31 Tahun HAKTP, Perempuan Masih Rentan Alami Kekerasan

JAKARTA, ASPPUK, Meski Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)  sudah 31 tahun yang lalu diinisiasi, tapi hingga saat ini perempuan masih rentan alami kekerasan di berbagai sektor.

Aktivitas HAKTP sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991.

Siti Khourin Ni’mah, Head of Program Management Oxfam Indonesia menyampaikan kekerasan itu terjadi dimana-mana, termasuk di level negara. Kebijakan ekonomi bisa menyebabkan kekerasan ketika kebijakan ekonomi itu mengabaikan perlindungan perempuan, tidak memperhatikan kebutuhan perempuan dan kelompok lainnya marginal lainnya terutama disibilitas.

“OXFAM baru saja merilis laporan, pilihan-pilihan ekonomi yang tujuannya untuk pengetatan anggaran karena dunia menghadapi krisis pandemi,”ujar perempuan yang biasa disapa Ni’mah ini ketika menjadi narasumber dalam acara Media Gathering : Jurnalisme, Kekerasan Berbasis Gender, dan Ekonomi,” yang digelar Oxfam, ASPPUK, Kalyanamitra dalam rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender di Kedai Kekini, Cikini, Jakarta Pusat (1/12/2022).

Pengetatan anggaran adalah serangkaian kebijakan ekonomi yang diterapkan dengan tujuan mengurangi defisit anggaran pemerintah. Pengetatan anggaran meliputi pemangkasan belanja, peningkatan pajak, atau campuran keduanya.

Dikatakan dunia saat ini diperhadapkan pada sejumlah krisis, mulai dari pandemi Covid-19, climate change (perubahan iklim) yang diperparah dengan perang Rusia dan Ukraina yang memperburuk situasi terutama menyebabkan krisis energi dan pangan, yang mengesklasi harga komoditi lainnya.

“Suara-suara akses vaksin terus disuarakan, karena masih ada negara yang sulit mendapatkan vaksin. Kemudian krisis yang disebabkan climate  seperti banjir di Pakistan, perubahan iklim, orang kehilangan rumah dan anggota keluarga. Kondisi tersebut kian parah setelah krisis yang disebabkan perang Rusia dan Ukraina,”paparnya.

Merespon itu kata Ni’mah, banyak pengambil kebijakan melakukan pengetatan anggaran karena anggaran tidak mencukupi. Anggaran yang ada dipakai untuk menanggung resiko-resiko di sektor keuangan. Situasi ini memperburuk situasi dan rawan terjadi kekerasan gender terutama perempuan.

Ia mengungkapkan 1, 7 milyar perempuan  hanya mengandalkan pendapatan 5 dolar Amerika Serikat (AS) atau  sekitar Rp 77.411.75 perhari dengan hitungan kurs 1 USD = Rp 15.482,35.  Partisipasi perempuan dipekerjakan berbayar hanya 21 persen.

“Pandemi menyebabkan banyak sekolah-sekolah anak dan pengasuhan anak ditutup,sehingga perempuan yang hilang pekerjanya ,”ujar Ni’mah.

Menurutnya pilihan kebijakan ekonomi saat ini yang tidak mempertimbangkan gender akan memperparah. “Kebijakan ekonomi sebaiknya mempertimbangkan keadilan gender,”imbuhnya.

Ia menuturkan terkait dengan konsep pembangunan terjadi perdebatan yg sangat panjang sampai melahirkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan didominasi ke pencapaian ekonomi.

Pada ujungnya ketika berbicara pada produktifitas adalah kualitas hidup yang semakin baik, tapi kebijakan ekonomi saat ini selalu bias. “People development harusnya itu jadi fokus, untuk meningkatkan kualitas hidup yg lebih baik,”tuturnya.

Ni’mah menambahkan Oxfam mengusulkan representatif perempuan sangat penting, investasi di bidang pengetahuan harus ditingkatkan misalkan beasiswa bagi perempuan untuk ruang-ruang yang sangat didominasi oleh laki-laki. Investasi feminis budget harus dikaji.

Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK), Emmy Astuti menyoroti tantangan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang juga biasa dikenal UU PKS adalah membuat produk turunannya.

“Politisi saat ini sudah mulai sibuk dengan pemilihan presiden 2024 sehingga kadang agenda untuk rakyat kadang terbengkalai termasuk dalam mengawal produk turunan Undang-undang TPKS,”ujarnya.

Emmy menyampaikan kekerasan berbasis gender sangat luas ruang lingkupnya. Kekerasan ekonomi  dalam rumah tangga, kekerasan dalam relasi pacaran, kekerasan di dunia kerja atau di perusahaan, hingga saat ini masih terjadi.  Negara harus hadir melalui kebijakan yang memberi perlindungan kepada perempuan.

Menurut Emmy, hingga saat ini masih terjadi kesenjangan gender di sector ekonomi. “Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan masih berada jauh di bawah laki-laki, dimana TPAK laki-laki sebesar 83,6 persen dan perempuan hanya sebesar 54,2 persen”. Kata Emmy.

Potensi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja cukup besar, termasuk di sector informal seperti sector perkebunan kelapa sawit yang banyak mempekerjakan perempuan sebagai buruh sawit, sector pekerja informal  seperti PRT dan Usaha Kecil Mikro, perempuan pekerja migran, namun sector ini sering mengabaikan pemenuhan hak perempuan.

Menurutnya pemerintah harus mendorong peningkatan akses perempuan pada lapangan pekerjaan namun diwaktu yang sama mesti dibarengi dengan kebijakan perlindungan dan pemenuhan hak.

“Sektor-sektor ini banyak dugeluti oleh perempuan dan merupakan penghasil devisa negara terbesar,  tapi sektor ini masih mengabaikan pemenuhan hak perempuan. Padahal pembangunan ekonomi bangsa berasal dari hasil kerja keras banyak perempuan dari sector tersebut,”

“Kenapa itu masih terjadi, karena banyak pengambil kebijakan melihat perempuan hanya sebagai warga negara kelas dua. Kalau perempuan bekerja untuk memperkuat ekonomi keluarga, itu dianggap hanya membantu suami. Perempuan hanya lebih banyak diposisikan di sektor domestik,”imbuhnya.

Emmy menyinggung Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ( RUU PPRT) yang meski sudah lama didorong tapi hingga saat ini belum disahkan.

Ia menjelaskan belum disyahkannya RUU PPRT ini menghambat terciptanya lapangan kerja yang melindungi hak-hak PRT. Kita menyaksikan banyak kasus penganiayaan yang dilakukan majikan terhadap PRT seperti penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, kekerasan seksual, upah yang tidak layak, jam kerja yang tidak pasti, tidak ada jaminan sosial, tidak ada hak cuti haid dan melahirkan, dan lain-lain.

Begitupun dengan perempuan yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit, kondisinya relative sama, masih mengalami diskriminasi seperti upah yang tidak layak karena sebagai buruh kontrak, jaminan sosial yang tidak ada, kekerasan seksual, perlindungan dan keamanan kerja belum terpenuhi.

Selain itu, kebijakan lainnya yang perlu disahkan adalah ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

“Konvensi ILO 190 ini sudah lama dari tahun 2019 disahkan di Genewa dalam siding ILO pada 21 juni 2019, namun Indonesia belum meratifikasi, sudah 3 tahun.” tuturnya.

Emmy juga menyampaikan kekerasan jurnalis yang berujung pada kematian banyak terjadi di medan perang, di daerah-daerah konflik, begitupun dengan jurnalis perempuan yang sangat rentan mengalami kekerasan seksual terutama karena disebabkan relasi pemilik media dengan jurnalis, belum lagi sesama jurnalis.

Menurut Emmy, isu tersebut perlu dijadikan agenda aksi kedepannya. Negara wajib untuk melindungi perempuan, menghapus norma-norma sosial yang tidak adil gender dan menghambat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender.

Emmy menambahkan, salah satu upaya yang dilakukan ASPPUK dalam mengakhiri kekerasan terhadap perempuan khususnya dibidang ekonomi adalah berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui pengembangan program dan kebijakan Kewirausahaan Responsif Gender.

“ Pedoman Kewirausahaan Responsif Gender sudah dilahirkan oleh KPPPA, ini yang kita harapkan dapat dimanfaatkan dan diimplementasikan oleh kementerian lainnya lintas sector dan stakeholder lainnya”. Ujarnya.

Sementara itu Ika Agustina (Staf Knowlege Management Kalyanamitra) menyampaikan Kalyanamitra banyak bekerja di akar rumput. Dalam melihat kekerasan berbasis gender, tidak melihat secara umum, tapi melihat demensi lainnya.

“Misalnya KDRT perempuan, menjadi korban perkawinan anak. Melihat perempuan sebagai anak, ibu, pencari nafkah, lapisan-lapisan itu kami lihat,”ujarnya.

Ia menuturkan perempuan juga harus menanggung kerja-kerja domestik, yang tidak dinilai sebagai bernilai ekonomi. Perempuan tidak dibuka akses pendidikan. Belum lagi kalau perempuan itu disibilitas, lapisan-lapisan itu semakin rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yg mencari nafkah namun tak diakuin sebagai pencari nafkah utama tapi hanya dianggap membantu.

Ika menyinggung keterbukaan akses sudah dibuka 30 persen dari tingkat desa hingga parlemen. Tapi tidak didukung upaya peningkatan kapasitas, terutama mendengarkan suara-suara perempuan.

“Maraknya kekerasan gender terutama perempuan itu akan mempengaruhi maju tidaknya suatu bangsa,”pungkasnya (Marwan Azis).