Dinilai Tidak Berperspektif Gender, ASPPUK dan Aktivis Perempuan Desak Draf RUU KIA Ditinjau Ulang

Suasana konsultasi publikRancangan Undang-Undang Kejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) tanggal 2 Agustus 2022. Foto : Marwan Azis.

JAKARTA, ASPPUK- Draf Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang merupakan inisiatif DPR-RI menuai sorotan publik, terutama aktivis perempuan dan anak dari berbagai NGO.

Sejumlah aktivis perempuan menilai RUU KIA tidak berperspektif gender, bahkan cenderung mengarahkan perempuan untuk hanya mengurusi urusan domestik keluarga, sehingga RUU KIA berbanding terbalik dengan semangat perjuangan kesetaraan gender.

“RUU ini, perlu ditinjau kembali sebelum diketuk palu karena tidak berperspektif Gedsi (Gender, Disabilitas dan Inkulusi Sosial),” kata Hartati, aktivis Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) ketika menyampaikan pandangannya terkait RUU KIA dalam acara konsultasi publik RUU KIA digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) tanggal 2 Agustus 2022 kemarin.

Taty juga menyoroti pasal 20 dan pasal 21 RUU KIA yang berisi pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, yang juga berisi sanksi administratif perlu diperjelas, mengingat banyak wilayah di Indonesia termasuk remote area atau daerah terpencil yang layanan kesehatan sangat buruk, bahkan banyak sekali wilayah terpencil punya infrastuktur bangunan kesehatan, namun dilengkapi tenaga medis, sehingga menyulitkan warga untuk mengakses layanan kesehatan.

“Kejadian di wilayah dampingan di daerah-daerah terpencil di daerah pengunungan (remote area), di sana dibangun layanan kesehatan, tapi hanya berupa bangunan, tidak ada layanan karena tidak tersedia SDM kesehatan. Jadi masyarakat harus ke tempat jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan, terutama bagi ibu hamil sangat kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan, mereka harus berjalan kaki jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan saat mereka melahirkan,”ungkapnya.

Taty mengingatkan layanan kesehatan di wilayah-wilayah terpencil perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah dan Parlemen, “Lewat RUU KIA kita berharap, layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil makin diperbaiki, tak hanya infrastuktur bangunannya diadakan, tapi mesti dilengkapi dengan tenaga medis, sehingga akan memudahkan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan terjangkau,”ujarnya.

Sementara Eka Kustina dari Kalyanamitra menyoroti beban domestik itu selalu diarahkan ke ibu, padahal kalau bicara kesejahteraan gender, mestinya ada pembagian jelas peran ayah dan ibu.

Dalam RUU KIA pada Pasal 10 mewajibkan perempuan untuk mengupayakan pemberian air susu ibu (ASI) selama enam bulan setelah melahirkan. Pengecualian berlaku, jika memiliki indikasi medis, meninggal dunia, atau ibu terpisah dari anak.  Masih pada pasal yang sama, RUU KIA mewajibkan perempuan memeriksakan kesehatan kehamilan secara berkala; mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang; serta memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya pada ayat (3), jika ibu meninggal dunia, terpisah dari anak, atau secara medis tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, maka tanggung jawab itu akan berada kepada ayah. Ayat (4) menjelaskan, jika ayah tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut, maka tugas itu menjadi tugas keluarga.

Eka mengingatkan Pemerintah, ketika ibu dan ayah tidak memiliki kesempatan ekonomi, maka negara wajib mensupport keluarga tersebut untuk mendapatkan kesempatan ekonomi.

Pandangan serupa juga disampaikan Nanda dari Yayasan Kesehatan Perempuan(YKP), ia menilai landasan filosofis dan sosiologis serta yuridis RUU KIA terlalu ambaraul dan tumpang tindih dengan kebijakan lainnya, sehingga  perlu melihat DIM (Daftar Inventaris Masalah).  “Pemahaman gender itu masih PR bagi kita semua. Dalam RUU KIA tidak ada pilihan bagi perempuan apa yg perlu bagi dirinya, lebih banyak kewajiban dan hak anak,”ujarnya.

Sementara Umi Farida dari Ecpat Indonesia menyoroti tidak ada pembahasan tentang peran ayah atau bapak dalam draf RUU KIA, RUU KIA lebih banyak memberikan beban pada ibu, terkait urusan domestik.

Ia menyarankan dalam menyusun RUU KIA harus mempertimbangan pasal-pasal dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan untuk menghindari munculnya pasal-pasal diskriminatif dalam  Undang-Undang Perkawinan misalnya posisi suami kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, akan digunakan untuk menjustifikasi pasal-pasal dalam RUU KIA yang mendiskriminasikan perempuan.

Umi Farida mengusulkan perlu ada satu yang mempertegas definisi bapak,  pasal-pasal berikutnya dipertegas  hak tanggungjawab bapak.

Umi juga menyoroti pasal-pasal yang terkait kewajiban, namun tidak diperjelas mengenai sanksi ketika kewajiban itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya  “Disini (RUU KIA), ada kewajiban tapi tidak ada sanksi yang jelas, nah seperti apa implementasinya,”imbuhnya.

Hal lainnya mendapat perhatian dari Umi Farida adalah, dalam RUU KIA terlalu banyak fasilitas buat ibu atau anak, namun RUU tidak mencover hak perempuan yang tidak punya anak.

Vita Aristyanita dari Wahana Misi mengusulkan pada pasal 9 poin c, yang berisi hak anak, perlu ada tambahan untuk pemberian MP ASI eksklusif selama 2 tahun atau lebih. Juga perlu mencantumkan asupan gizi seimbangan berbasi pangan lokal. “Karena selama ini kebanyakan asupan dari produksi industri yang berbahaya bagi ibu dan anak,”ujarnya.

Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia menyoroti RUU KIA yang banyak berisi kewajiban termasuk dalam kesehatan, namun tidak dipertegas dengan sanksi yang jelas.

“Apa sih gunanya UU ini kalau tidak ada sanksinya. Seharusnya RUU ini memperjelas tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan kesejateraan ibu dan anak. Jangan sampai RUU KIA ini mengembalikan perempuan ke ranah domestik,”imbuhnya.

Ia juga menyinggung pasal 4 RUU KIA yang mengatur cuti 6 bulan bagi perempuan hamil dan baru melahirkan termasuk para pekerja migran Indonesia perlu dipikirkan mengenai mengenai pemberian asi dengan hak cuti . “Pada pasal 4 tentang cuti 6 bulan, kalau di perusahaan, 3 bulan cuti dibayar oleh perusahaan, namun bagaimana dengan perempuan-perempuan yang tidak bekerja. Apakah ketika anak sakit, apakah ibu dan ayah bisa mengambil cuti. Dalam program keluarga harapan, ada jaminan dari negara. Kewajiban mensejahterakan anak dan ibu adalah kewajiban negara,”tuturnya.

Dalam UU ketenegakerjaan kata Eka, buruh atau pekerja yang mengalami keguguran, boleh memperoleh cuti, namun harus ada surat keterangan dari dokter. “Nah menurut saya, syarat itu tidak perlu, apapun kondisinya, kalau si ibu mengalami keguguran perlu diberi cuti, perlu digeser ke sana, sekaligus dikuatkan,”ujarnya.

Selain itu, Eka mengusulkan perlunya ada ruang laktasi dalam perusahaan, mesti ada preser untuk menyimpan ASI.

Eka menambahkan perlunya ada satu pasal yang mengatur mengenai penelantaran anak, “bagaimana ketika suami dan istri bercerai, bagaimana aturan atau sanksi jika sang suami tidak memberikan nafkah. Hukuman bagi yang menelantarkan anak,”

Vera dari Rahima mempertanyakan apakah ada badan khusus untuk mengkoordinasi implementasi UU KIA? Dan seperti apa mekanisme untuk pengaduan buat si ibu terkait hak dan kewajiban mereka. “Ini perlu ada mekanisme pengaduan,”ujarnya.

Poin-poin RUU KIA

Berikut beberapa pasal yang menjadi perhatian publik dalam RUU KIA seperti dikutip dari Katadata:

1.Cuti Hamil dan Melahirkan Enam Bulan Dalam draft RUU KIA, salah satu poin yang menjadi sorotan bagi publik adalah aturan mengenai hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja. Cuti ini mendapatkan tambahan durasi, dari tiga menjadi enam bulan. Selama cuti, pada tiga bulan pertama perusahaan wajib membayar penuh gaji mereka. Selanjutnya mulai bulan keempat, mereka mendapatkan upah 75% dari total gajinya.

Selain soal cuti melahirkan kepada ibu pekerja, RUU KIA juga memberikan hak cuti untuk ayah maksimal sampai 40 hari. Cuti tersebut diharapkan dapat membuat para ayah membantu ibu dalam merawat anaknya yang baru lahir. Kemudian untuk perempuan yang mengalami keguguran, RUU KIA juga mengatur cuti selama 1,5 bulan atau mengikuti surat keterangan dokter. Untuk suami, cuti tersebut maksimal selama tujuh hari.

2.Ibu Wajib Berikan ASI Enam Bulan Selain mengenai ketentuan cuti, RUU KIA pada Pasal 10 juga mewajibkan perempuan untuk mengupayakan pemberian air susu ibu (ASI) selama enam bulan setelah melahirkan. Pengecualian berlaku, jika memiliki indikasi medis, meninggal dunia, atau ibu terpisah dari anak

Masih pada pasal yang sama, RUU KIA mewajibkan perempuan memeriksakan kesehatan kehamilan secara berkala; mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang; serta memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya pada ayat (3), jika ibu meninggal dunia, terpisah dari anak, atau secara medis tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, maka tanggung jawab itu akan berada kepada ayah. Ayat (4) menjelaskan, jika ayah tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut, maka tugas itu menjadi tugas keluarga.

3.Kemudahan Akses di Fasilitas Kesehatan Pada Pasal 20 ayat (1), RUU KIA mewajibkan penyedia fasilitas pelayanan kesehatan harus memberikan kemudahan akses, termasuk layanan kesehatan terbaik bagi Ibu dan Anak.

Pada ayat (2) menjelaskan kemudahan akses itu dapat berupa: pemberian layanan informasi dan edukasi kesehatan, pemberian layanan administrasi kesehatan, prioritas pemeriksaan kesehatan, pemberian tindakan dan pengobatan, dan/atau penyediaan sarana dan prasarana kesehatan khusus yang layak bagi Ibu dan Anak.

Pada Pasal 21, RUU KIA mengancam pemberi fasilitas kesehatan yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 20 diberikan pembinaan dan/atau sanksi administratif.

4.Ruang Laktasi, Perawatan, dan Bermain Anak di Kantor serta Fasilitas Umum Pasal 22 ayat (1) kemudian memerintahkan penyedia atau pengelola fasilitas, sarana, dan prasarana umum untuk memberikan kemudahan kepada ibu dan anak untuk menggunakan fasilitas, sarana, dan prasarana umum. Pada ayat (2) menjelaskan sarana umum tersebut adalah tempat kerja, tempat umum, dan transportasi publik. Ayat (3) kemudian merinci dukungan fasilitas itu dapat berupa penyediaan ruang laktasi, perawatan anak, penitipan anak, tempat bermain anak, atau tempat duduk prioritas atau loket khusus.

Khusus dukungan fasilitas di tempat kerja, pada ayat (4) mengatur bentuknya berupa penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja. Jika pengelola tempat kerja, fasilitas umum, dan transportasi publik gagal melaksanakan ketentuan tersebut, Pasal 23 mengatur mengenai pemberian pembinaan dan/atau sanksi administratif.

5.Bantuan dan Santunan bagi Ibu dan Anak Kurang Mampu Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan santunan kepada ibu dan anak yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ayat (2) mengatur bantuan dan santunan tersebut diberikan dalam bentuk: pemberian makanan sehat dan gizi seimbang; pemberian bahan pokok penunjang; pemberian makanan pendamping air susu ibu dan makanan tambahan; layanan kesehatan dan pengobatan gratis; dan/atau pemberian perlengkapan anak

Sebelumnya Ketua DPR, Puan Maharani, menyampaikan akan menerima masukkan dari berbagai elemen masyarakat untuk membahas pasal-pasal di dalam RUU KIA. “Hari ini baru masuk sebagai RUU inisiatif DPR. Kemudian kami akan membuka ruang untuk elemen masyarakat, mulai dari pengusaha hingga pekerja non-formal,” ujar Puan usai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta beberapa waktu lalu (Marwan Azis)