Nuraeni: Lindungi Laut Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

 

Jakarta, ASPPUK – Ketua Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-zahra di Makassar, Sulawesi Selatan Nuraeni mengatakan pergantian musim yang terjadi di wilayahnya (Pelabuhan Paotere, Makassar) sangat tidak menentu. Akibatnya, tangkapan nelayan sangat berfluktuatif dan cenderung lebih sedikit jika dibandingkan pada dekade sebelumnya.

Hal itu diungkapkan oleh perempuan yang akrab disapa “Eni” saat menjadi narasumber pada sesi “Obrolan Santai ASPPUK vol.1”, 9 Juni lalu. Menurutnya, dampak perubahan iklim telah begitu nyata dan memberi perubahan berarti bagi kehidupan nelayan.

“Dulu jelas musimnya. Musim penghujan dari bulan sekian ke bulan sekian. Ada musim panas, musim angin laut, dan sebagainya. Tapi sekarang perubahan iklim itu terasa sekali dan tentu sangat mempengaruhi,” ungkapnya.

Eni menambahkan, “Jika sebelumnya melaut pada bulan Juni ini enak, tapi sekarang malah sering kesulitan karena tiba-tiba cuaca berubah. Tiba-tiba hujan, badai, sementara mereka (nelayan) berada di tengah laut.”

Biasanya cuaca diprediksi cukup bersahabat, sebelum nelayan memutuskan berangkat melaut. Menggunakan sistem penangkapan ikan yang tradisional membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa jika cuaca buruk. Solusi terbaik adalah kembali ke daratan.

Eni menuturkan, jumlah tangkapan ikan yang berkurang saat cuaca dan musim yang tidak bersahabat berimbas terhadap harga di pasaran. “Akibatnya harga ikan melambung tinggi. Harganya saat ini seksi sekali karena jumlah tangkapan yang berkurang,” jelasnya.

Bagi perempuan berusia 50 tahun itu, kondisi tak menentu yang dialami para nelayan memberi pengaruh buruk terhadap istri-istri mereka. Akibatnya, muncul konflik-konflik domestik, seperti kekerasan dalam rumah tangga hingga eksploitasi anak.

Atas pertimbangan itu, Eni membentuk Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-zahra. Di kelompok itu, dia membantu para istri nelayan dan perempuan pesisir dalam menggerakan perekonomian keluarga.

Melalui kegiatan di kelompok, Eni mampu mewujudkan perempuan yang mandiri, berdaya dan memiliki keterampilan. Keterampilan disesuaikan dengan potensi setiap anggotanya.

“Karena tidak semua orang memiliki potensi yang sama,” katanya. Dengan demikian, setiap istri nelayan dan perempuan pesisir bisa mengembangkan diri sendiri.

“Jangan dipaksakan sesuatu yang dia tidak suka. Jika dipaksakan, tidak mungkin dia akan menjadi besar,” tegasnya.

Terbukti ketika para suami tidak melaut, Eni berhasil melibatkannya dalam kegiatan pemasaran. Para nelayan ikut aktif membantu istri-istrinya dalam menjajakan dagangan ke sejumlah lokasi, mulai dari hotel, tempat pameran hingga toko oleh-oleh.

“Kami kan suka ada beberapa hantaran. Kami kasih kerjasama bapak-bapak untuk membantu, misalnya membawa ke hotel, dan sebagainya, sehingga mereka merasa terlibat juga,” kata Eni.

Secara perlahan Eni berhasil mengubah poa pikir para nelayan yang awalnya hanya berkutat di tempat pelelangan ikan (TPI) dan terjebak pada praktik ijon. Setelah mengikuti sejumlah pelatihan, para nelayan mulai menjajakan hasil tangkapannya ke kompleks perumahan di sekitar mereka.

“Sekarang mereka lebih nyaman untuk uang yang didapatkan, dibanding berkutat di pelelangan, dimana disana peran tengkulak sangat luar biasa,” ungkapnya.

Produk Olahan Berwawasan Lingkungan

Saat ini, cuaca yang tidak menentu, menurut Eni mengakibatkan produk olahan yang mereka hasilkan ikut terdampak. Sejumlah produk olahan seperti abon, baso, naget sangat bergantung dari kesediaan bahan baku yang dikumpulkan nelayan.

“Ini karena dampak perubahan iklim,” ujarnya lirih.

Pengolahan abon Tuna, salah satunya. Jika biasanya KWN Fatimah Az-zahra mampu memproduksi satu ton abon dalam sebulan, seiring perubahan cuaca, pasokan bahan baku kerap terkendala.

“Biasanya kami produksi 1 ton dan harus menunggu 1 minggu untuk mengumpulkan ikan sampai bisa ketemu sebanyak itu,” terang Eni.

Saat pasokan bahan baku cenderung menurun, kondisi itu menurut Eni diperparah dengan pandemi Covid-19. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mereka mencoba bertahan. “Dan untuk kembali pulih perlu proses,” tegasnya.

Dengan kondisi itu, Eni berusaha meningkatkan literasi para nelayan. Harapannya mereka bisa memahami dampak dari perubahan iklim, sehingga tidak terkejut dengan fenomena alam yang terjadi. Setelahnya, mereka diajak untuk mencari solusi alternatif lain.

“Kita berharap keluarga-keluarga nelayan mampu melewati perubahan cuaca yang merupakan tantangan bagi mereka. Berharap mereka bisa melalui itu semua ditengah kondisi Covid-19,” ucapnya.

Satu-satunya cara adalah dengan menumbuhkan minat kewirausahaan, sehingga para nelayan mampu menyejahterakan keluarganya. “Itu harapan saya ke mereka,” kata Eni bersemangat.

Ketika keluarga nelayan punya tekad bulat untuk bangkit dan tidak putus asa, biasanya selalu ada jalan. Jalan seperti itu, harus ditempuh. Dan jika berhasil, sikap peduli terhadap lingkungan jangan diabaikan.

“Jika berusaha, jangan hanya memikirkan diri sendiri tetapi bagaimana ada dampak yang baik terhadap orang-orang disekitar kita. Karena kalau bukan kita yang peduli, maka siapa lagi? Termasuk peduli menjaga alam ini,” urainya.

Eni mengingatkan agar peduli terhadap lingkungan, sehingga masyarakat di sekitar juga ikut sejahtera. Sudah saatnya untuk tidak semata-mata mengejar keuntungan diri sendiri, namun turut andil menyejahterakan masyarakat sekitar.

“Dengan begitu masyarakat di sekitar ikut merasakan dampaknya dan alam tetap lestari. Itu bukti ketulusan hati kita,” ungkapnya.

Khusus terkait bahan baku ikan yang digunakan dalam produk olahan, Eni punya jurus jitu. Menurutnya, pasokan ikan dengan ukuran kecil tidak akan diterima, karena

bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Eni hanya menerima ikan-ikan dengan ukuran tertentu.

“Misalnya, jika kita pilih tuna yang besar, tusuknya sedikit, kemudian berilah kesempatan hidup bagi tuna yang kecil-kecil itu. Kita hanya mengambil yang ukuran besar dan memang sudah layak untuk dikonsumsi,” ucapnya.

Bagi Eni, penting sekali untuk menjaga habitat ikan tetap lestari. Hal itu berkaitan langsung dengan keberlangsungan usaha produk olahan yang mereka kerjakan. Bahkan, dia bisa membedakan, mana ikan yang diambil degan cara-cara tradisional dan mana yang tidak.

“Karena bisa kelihatan, ini ikan diambil dengan putas atau tidak. Jika memilih mengambil ikan seperti itu, maka mereka akan tetap menggunakan racun untuk mengambil ikan di laut,” terangnya.

Peduli Perempuan Pesisir

Terbentuknya KWN Fatima Az-zahra, menurut Eni, bermula dari keprihatinan melihat kondisi keluarga nelayan yang ada di pesisir. Saat itu, ketergantungan terhadap tengkulak sangat tinggi. Selain itu, SDM suami mereka sangat rendan dan belum memadai dalam hal penangkapan ikan.

“Saya pikir yang menerima dampak langsung dari kondisi itu adalah para perempuan. Jadi, saya mendorong perempuan yang ada di sekitar tempat tinggal saya,” paparnya.

Kebetulan Eni tinggal di kawasan pesisir, dimana 99% penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang ikan, dan buruh kasar. Saat itu, banyak keluarga nelayan yang terjebak hutang dan tidak mampu membayar.

“Padahal jika mereka pinjam Rp1 juta, maka tagihannya bisa mencapai 1.5juta – 2juta, sehingga mereka tidak merdeka untuk menjual hasil tangkapan mereka,” katanya.

Sistem demikian, menurut Eni akan memiskinkan nelayan dalam waktu singkat. Dia kemudian melakukan pendekatan langsung kepada para nelayan. Belakangan hal itu diakuinya sangat sulit, karena sistem ijon telah begitu lekat di masyarakat.

“Saya seperti menghadapi kekuatan mata rantai setan yang susah diputus,” ungkapnya.

Eni lalu mendekati istri-istri nelayan yang ada disekitar rumahnya. Dia menjelaskan bahwa perempuan merupakan madrasah dalam keluarga, termasuk bagi anak-anak.

“Dengan harapan, perempuan-perempuan itu akan merubah pola sikap, pola hidup anak-anak dan merubah pola pikir suaminya dengan meningkatkan kapasitas,” terang perempuan kelahiran Agustus 1969 itu.

Eni menyimpulkan, “Ini perlu wadah atau kelompok untuk mengerjakannya secara bersama-sama. Maka dibentuklah Kelompok Wanita Nelayan Fatima Az-zahra dengan mimpi besar agar perempuan pesisir mampu mengolah hasil tangkapan suaminya menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.”

Selama ini, ada persepsi negatif terhadap perempuan pesisir dan istri-istri nelayan. Mereka acap kali dikenal sebagai komunitas yang terbelakang, bodoh, dan tidak mampu keluar dari cengkraman tengkulak.

Melalui KWN Fatima Az-zahra, Eni mencoba memperkenalkan paradigma baru, yakni perempuan pesisir dan istri nelayan merupakan pribadi yang terampil, cerdas, serta mampu menghasilkan nilai tambah di tengah keluarga.

“Bahkan kami punya kelebihan, karena mampu memberi gizi yang baik untuk mereka. Jika tidak ada mereka yang mengelola hasil laut, bagaimana orang diluar sana bisa mengkonsumsi ikan yang sehat,” ungkapnya.

Tak berhenti disitu, Eni juga membangun Sekolah Perempuan Pesisir (SPP) dengan tujuan mampu mengadvokasi perempuan pesisir sekaligus memberi pemahaman bagi keluarganya tentang penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

“Bagaimana kita menjaga laut sehingga bisa hidup dengan laut yang lestari, bersih sehat dan peran penting perempuan pesisir bersama keluarga dalam menjaga laut,” ujarnya.

Sementara itu, terkait penangkapan ikan yang berkelanjutan, Eni memiliki misi agar nelayan mampu menangkap ikan dengan menerapkan praktik yang ramah lingkungan. “Bagaimana tidak menggunakan illegal fishing, seperti menggunakan bom, pakai bius, pakai potas dan sebagainya,” katanya.

Sekilas cara-cara itu, menurut Eni sangat menyenangkan, karena bisa dilakukan dengan singkat. Hasilnya juga banyak. Namun, seperti apa nasib anak cucu kelak, menurutnya tetap harus jadi perhatian.

Berawal dari 3 orang

Eni menuturkan jika KWN Fatimah Az-zahra hanya bermula dari 3 orang yang secara perlahan berkembang menjadi 10, 20 orang dan sekarang telah melibatkan lebih dari 600 perempuan yang berdomisili di pesisir.

“Jumlah itu, diluar yang kami latih secara gratis,” terangnya.

Dengan bentuk usaha sebagai wirausaha sosial, Eni menjelaskan jika keuntungan yang mereka peroleh selalu disalurkan untuk kegiatan pelatihan produk makanan olahan. Bahkan, tak sedikit pihak yang datang berkunjung untuk belajar secara gratis.

“Semua itu gratis, yang jika dijumlahkan ada 8 ribu orang yang telah ikuti pelatihan kami,” ungkap Eni. Dengan begitu, setidaknya akan muncul 8 ribu wirausaha-wirausaha baru.

Sejak memulainya di tahun 2012 hingga sekarang, KWN Fatimah Az-zahra selalu menerapkan prinsip “sejahterahkan diri sendiri sebelum membantu orang lain”. Menurut Eni, hal itu cukup efektif dalam membangun semangat wirausaha, termasuk mampu menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan sosial.

“Jika kamu sudah sejahtera, maka bisa bantu yang lain. Mari kita peduli, mari kita saling membantu. Saya sangat beruntung karena di kelompok saya, mereka adalah orang-orang yang peduli,” ujarnya.

Sementara kaitannya dengan target di masa depan, Eni berharap agar produk yang mereka hasilkan bisa berdaya saing dengan produk sejenis yang ada di pasaran. “Syukur-syukur bisa masuk ekspor,” katanya.

Namun untuk urusan produksi, kembali Eni mengingatkan agar tidak merusak alam. Penting diperhatikan, bagaimana cara berproduksi dengan tetap menjaga sumberdaya alam tetap lestari.

“Seperti bagaimana menjaga laut, sehingga ikan-ikan kita banyak. Bagaimana menjaga kebersihan laut kita, dan ini tidak bisa hanya dari saya saja,” katanya.

Karena itu, Eni menuntut tanggungjawab pemerintah agar mampu menjalankan aturan secara tegas, termasuk memberi pemahaman kepada masyarakat. “Karena mengubah orang tidak perlu dengan kekerasan, tetapi secara terus menerus memberi pemahaman tentang metode menangkap ikan yang benar,” katanya.

Dengan begitu, para nelayan bisa menghasilkan secara optimal, tanpa harus melakukan praktik illegal fishing. Di era seperti sekarang ini, menurut Eni, banyak kearifan tradisi yang seharusnya dipertahankan.

“Buktinya di jaman dahulu, orang tua kita bisa mendapatkan ikan yang banyak tanpa harus merusak terumbu karang. Jangan menjadikan alasan bahwa dengan menguasai laut sebagai suatu kebanggaan, tetapi sebenarnya sesuatu yang merusak, hanya karena mementingan kepentingan diri sendiri,” jelasnya.

Untuk itu, Eni mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga laut demi masa depan anak cucu kelak. “Sehingga anak-anak kita bisa menikmati bagaimana makan ikan yang sehat dan bergizi yang tidak terkontaminasi berbagai macam bahan beracun,” tandasnya.***