastruktur.

Petani skala kecil dan nelayan merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, petani kecil kerap bercocok tanam di kawasan yang rentan, misalnya karena curah hujan yang rendah atau kualitas tanah yang menurun.

Nelayan pun bernasib hampir sama seiring dengan menurunnya keragaman biota laut akibat pemanasan global.

Kendati demikian, dua kelompok ini sebenarnya memiliki sistem kerja dan berbagai metode yang meningkatkan peluang adaptasi di tengah iklim yang berubah. Peluang tersebut dapat semakin tinggi apabila mereka giat bekerja sama dan mengorganisasi diri untuk menyusun strategi menghadapi pemanasan global.

Dampak bagi nelayan dan petani

Di Amerika bagian tengah dan Madagaskar, pemanasan global mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem yang menurunkan produktivitas pertanian. Kondisi akhirnya mengganggu ketahanan pangan bagi petani kecil.

Sementara itu, sejumlah studi juga menaksir perubahan cuaca dan temperatur akan terjadi di Indonesia setiap beberapa tahun pada 2010, 2030, dan 2050. Cuaca yang berubah-ubah akan mempengaruhi produksi beras secara drastis di pulau Jawa dan Bali.

Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara, lembaga nirlaba di sektor pertanian, Wahana Tani Mandiri/WTM melaporkan kekeringan yang berkepanjangan, penurunan kesuburan tanah, dan serangan penyakit tanaman yang memperburuk kualitas panen.

Akibat kejadian-kejadian tersebut, petani kerap menunda aktivitas penananaman sehingga pendapatan mereka jauh berkurang.

Sementara itu, dalam wawancara yang dilakukan Yayasan Inobu terhadap nelayan di Fakfak ditemukan fakta bahwa pelayaran dilakukan lebih jauh untuk mempertahankan hasil tangkapan mereka.

Pendekatan kelompok

Perubahan iklim bukan hanya persoalan yang melanda petani secara individu, tapi juga komunitasnya. Hal yang sama juga berlaku bagi komunitas nelayan. Riset menunjukkan ikatan sosial yang kuat di kalangan nelayan di pesisir Asia, Eropa, dan Afrika, mampu meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Tak hanya ikatan sosial, kemampuan berjejaring, tingkat kepercayaan dan norma-norma sosial, juga turut mempengaruhi pilihan-pilihan tindakan yang diambil para petani.

Di Nusa Tenggara Timur, para petani juga menganggap kelompok tani sebagai sarana utama untuk menghadapi beragam fenomena dalam perubahan iklim. Hal ini terjadi karena rasa tolong-menolong di antara sesama anggota.

Sebaliknya, kegiatan budi daya perikanan yang berkelanjutan (restorative aquaculture) yang dilakukan nelayan di Fakfak secara individu terbukti belum optimal. Sebab, pendekatan ini dapat efektif jika terdapat keterlibatan warga dalam kelompok dan kepala desa setempat.

Pendekatan kelompok memang bukanlah satu-satunya andalan bagi petani dan nelayan untuk menghadapi perubahan iklim. Aspek ini harus dibarengi dengan akses informasi yang memadai, peningkatan kualitas bagi para pemimpin di tingkat komunitas, dan kesediaan para nelayan serta petani untuk menggunakan pendekatan baru.

Pendekatan baru

Di tengah kondisi yang semakin buruk, petani dan nelayan sudah selayaknya memiliki beragam strategi. Setidaknya ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan.

Pertama adalah reorganisasi pekerja yang terjadi ketika petani melibatkan anggota keluarganya untuk bercocok tanam. Metode itu jamak diterapkan petani kecil di banyak negara dalam pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak orang. Misalnya pekerjaan perawatan tanah dan air maupun diversifikasi tanaman.

Petani di Etiopia merawat tanah dan air dilakukan melalui rotasi penanaman jagung dengan kacang-kacangan. Petani setempat bahkan terbiasa membiarkan sisa-sisa panen di ladang mereka untuk menjaga kemampuan tanah menyerap air.

Nah, penerapan pekerjaan semacam ini biasanya ditentukan oleh faktor jumlah laki-laki dalam suatu keluarga. Sebab, aktivitas rotasi tanaman maupun perawatan tanah dan air lebih membutuhkan banyak pekerja.

Kedua, alternatif sumber pendapatan. Petani yang memiliki sumber pendapatan alternatif di luar pemasukan hasil panen mereka akan beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim.

Di Ghana, beragam sumber pendapatan yang dimiliki petani mampu mengurangi risiko keuangan dari gangguan panen akibat kekeringan, banjir, hujan ekstrem, maupun badai. Pendapatan dari sumber non-pertanian juga dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak jenis tanaman yang dikembangkan, ataupun pembelian pupuk agar produktivitas ladangnya meningkat.

Selain diversifikasi sumber pendapatan, upaya mengkombinasikan berbagai jenis tanaman juga menjadi strategi adaptasi yang efektif.

Sementara di Nusa Tenggara Timur, para petani coklat–dalam wawancara kepada Wahana Tani Indonesia–menyatakan turut menanam vanili, pala, dan salak untuk menambah variasi hasil pertanian mereka.

Tak seperti coklat, vanili dan salak dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap cuaca panas dan kering. Sisa hasil panen [salak] pun (http://edepot.wur.nl/192242) dapat bermanfaat untuk pupuk organik.

Sedangkan tanaman pala yang dapat tumbuh tinggi mampu melindungi pohon coklat dari sinar matahari yang menyengat. Pada akhirnya, kombinasi keempat tanaman ini dapat mengisi pundi-pundi keuangan petani.

Ketiga adalah kearifan lokal, dimana para nelayan menggunakan kearifan lokal untuk melestarikan ikan-ikan laut. Di Papua, para nelayan diajarkan secara turun-temurun untuk memberi jeda dalam menjala ikan agar laut dapat “beristirahat.” Praktik pemulihan sumber daya perikanan (stock recovery) ini dikenal sebagai Sasi Laut.

Tak hanya bagi aktivitas perikanan, Sasi Laut juga diterapkan ke pengelolaan pariwisata.

Saat ini, sektor perikanan tradisional juga dapat menerapkan upaya peningkatan stok (stock enhancement) sebagai langkah antisipasi menghadapi perubahan iklim. Langkah lainnya adalah penambahan (restocking) dan pengembangan stok, hingga pelepasan ikan kembali ke laut–yang dikenal sebagai restorative aquaculture (Jekson Simanjuntak)