Direktur ASPPUK Soroti Persoalan Kebijakan dan Budaya Memperlemah Peran Perempuan Pelaku Usaha Kecil Mikro

Direktur Eksekutif ASPPUK, Emmy Astuti ketika berbicara keadilan ekonomi dalam dalam acara Media Gathering C20 yang digelar Gender Equality and Disability Working Group (GEDWG)  C20 di di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta (21/6). Foto : Marwan Azis.

JAKARTA, ASPPUK-Direktur Eksekutif Asosiasi Pendampingan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti menegaskan, salah satu isu yang diemban dalam presidensi G20 adalah keadilan ekonomi bagi perempuan.

Jika melihat fakta yang terjadi selama ini, kesetaraan dan keadilan ekonomi terhadap perempuan, menurut Emmy, masih jauh dari harapan.

Sementara itu, The Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan berakhir di tahun 2030. “Itu artinya, hanya menyisakan 8 tahun lagi,” katanya.

Jika dikaitkan dengan Indeks Kesenjangan Gender Global, Emmy mengatakan posisi Indonesia berada pada peringkat 99 dari 156. Indeks yang diterbitkan pertama kali di tahun 2006 oleh Forum Ekonomi Dunia itu sengaja dirancang untuk mengukur tingkat kesenjangan gender di sebuah negara.

“Itu data dari Global Gender Gap menunjukkan ketimpangan masih terjadi,” tegasnya.

Sementara itu, ketimpangan gender dilihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki juga memperlihatkan perbedaan signifikan. Angka partisipasi kerja laki-laki sebesar 82.69%, sementara perempuan hanya 51,88%.

“Itu data saya ambilkan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan terkait Profil Perempuan 2019. Jadi kesenjangannya cukup jauh,” ujar Emmy.

Hal serupa juga terjadi, jika dikaitkan dengan indeks partisipasi angkatan kerja bagi penyandang disabilitas. Angkanya lebih rendah lagi. “Saya ambilkan dari data Susesnas 2018, itu 31.63% untuk disabilitas dan non disabilitas 70% partisipasi angkatan kerjanya. Jadi memang terjadi gap yang besar,”jelasnya.

Belum lagi, kesenjangan upah antara masyarakat di pedesaan dan perkotaan juga menunjukkan perbedaan mencolok, khususnya terhadap buruh laki-laki dan perempuan. Di desa, buruh laki-laki dihargai Rp.3.5 juta dan perempuan Rp2.7 juta.

“Sehingga kesenjangan upah juga terjadi. Dari sisi keadilan ekonomi, ini masih sangat jauh,” kata Emmy.

Persoalan Struktural

Seluruh kesenjangan itu menurut Emmy terjadi secara struktural. Struktural karena sistem yang sengaja dibangun tanpa pernah memperhatikan kebutuhan dan kepentingan kelompok-kelompok rentan.

“Jika dilihat dari sisi kebijakan, dari atas ke bawah, tentunya belum bisa dikatakan adil untuk kelompok perempuan dan disabilitas, termasuk kelompok-kelompok marjinal lainnya,” ungkapnya.

Terbukti, perempuan kesulitan memperoleh pekerjaan yang sesuai, padahal mereka hidup di negara yang kaya akan sumberdaya alam, hasil perikanan yang melimpah, tambang yang melimpah, namun menghadapi kondisi dimana sawahnya sudah menjadi lahan tambang.

Persoalan lainnya muncul ketika Indonesia dikenal sebagai penyedia bahan mentah dengan upah buruh murah. Sementara negara-negara maju memiliki teknologi, pengetahuan dan juga kapital yang besar.

“Sayangnya mereka tidak punya bahan mentah dan pasar. Kita yang kemudian dijadikan pasar. Jadi sasaran konsumen,” terang Emmy.

Sehingga tidak mengherankan, jika psikologi industri telah menciptakan sikap konsumeristis yang kemudian berkembang pesat di masyarakat. Dari waktu ke waktu sikap itu terus menguat.

Di sisi lain, perempuan Indonesia kebanyakan memilih bekerja sebagai buruh migran, mengingat mencari kerja di negerinya tidak mudah. “Saya melihat hal itu sebagai kemiskinan yang termasuk kemiskinan struktural juga,” katanya.

Bukan hanya terkait persoalan bahwa perempuan acap kali tidak dilibatkan dalam pelatihan, termasuk kewirausahaan, bahkan dalam partisipasi pembangunan telah terjadi ketidakadilan yang terstruktur, yang sifatnya mengeksploitasi dan memiskinan perempuan.

“Ini yang ingin kita suarakan tentang bagaimana model-model usaha/ bisnis bisa ramah terhadap perempuan, kelompok disabilitas, dan terciptanya model bisnis yang berperspektif gender, menghargai HAM dan tidak eksploitatif,” paparnya

Menurut Emmy, pengetahuan dan kearifan lokal di masyarakat banyak sekali yang bisa dijadikan pelajaran. Termasuk bagaimana menciptakan model-model bisnis yang ramah lingkungan.

Selama ini, kehadiran mini-market seperti Alfamart dan Indomaret di desa-desa menjadi contoh bagaimana kekuatan kapital besar turut andil mematikan warung-warung kecil. Sementara itu, kebijakan pemerintah daerah sangat beda-beda.

“Ada kabupaten yang menerima dan memberi izin untuk masuknya Alfamart, Indomaret dan sejenisnya. Namun ada juga yang menolak seperti di Kabupaten Barru,” ujar Emmy.

Di kabupaten tersebut, pemerintah setempat tidak ingin usaha kecil/ mikro warganya tergerus, lalu menghilang, mengingat pelaku UMKM kebanyakan perempuan yang membantu ekonomi keluarga.

Kebijakan berbeda terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Menurut Emmy, pemda lokal membuat kebijakan dimana minimarket (Alfamart dan Indomaret) menyediakan ruang khusus untuk produk-produk UMKM.

“Jika mau, kita harus menciptakan model bisnis alternatif, dimana para pelaku usaha kecil mikro yang kebetulan perempuan mampu bertahan, baik melalui kekuatan koperasi atau kekuatan lainnya,” terang Emmy.

Dia menambahkan, “Dengan demikian, perlu didorong model-model bisnis yang lebih berpihak kepada para pelaku UMKM.”

Hal serupa juga dialami petani garam. Saat mengunjungi Koperasi Suka Makmur di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Emmy menemukan fakta bahwa harga garam sangat rendah ditengah persoalan kualitas yang buruk. Bahkan untuk menjual ke perusahaan pun tidak mudah.

Koperasi kecil yang menurut Emmy cukup baik, ditandai dengan sistem manajemen dan pembayaran kepada anggotanya, serta mendapat bantuan dari KKP, ternyata tidak mampu melawan pasar, ketika pemerintah membuka kran impor garam.

“Harga garam jatuh di pasaran. Dan mengatakan persoalan yang paling melilit mereka ketika pemerintah mengimpor garam,” ucapnya.

Bahkan Dinas KKP setempat juga tak kuasa ketika pemerintah pusat menerapkan kebijakan impor. “Kita dari pemerintah daerah berpihak ke petani, tetapi itu kebijakan pusat. Kita gak bisa melakukan intervensi sampai kesitu,” ujar Emmy menirukan keterangan kepala dinas.

Emmy menambahkan, “Itu yang saya maksud sebagai persoalan struktural yang ingin dibongkar agar persoalan tersebut bisa teratasi di masa depan.”

Persoalan Budaya

Selain persoalan struktural, Emmy menyebut persoalan budaya turut andil menyulitkan kaum perempuan dan penyandang disabilitas. Terlihat dari tingkat partisipasi perempuan bekerja yang sangat rendah.

“Perempuan itu mau kerja saja susah, butuh izin suami dulu. Jika suami tidak memberi izin, dia gak boleh kerja. Akhirnya kehilangan kesempatan bekerja,” ujarnya.

Belum lagi di masyarakat, kerap muncul stereotipe yang menyalahkan perempuan saat ingin bekerja. “Ngapain sih lu kerja, emang suamimu tidak memberi makan? Masih ada anggapan seperti itu di masyarakat, jika perempuan bekerja, siapa yang mengurus anak, suami.”

Di sisi lain, ada potensi besar terhadap para pelaku usaha kecil mikro yang saat ini jumlahnya mencapai 64 juta. Mereka itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Tetapi bukan saja demi kebutuhan keluarga, mereka turut menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, menciptakan kesejahteraan ekonomi dan berkontribusi pada pembangunan daerah, karena membayar pajak dan retribusi,” kata Emmy.

“Namun hal itu tidak pernah dilihat. Tidak pernah dianggap.”

Hal itu terjadi karena perempuan sebagai pelaku usaha kecil mikro  berhadapan dengan faktor budaya yang menjustifikasi mereka hanya sebagai  pendamping suami. “Dia mencari uang hanya untuk membantu suami. Jadi tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama, walaupun misalnya pendapatannya lebih tinggi dari suami,” urai Emmy.

Budaya akhirnya menjadikan perempuan sebagai masyarakat kelas kedua (second class), yang dianggap hanya sebagai pembantu suami. Itu sebabnya, kebijakan yang dimunculkan berdampak pada kesenjangan upah.

“Tidak dilihat dari kualitas dan kapasitas, karena dianggap hanya membantu suami saja,” jelasnya.

Persoalan Regulasi

Selain itu, ada faktor lain, yakni kebijakan undang-undang yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang bukan sebagai pribadi, namun sebagai istri yang mendampingi suami.

Contohnya di UU Perkawinan. Bahkan dulu di GBHN telah memposisikan perempuan hanya di lingkup domestik semata. “Ini yang ingin kita suarakan karena belum responsif gender,’ ujarnya

Sementara itu, penghasilan utama sebuah negara berasal dari pajak yang dipungut dari uang rakyat. Sayangnya, ketika uang tersebut dikumpulkan, kebanyakan dialokasikan untuk pembangunan fisik.

“Belum people oriented, belum berorientasi pada pembangunan manusia, khususnya perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya,” ucap Emmy.

Karena itu, Emmy mengusulkan tentang pentingnya kebijakan pajak responsif gender, yakni bagaimana pajak bisa dialokasikan untuk pemberdayaan usaha kecil mikro, utamanya bagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk anak yang menjadi korban kekerasan.

Termasuk juga perempuan pekerja yang melahirkan. Menurut Emmy, sebaiknya tidak dipotong pajaknya. “Misalnya dia cuti 3  bulan, biasanya masih dipotong. Sudah waktunya untuk memberi gaji full atau memberikan insentif lain sebagai bagian dari pajak responsif gender,” katanya.

Persoalan lainnya terjadi ketika perempuan pelaku usaha kecil mikro kesulitan untuk memperoleh izin usaha. “Kita harapkan pemerintah bisa mempermudah, termasuk memberikan layanan untuk mendapatkan keterampilan digital. Keterampilan digital ini peluangnya sangat besar sekali, tetapi kesenjangannya juga besar,” ungkap Emmy.

Terbukti, dari 64 juta pelaku UMKM yang terkoneksi dengan platform digital baru 12 juta, atau 13% saja. Padahal, banyak pelaku usaha kecil mikro yang hidup di pedesaan  yang umumnya sangat kesulitan dari sisi infrastruktur dan keterampilan digital.

Di saat bersamaan, menurut Emmy, market place digital kita justru dipenuhi oleh produk-produk impor. Besarannya mencapai 90%. Sudah menjadi rahasia umum ketika banyak yang memilih menjadi reseller, ketimbang menjadi pencipta produk.

“Kita ingin negara kita sebagai penghasil produk (produsen), bukan pasar dari produk-produk impor, dari China atau Eropa. Kita ingin memproduksi produk,” tegasnya.

Oleh karena itu, Emmy mengimbau pemerintah untuk membuka akses kesempatan kerja, memberikan fasilitas teknologi seluas-luasnya, sehingga perempuan-perempuan Indonesia tidak berlomba-lomba mencari pekerjaan di luar negeri.

“Kita disini saja. Kita kaya kok! Ngapain ekspor bahan mentah kesana, masalahnya karena kita tak punya teknologi. Namun apakah itu benar. Ini masih harus dikaji secara mendalam,” pungkasnya (Jekson Simanjutak)