Stigma dan Regulasi Masih Menghantui Perempuan Kepala Keluarga

Ketua Yayasan PEKKA Nani Zulminarni ketika menyampaikan orasi ilmiah tentang pemberdayaan perempuan di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Foto :  Marwan Azis.

JAKARTA, ASPPUK- Data BPS tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 11,47 juta rumah tangga di Indonesia atau sekitar 16% dikepalai oleh perempuan. Jumlahnya bertambah 30% dari tahun 2016.

Senada dengan itu, Ketua Yayasan PEKKA Nani Zulminarni menjelaskan bahwa di dalam setiap 4 keluarga di Indonesia, satu diantaranya dikepalai perempuan. Angka tersebut cukup besar dan memang dengan mudah bisa ditemukan di sekitar kita.

“Data Yayasan PEKKA hampir 25%. Artinya, realita di Indonesia, cukup banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga,” ujarnya pada peringatan 20 tahun Yayasan PEKKA, di Jakarta (10/9).

Menurut Nani, dalam satu kehidupan keluarga, idealnya memiliki anggota keluarga yang utuh. Hanya saja, yang terjadi di masyarakat, ada kondisi dimana perempuan harus menjadi kepala keluarga dengan berbagai macam alasan dan tantangan yang dihadapi.

“Karena sistem hukum yang tidak mengakui keberadaan perempuan kepala keluarga dan juga sistem nilai budaya yang menstigma perempuan kepala keluarga, khususnya janda,” terangnya.

Selain itu, dalam setiap perceraian orang tua, anak sering kali yang menjadi korban. Oleh karena itu, Nani mengingatkan agar orang tua yang hendak bercerai perlu berhati-hati untuk memikirkan nasib anak-anak mereka.

“Karena itu penting bagi setiap keluarga untuk membangun sebuah ekosistem agar anak-anak bisa tumbuh kembang dengan potensi maksimal yang dimiliki,” papar Nani.

Hambatan perempuan kepala keluarga

Nani yang juga merupakan salah satu pendiri Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) menjelaskan bahwa setidaknya tiga hambatan terhadap pengakuan perempuan sebagai kepala keluarga. Pertama adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara tegas mengatakan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki.

Munculnya UU tersebut menjelaskan bahwa perempuan tidak diakui secara hukum, meskipun kemudian pemerintah membuat aturan untuk keperluan administrasi kependudukan.

“Kita bisa lihat di KTP statusnya sebagai kepala keluarga. Misalnya saya di KTP diakui sebagai kepala keluarga,” ujar Nani.

Kedua, hambatan akibat sistem kultural atau tata nilai budaya masyarakat. Jika pun nanti UU Perkawinan berhasil diubah, menurut dia, belum tentu masyarakat serta merta menerima dan meyakini bahwa perempuan merupakan kepala keluarga.

“Begitu kuatnya patriarki dan interpretasi agama yang mengatakan bahwa laki-laki lah pemimpin imam, dan seterusnya,” ungkapnya.

Ketiga, terkait sistem nilai yang tertanam di dalam diri perempuan. Dengan segala kondisi, para perempuan tidak berani untuk mengatakan bahwa mereka adalah kepala keluarga.

“Apalagi ketika suaminya masih ada dan tidak menjalankan peran sebagai kepala kelurga. Dia tetap tidak berani mengatakan bahwa perempuan adalah kepala keluarga,” ujar perempuan berusia 60 tahun itu.

Menurut Nani, ada beberapa hal yang menyebabkan perempuan bertindak sebagai kepala keluarga. Misalnya, pasca kematian suami, perceraian, poligami, suami merantau, atau suami sakit menahun.

“Selain itu, lajang yang menanggung orang tua dan saudara serta pencari nafkah utama dalam keluarga, karena suami tak bekerja juga penyebab yang semakin meningkat kecenderungannya,” ujarnya

Dengan begitu, menjadi perempuan sebagai kepala keluarga dalam kultur patriarki yang kuat tidaklah mudah. Stigma, beban dan kewajiban keluarga merupakan tanggung jawab berat yang harus dipikul.

Dilema UU Perkawinan

Saat ini, kebijakan yang ada terkait dengan keluarga, menurut Nani, harus diperbaiki. “Misalnya UU Perkawinan harus diubah, karena UU itu lahir pada tahun 1970-an, sementara sekarang sudah tahun 2022,” katanya.

Konteks kehidupan saat ini sudah sangat berubah. Itu sebabnya, menurut Nani, UU tersebut sudah tidak relevan, sehingga harus diperbaharui dengan konteks yang terjadi saat ini.

“Harapannya, hal itu akan memungkinkan semua potensi di dalam keluarga, khususnya potensi sumberdaya manusia yang ada bisa berkembang semaksimal mungkin,” tutur perempuan yang juga Direktur Ashoka South East Asia itu.

Dengan UU yang ada sekarang ini, sepengamatan Nani, justru banyak menghambat. “Menghambat anak-anak, menghambat perempuan juga,” ucapnya.

Secara khusus, Hambatan yang paling dirasakan adalah ketika aturan belum berpihak kepada perempuan kepala keluarga dalam mengakses sumberdaya, pengakuan hukum, identitas hukum dan kemampuan dimana banyak perempuan tidak bisa mengembangkan kepemimpinan atau keleluasaan dalam memimpin keluarga.

“Itu saya rasa yang harus diubah,” ungkapnya.

Menghadapi stigma

Nani mengungkapkan bahwa strategi yang multiple dan berlapis diharapkan bisa mengikis stigma secara perlahan. Caranya, melalui pendidikan (edukasi) kepada perempuan, anak-anak dan anggota keluarga tentang realita dan tentang relasi gender.

“Sehingga keluarga itu terus utuh sebagai sebuah keluarga dan pendidikan kritis perlu terus menurus perlu dilakukan,” ujarnya.

Selain itu, kampanye untuk penyadartahuan dengan menampilkan cerita-cerita realitas tentang kehidupan para perempuan yang tengah berjuang untuk keluarganya, harus diperkenalkan ke publik.

Terakhir, kata Nani, “Kita perlu terus mengadvokasi kebijakan yang lebih berpihak kepada perempuan, berpihak kepada keluarga dan berpihak kepada anak.”

Sejauh ini, negara telah mengakui hak yang sama, bahwa perempuan boleh mengembangkan diri. Termasuk memiliki potensi yang sama. “Ketika perempuan berdaya maka akan membuat banyak hal menjadi lebih baik,” paparnya.

Untuk itu, perempuan harus bisa menjadi dirinya sendiri. Dia juga harus mampu melihat dirinya utuh sebagai manusia yang memiliki potensi luar biasa. Menurut Nani, pengalaman hidup perempuan merupakan pengetahuan yang sangat luar biasa.

“Tidak terbantahkan, sehingga semua perempuan harus menggunakan pengalaman hidupnya menjadi alat untuk menavigasi hidupnya,” katanya.

Oleh sebab itu, perempuan harus mampu menyebarkan cerita untuk membangun pemahaman terhadap perempuan lain dan masyarakat luas bahwa mereka itu adalah manusia.

“Perempuan adalah warga negara dan punya hak serta potensi untuk ikut menentukan hidup dan keluarganya sendiri. Termasuk hidup arah bangsa ini,” terang Nani.

Ekonomi berkeadilan

Menurut pendiri Yayasan PEKKA itu, perempuan mampu mewujudkan kesejahteraan terhadap semua pihak, sebagai bentuk dari ekonomi yang berkeadilan terhadap mereka.

“Tidak hanya terhadap perempuan, namun semua orang, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Satu kelas dengan kelas yang lain,” ujarnya.

Ekonomi berkeadilan juga bertumpu pada kolektivitas dalam pengelolaan, dalam pemanfaatan dan juga keuntungan (benefit) terhadap semua mahkluk. Salah satu solusinya dengan memberdayakan potensi-potensi yang ada disekitar perempuan.

“Sehingga  akan mengurangi dan menghindari ketergantungan terhadap pihak-pihak diluar,” kata Nani.

Termasuk, seluruh rantai pasok harus diakses dan dikontrol oleh masyarakat yang memilikinya. “Itu pemahaman saya berdasarkan  pengalaman di PEKKA,” ucapnya.

Nani mengungkapkan bahwa Indonesia pernah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Salah satunya yang terparah terjadi di tahun 1998. Kala itu, hampir semua instrumen ekonomi kolaps, kecuali usaha-usaha kecil mikro yang dipegang oleh perempuan.

“Itu yang mempengaruhi hidup keseharian. Sehingga meskipun kecil tapi banyak dan gremet gitu, sementara kebijakan pemerintah tidak berpihak ke perempuan.” ungkapnya.

Terbukti, ketika kebijakan yang dibuat pemerintah justru memberikan kemudahan bagi pemodal-pemodal besar. Sementara pelaku usaha kecil mikro tidak beranjak, bahkan terkesan tetap di  posisi survival state (bertahan) dan sulit berkembang.

“Hal itu terjadi karena bagian hulu hingga hilir dikuasai pemodal,” jelasnya. Padahal sebanyak 65% – 85% dari 65 juta pelaku UMKM adalah kaum perempuan. Adapun usaha yang mereka lakukan untuk keberlanjutan kehidupan, bukan untuk kemewahan. Berbeda dengan kegiatan pengusaha besar yang kebanyakan untuk luxury (kemewahan) gaya hidup dan sebagainya.

“Itu konsep bangsa yang adil yang ternyata belum kita miliki sampai saat ini. Karena sekarang ini, ekonomi memiliki teori trickle down effect yang ternyata menyebabkan pelaku usaha besar yang mendapat manfaat ketika sebuah kebijakan dibuat.

“Sementara kita berprinsip bahwa setiap orang harus menjadi pemilik sekaligus penerima manfaat, sehingga yang dibangun adalah sistem rantai pasok yang dimiliki oleh semua. Saling berbagi,” terang Nani.

Itu yang sedang diperjuangkan oleh Yayasan PEKKA. “Misalnya dengan menginisiasi warga untuk menghindari penggunaan cash, karena membuat kenjangan bagi perempuan khususnya, yang tidak punya kontrol terhadap cash yang banyak,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)