Bergerak Menentang Ketidakadilan (Pengalaman Jaringan Perempuan Usaha Kecil-mikro)

Pendahuluan

Dalam sejarah Indonesia, perjuangan perempuan sudah muncul sejak abad ke –19, seiring dengan berkembangnya gerakan masyarakat lainnya. Sebut saja dalam gerakan itu seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahman Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965. Namun masa yang amat penting dan itu menjadi titik balik dari perjuangan gerakan perempuan adalah pada tahun 1928. Saat di mana diadakan Kongres Perempuan yang pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang kemudian menjadi presiden Republik Indonesia, memberikan kata sambutan.

Kemudian pada tahun 1930 muncul organisasi perempuan lain yang bernama “Istri Sedar”, sebagai reaksi atas ketegangan antara organisasi perempuan dalam isu poligami. Menurut catatan sejarah, organisasi perempuan ini termasuk yang radikal dalam mendukung gerakan nasionalisme. Setelah era tahun 1945, muncul pula organisasi perempuan yang bernama Persatuan Perempuan Indonesia (Perwani), yang menggantikan peran Fujinkai, organisasi perempuan yang didirikan oleh pemerintah Jepang, dalam membela tanah air. Selain itu, pada tahun 1954 lahir suatu gerakan perempuan yang monumenal dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia), sebagai perubahan nama dari “Gerakan Perempuan Sadar” (Garwis), yang didirikan pada tahun 1950.

Dari contoh gerakan dan perjuangan perempuan di atas, terlintas catatan kritis dari pengamat masalah gerakan perempuan. Di antara catatan tersebut adalah persoalan status dari sang pejuang perempuan. Kebanyakan dari pejuang tersebut adalah mereka yang berasal dari “kelas atas”. Pertanyaan yang muncul dalam konteks itu, jika bukan karena RA Kartini misalnya dari kelas atas, mungkinkah perjuangannya bisa muncul dalam tinta sejarah ? Karena ada adigium, bahwa peristiwa dalam sejarah selalu dibuat oleh orang-orang besar ? Dengan begitu, mungkinkah di sana ada gerakan perempuan yang “lebih hebat”, namun tidak tertulis dalam tinta sejarah, dikarenakan dibuat oleh perempuan dari “kelas bawah” ?

Kemudian, bila diamati secara seksama, perjuangan perempuan yang tertulis dalam sejarah, “protes” yang dilakukan berkisar pada isu gender, dan kemudian (1928) lebih pada gerakan kemerdekaan. Hal tersebut terjadi, karena memang situasi yang melandasi kondisi Indonesia saat itu, dimana gaung kemerdekaan menjadi isu semua gerakan yang ada. Namun isu yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi, seperti tuntutan akan “hak hidup” yang layak dari kaum perempuan, serta penanganan kebutuhan dasar dari perempuan dan anak, kelihatnnya kurang terekam dalam sejarah kita. Apalagi bila momen-momen tersebut dilakukan bukan oleh “orang besar” yang selalu membuat “peristiwa besar”. Padahal bila ditengok ke sejarah perjuangan perempuan di luar negri, ada sejumlah peristiwa yang dilakukan oleh kaum perempuan seputar hal itu. Sebagai contoh yang dilakukan oleh sejumlah perempuan di Inggris dan Perancis pada abad 18 dan 19, secara terorganisasi dengan baik untuk memprotes dalam persoalan “kebutuhan dasar hidup”. Begitu pula dengan apa yang terjadi dengan para perempuan di Chili pada tahun 1970, yang terkenal dengan “Kekosongan Periuk di bulan Maret” (march of the empty pots).

Dalam konteks itu, penulis ingin mengulas pengalaman yang dilakukan oleh sejumlah ibu di berbagai daerah yang selama ini bergerak dalam pemenuhan hak ekonominya. Pengalaman tersebut, memang, bukan dilakukan oleh perempuan “kelas atas” dalam kelas sosial, namun dijalani selama bertahun-tahun oleh perempuan di akar rumput di dalam kehidupannya. Pengalaman tersebut dilakukan oleh para perempuan yang selama ini tergabung dalam sebuah kelompok-kelompok kecil di tingkat RT, dan RW. Bahkan kini, mereka membuat organisasi yang lebih besar pada tingkat kabupaten, yang disebut “Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk)”.

Dari “Kebutuhan Praktis” ke “Strategis Gender”

Keberadaan Jarpuk diawali dengan berkumpulnya para utusan dari kelompok-kelompok perempuan yang selama ini ada pada tingkat RW dan RT. Kelompok tersebut awalnya diinisiasi terbentuknya oleh sejumlah LSM dengan nama yang bervariasi; ada yang berupa KSM (kelompok swadaya masyarakat), atau KWPS (Kelompok Wanita Pengembangan Sumberdaya) dsb. Namun ada juga kemudian, kelompok-kelompok tersebut – dipelopori oleh kader lokal kelompok – yang membentuk berdirinya kelompok-kelompok perempuan baru. Dalam hal ini, LSM yang mendampingi kelompok-kelompok perempuan ini bergabung dalam satu wadah bernama “ASPPUK”.

Walaupun dalam awal kemunculannya difasilitasi oleh LSM, namun “background” utama dari berdirinya kelompok perempuan adalah adanya proses untuk menjawab kebutuhan pada level makro dan mikro. Dalam konteks makro, peran perempuan secara umum dimarjinalkan negara, baik dari sisi politik, ekonomi maupun budaya. Sebagai ilustrasi dari itu adalah dikooptasinya organisasi-organisasi perempuan untuk mendukung Golkar di era Orde Baru, dan dikembangkanya sistem “ibuisme” oleh negara dalam memperlakukan perempuan Indonesia. Dalam sistem tersebut, perempuan diperlakukan seperti ibu, yang berperan sekunder, dan selalu bertanggung jawab kepada pendidikan anak, dll. Sehingga muncul kemudian, program negara terhadap perempuan, seperti PKK, konsep Panca Dharma Wanita, dsb. Bahkan dalam bahasa Ariel Haryanto, Sosiolog dari Salatiga, bahwa peran perempuan maupun keluarga dalam konteks itu, tidak dihapuskan oleh negara, namun dijinakkan dan dimanfaatkan. Hal di atas belum diperparah dengan penafsiran agama yang terkadang menempatkan perempuan dalam posisi yang “marginal”.

Sedangkan pada level mikro, perempuan yang terlibat dalam usaha (khususnya di usaha kecil-mikro), terhadang dengan berbagai kendala. Diantaranya budaya yang berkembang masih mengganggap bahwa tugas perempuan berada di rumah, dan menjadi pihak kedua dalam mencari penghasilan. Maka konsekwensinya, bila perempuan akan memulai usaha harus mendapat dukungan dan izin suami. Selain itu, dengan berusaha berarti beban yang dipikul perempuan menjadi bertambah, karena ia harus pula mengurusi persoalan domistiknya. Dalam konteks itu, berarti ada persoalan relasi yang tidak seimbang yang dihadapi perempuan di domistiknya. Hal diatas juga diperparah dengan posisi perempuan pengusaha yang masih terbatas aksesnya kepada teknologi, informasi, fasilitas bisnis, dan peluang-peluang yang lebih luas.

Dari dua proses untuk menjawab kebutuhan pada level makro dan mikro tersebut, kelompok perempuan usaha kecil-mikro (KPUK) terwujud. Diawal pembentukannya, KPUK menggelar berbagai kegiatan, baik yang difasilitasi oleh TPL (Tenaga Pendamping Lapanga) LSM, maupun yang diinisiasi oleh kelompok perempuan sendiri. Artinya, kegiatan yang diinisasi sendiri adalah kegiatan yang awalnya yang diadakan oleh LSM, dan yang hadir adalah utusan dari para pengurus kelompok perempuan. Kemudian, setelah selesai mengikuti kegiatan tersebut, para utusan tadi melakukan kegiatan serupa kepada anggota kelompoknya. Dalam konteks itu, biasanya TPL LSM masih membantu dari belakang atau mengasisitensi jalannya kegiatan.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan pada awal berdirinya adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat pemenuhan kebutuhan praktis kelompok perempuan. Diantara kegiatan itu, seperti pelatihan motivasi berkelompok, pelatihan membaca dan menulis, pelatihan pembukuan kelompok, manajemen berkelompok, dan manajemen bisnis, dsb.

Selain kegiatan di atas yang dilakukan dengan inisiatif dari TPL LSM pada waktu awal pendirian kelompok, ada juga kegiatan yang berasal dari inisiatif anggota kelompok sendiri, seperti kursus memasak, belajar membuat kue-kue ringan, belajar membuat taplak meja, dan belajar mengaji secara bersama di kelompok perempuan. Berikut penuturan salah seorang kelompok mengenai hal itu;
 “Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik untuk ikut kelompok perempuan ini pada waktu dulu. Yaitu diantaranya di dalam kelompok ini banyak macam kegiatannya, seperti saat itu juga ada kegiatan pertaniannya, menanam singkong, juga ada belajar ngaji, baca-tulis, ketrampilan seperti membuat taplak meja, belajar membuat pot bungan, memasak dll.”

Aktifitas kelompok-kelompok perempuan diatas, bila meminjam kerangka Caroline O. N. Moser, adalah sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan “praktis” gender, yaitu dengan lebih fokus pada peningkatan pendapatan perempuan. Namun pada perkembangannya kemudian, sekitar tahun 1990-an, kelompok-kelompok perempuan dengan difasilitasi LSM pendampingnya mulai memfokuskan kegiatannya pada upaya pemenuhan kebutuhan strategis gender, dengan misalnya mereka mengembangkan kredit mikro, palatihan penyadaran gender, pengembangan kepemimpinan perempuan, pelatihan hak dan kesehatan reproduksi, serta pengembangan kelembagaan kelompok perempuan di level basis.

Apalagi pada tahun 1998 terjadi sesuatu hal yang bersejarah bagi perkembangan domokrasi dan reformasi politik Indoensia. Sealur dengan angin reformasi, Indonesia di tahun setelah itu, yaitu 1999, mengadakan Pemilihan Umum untuk mengganti masa kepemimpinan Orde Baru. Dengan semakin bebasnya kondisi Indonesia, beberapa kelompok perempuan ini (KPUK) mulai menyadari akan pentingnya pemahaman yang bersifat “strategis” – seperti kesadaran politis – disamping kegiatan yang menunjang kebutuhan praktis. Maka untuk menghadapi Pemilu 1999, kelompok perempuan ini – dengan difasilitasi LSM pendamping — mengadakan apa yang dinamakan dengan “voter education” (pendidikan pemilih, atau biasanya disebut “pendidikan politik”) bagi rakyat.

Melalui pendidikan politik ini, sebenarnya kelompok perempuan mulai mengenal dunia politik yang ada di Indonesia. Ada bebarapa alasan kenapa KPUK melakukan pendidikan politik. Salah satunya, termarginalnya perempuan dalam panggung politik mengakibatkan timpangnya posisi dan peran perempuan dalam lembaga-lemabaga politk. Sehingga dengan pendidikan ini, kelompok perempuan menyadari bahwa pemilu itu adalah arena untuk memilih wakil-wakilnya di parlemen (DPR), dan mengetahui partai politik yang betul-betul mewakili kepentingannya.

Berikut ini komentar salah satu anggota kelompok perempuan yang mengikuti pendidikan tersebut ;
 “Secara pribadi pendidikan politik (voter education) tersebut banyak manfaatnya. Karena, selama ini kita harus mematuhi semua aturan yang ada di desa tanpa penjelasan yang jelas. Namun berkat pelatihan ini kami jadi sadar. Sebagai contoh dalam pemilihat RT kemarin, kebetulan kakak saya kan pemilih PDI pada zaman dahulu, terus saat itukan Golkar lagi jaya-jayanya. Makanya, ada pegawai kelurahan yang tidak setuju kakak saya jadi PDI. Yang terjadi kemudian, ia berbisik-bisik ke orang kelurahan untuk tidak memajukan kakak saya jadi ketua RT. Contoh itu kan, memperlihatkan kalau kita harus tunduk pada apa yang dimau pak Lurah dengan tanpa tahu alasannya. Padahal bila itu tidak sesuai dengan hati kita, kenapa kita harus ikuti perintahnya?”

Dari kegiatan di atas, kelompok-kelompok perempuan yang selama ini tergabung dalam kawasan yang lebih kecil, mulai bergabung dengan kelompok perempuan lain yang terdapat dalam satu kabupaten, dengan nama “Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk)”. Saat itu, di 22 kabupaten dan kota di Indonesia telah terbentuk 22 jarpuk. Dengan bergabungnya kelompok perempuan yang selama ini ada di beberapa desa dan kecamatan dalam satu jaringan di kabupaten, maka kekuatan kolektif perempuan basis semakin kuat. Di dalam jarpuk ini pula utusan-utusan kelompok-kelompok perempuan dari berbagai desa dalam satu kabupaten berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal. Bahkan sejumlah materi pendidikan kesadaran akan hak politik perempuan dilakukan, seperti, cara-cara dalam melakukan loby dan advokasi kebijakan, pengorganisasian masyarakat, serta penyadaran hak perempuan sebagai warga negara. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah jarpuk terus bertambah di beberapa kabupaten di Indonesia, hingga mencapai 62 jarpuk.

Sejumlah aktifitas kemudian digelar dengan keberadaan jarpuk tersebut, seperti perencanaan aktiftas bersama dalam pertemuan rutin jarpuk, kegiatan simpan pinjam, penyamaan pandangan KPUK dalam lingkup jarpuk, dan sejumlah aksi kepada berbagai pihak negara yang membuat kebijakan di daerah masing-masing yang tidak berpihak kepada perempuan. Berikut ini berbagai kejadian dari berbagai daerah yang menggambarkan hal tersebut.

Pada bulan Otober tahun 2000, ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam “kelompok Pengusaha Kecil”, Selong, NTB, melakukan “protes keras” terhadap DPRD atas perlakuan kaum pria Nusa Tenggara Barat yang sering melecehkan kaum perempuannya. Hal itu dilakukan, karena banyak slogan dan tulisan yang menjurus pada pelecehan perempuan di Selong, NTB. Selain itu, mereka juga mengusulkan kepada DPRD supaya membuat perda untuk membatasi terjadinya kasus kawin cerai, sebab budaya kawin-cerai yang terjadi selama ini melukai perempuan dan anak-anak sebagai akibatnya.

Begitu pula di Purwokerto, Jawa Tengah, sejumlah kelompok yang menamakan diri dengan Jaringan Kelompok Perempuan Usaha Kecil Banyumas, menuntut dibuatnya undang-undang anti monopoli pasar dan harga, kepada Komisi B DPRD Banyumas dan dinas terkait, di Baturaden, 23 Oktober 2000. Hal itu perlu dilakukan sebab, selama ini terjadi persaingan tidak sehat antara pengusaha kecil-mikro dan besar di kabupaten Banyumas. Dalam hal ini, pengusaha besar cenderung memonopoli dan merusak harga pasar, sehingga sekarang tidak ada proses tawar-menawar harga, dan mereka cenderung mengusai hamnpir seluruh wilayah pasar.

Selain itu, perempuan usaha kecil di Padang Pariaman pun mengeluhkan perlakuan yang tidak adil dari Departemen dan Pembinaan Usaha Kecil Menengah, kabupaten Pariaman, saat mereka berdialog dengan Komisi B dan C DPRD, Padang Pariaman, 18 Oktober 2000. Dalam dialog tersebut para ibu mengemukakan “uneg-uneg”nya yang selama ini mereka rasakan. Salah satunya menurut mereka, Depkop selama ini tidak membina mereka dengan baik, namun beberapa oknum Depkop bahkan seperti menghambat. Sebagai contoh, dalam proses mendapatkan kredit dari bank maupun BUMN, Depkop bukannya memberikan bimbingan, melainkan mengambil keuntungan dari setiap proposal yang diajukan kelompok-kelompok perempuan, karena dianggap tidak bagus. Sehingga para perempuan pengusaha bisa mengeluarkan 200 ribu sampai 300 ribu untuk pembuatan satu proposal yang fasilitasi oknum Dopkop. Padahal, kredit yang diharapkan dari proposal tersebut belum tentu didapat, begitu ungkap anggota kelompok perempuan dengan geram.

Kemudian, para ibu di desa Silalahi, Sumatera Utara, pada bulan Juni 2000, menuntut kepada kepala desanya untuk meninjau ulang keberadaan tempat PSK (pekerja seks komersial) di daerah tersebut. Tuntutan itu dilakukan, karena keberadaannya seolah-olah “dilegalkan” oleh pemda, dan pihak kelurahan. Padahal pada kenyataanya, tempat tersebut semakin hari semakin meresahkan masyarakat, dan terkadang menjadi sarang kejahatan baru.

Hal yang sama juga terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2000 lalu. Yaitu saat itu para ibu yang tergabung dalam jaringan Perempuan Usaha Kecil sejabotabek melakukan berbagai dialog dengan pengambil kebijakan, seperti dialog dengan pihak BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) mengenai persoalan perempuan, khususnya di daerah Jakarta dan sekitarnya. Dan di tahun yang sama, mereka juga bertemu dengan walikota dan anggota DPRD, untuk mengungkapkan persoalannya, dan sekaligus mengkritisi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan olehnya.

Kemudian, pada tahun 2002 lalu sejumlah jarpuk yang berasal dari Sulawesi Selatan yang terdiri dari 5 kabupaten, dengan wilayah Sulawesi lainnya mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit dalam mendapatkan dana usaha kecil. Hal itu mereka sampaikan saat audensi (bertemu muka) dengan DPRD Sulawesi Selatan, komisi E, Senin, 29 Juli 2002. Bahkan menurut ibu-ibu yang bertemu dengan anggota dewan, bahwa ada penyaluran dana kredit usaha dari pemerintah yang salah sasaran, dan pengurusan izin pendirian usaha yang mahal dan berbelit-belit, serta tenaga kerja pria yang tidak sama dengan perempuan dalam penggajiannya. Selain kejadian di atas, ada sejumlah kasus lain, bahkan mungkin puluhan, yang tidak diketahui penulis, dimana perempuan berjuang dalam penuntutan haknya yang selama ini diabaikan.

Penutup

Pengalaman perempuan seperti disebut di atas, yaitu keberadaan perempuan di kelompok, baik itu di tingkat desa, maupun di tingkat jarpuk (kabupaten), seolah memainkan peran tunggal individu “keperempuanannya”. Padahal, bila dilihat secara teliti, dibelakang ibu-ibu yang ikut di kelompok tersebut, ada “gerbong” yang berisi anak-anak dan keluarganya. Dalam hal itu, artinya keterlibatan perempuan dalam kelompok di kegiatan-kegiatan ekonomi, sebenarnya mewakili keluarga. Maka tak heran, bila “pinjaman” modal yang dilakukan oleh perempuan dari kelompoknya, terkadang bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk memunuhi kebutuhan keluarga atau usaha yang dijadikan “usaha keluarga”, bahkan sang suami pun ikut memanfaatkan pinjaman tersebut untuk usahanya.

Dalam konteks itu, apa yang diperjuangkan oleh perempuan (seperti berbagai kegiatan di atas) dalam jarpuk misalnya, adalah perjuangan keluarga. Dimana bila dilihat sepintas, perjuangan yang diusung adalah perjuangan dalam skala “kecil”, namun dibalik itu berdiri barisan “keluarga (anak dan suami)” yang – sebagian besar – menjadi sumber sandaran ekonomi keluarga. Semua persoalan yang diusung oleh perempuan (termasuk di dalamnya yang tergabung dalam kelompok) bila dimaknai secara idiologis, merupakan persoalan ekonomi-politik yang paling dasar, yaitu “politik-perut”. Hal itu seusai dengan apa yang pernah diungkap oleh Melani Budianta, bahwa “politik perempuan bersumber dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari (personal is political), dan bertolak dari realitas sosial yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang menawarkan alternatif terhadap tatanan idiologi yang dominan.” 
 


Artikel ini adalah versi aslinya sebelum dimuat pada Jurnal Analisis Sosial, Vol. 9, No. 2 Agustus 2003.
M.Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK dan anggota presidium Jekora, dan Titik Hartni, Sekretaris Eksekutif Nasional ASPPUK..


Daftar Pustaka:

  • Ryadi Gunawan, “Dimensi-Dimensi Perjuangan Kaum Perempuan Indonesia dalam Persepktif Sejarah”, Yaoyakarta: tahun 1991. Dipetik dalam Fauzi Ridjal, dkk, “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Yoyakarta: PT Tiara Wacana, 1993, hal. 100.
  • Wardah Hafidz, “Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang, dan Sumbangannnya kepad Transformasi Bangsa”, Jakarta: tahun 1992. Dipetik dalam Fauzi Ridjal, dkk, “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Yoyakarta: PT Tiara Wacana, 1993, hal. 95.
  • Tita Marlita, dan E. Kristi Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia : 1928-1965”. Dipetik dari E. Kristi Porwandari dan Rahayu S H (penyun.), “Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah”, Jakarta: PSKW-PPUI, Thn 2000, hlm. 87.
  • Ibid.,
  • Gunawan, op. cit., hal. 101.
  • Guida West, dkk (edit), “Women in Grass-Roots Protests for Economic Survival”, dipetik dalam, “Women and Social Protest” New York : Oxford University Press, 1990. hal 37. Di Indonesia, protes yang dilakukan Suara Ibu Peduli, mengenai langkanya susu bagi ibu dan anak-anak bisa menjadi salah satu contohnya. Namun pendokumtasian seputar kegiatan gerakan perempuan yang mempersoalakan hal yang paling dasar, seperti kebutuhan akan makan dan minum, serta yang lainnya kurang terekam dengan baik.
  • ASPPUK adalah jaringan LSM yang dahulunya bernama YASPPUK, yang bergerak dalam hal pemberdayaan perempuan dan penguatan institusi perempaun di akar rumput, dan juga penyadaran akan hak-hak perempuan di lapis akar rumput melalui LSM anggotanya. Jaringan ini beranggotakan 54 LSM anggota yang bergerak di pendampinngan kelompok-kelompok perempuan di level basis.
  • Ruth Indiah, “Depolitisasi Gerakan Perempuan di Indonesia”, Jakarta: 1999. Dipetik dari Tim ASPPUK, “ Hand out untuk Ornop, Gender dan Politik”, Jakarta: YASPPUK, 1999. Bahan untuk modul yang tidak diterbitkan.
  • Dr. Ariel Haryanto, “Perempuan, Keluarga, dan Pembangunan”, Jakarta: 1998, hal. 74-75. Dipetik dari Jurnal Perempuan, Edisi 05, November – Januari 1998.
  • Dalam hal itu seperti pelatihan pendidikan kesehatan reproduksi bagi perempuan misalnya, setelah salah seorang anggota mengikuti pelatihan yang diadakan oleh TPL LSM, utusan tersebut melakukan pendidikan serupa bagi anggotanya di kelompok perempuan. Seperti dalam kegiatan pengetahuan kesehatan reproduksi misalnya, dalam acara “papsmeer”, yaitu suatu kegiatan tentang informasi kesehatan reproduksi yang mendatangkan seorang dokter yang ahli dalam hal itu, yang dilakukan oleh kelompok perempuan sendiri. Dalam hal ini, ongkos yang dikeluarkan ditanggung secara bersama-sama oleh anggota kelompok. Acara tersebut biasanya diadakan setiap sebulan sekali. Lebih jelas, baca pengalaman lapang dampingan PPSW dalam kesehatan repdoduksi di “Menguak Tabu, Pengalaman Lapang PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan”, oleh Nani Zulminani, Jakarta: PPSW, 2002.
  • M. Firdaus, “Dampak Pendidikan Politik Yang Dilakukan PPSW Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Lapis Bawah”, Jakarta: Paska-sarjana UI, 2003, hal. 80-82. Tesis yang tidak diterbitkan, dan pengalaman di atas diambil dari PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita), salah satu LSM anggota ASPPUK.
  • Ibid,. Wawancara dengan salah satu PUK di Pondok Rangon, Jakarta Timur.
  • Caroline O. N. Moser, “Gender Planning and Development (Theory, Practice & Training)”, London: Routledge, 11 New Fetter lane, EC4P4EF, 1993, hal. 40. Secara gamblang ia menggambarkan kebutuhan praktis sebagai kebutuhan perempuan yang didasari oleh tuntutannya terhadap kebutuhannya sehari-hari di masyarakat, seperti kebutuhan akan air bersih, kesehatan, dan pekerjaan (practical gender needs are the needs women identify in their socially accepted roles in society).
  • Ibid,. Secara umum, definisi kebutuhan “strategis” gender adalah “strategic gender needs are the needs women identify, becouse of their subordination position to men in their society”.
  • Nunuk P. Murniati, op. cit,. hal. 23.
  • Tim ASPPUK , “Modul Pemberdayaan Perempuan dalam Poliitk (Modul untuk Perempuan Usaha Kecil)”, Jakarta: ASPPUK, tahun 2000. Modul tersebut juga dipakai oleh LSM anggota ASPPUK beserta masyarakat dampingannya. Secara rinci berikut ini materi-materi yang disampaikan dalam pendidikan politik ; pertama, pembahasan secara lebih mendalam tentang idiologi gender dalam kehidupan perempuan. Kedua, pembahasan tentang arti politik itu sendiri, gender dan politik, serta hak-hak politik perempuan. Ketiga, pemahaman tentang sistem politik Indonesia yang selama ini berjalan, dan yang seharusnya dalam negara demokrasi, serta peran perempuan dalam sistem tersebut. Keempat, pembahasan tentang pemilu sebagai alat demokrasi. Kelima, analisa parpol yang sesuai dengan kepentingan perempuan. Dalam pembahasan ini perempuan kelompok diajak untuk mengidentifikasi kebutuhan perempuan dan sekaligus menganalisa partai yang mampu memperjuangkan kebutuhan perempuan. Keenam, pemahaman terhadap proses pemilu yang demokratis.
  • M. Firdaus, op cit., hal. 100. Wawancara dengan salah satu PUK.
  • Lombok Post, artikel dengan judul “DPRD Lotim Didemo Kaum Hawa”, 14 Oktober 2000.
  • Kedaulatan Rakyat, Selasa, 24 Oktober 2000.
  • Mimbar Minang, Jum’at, 20 Oktober 2000.
  • Majalah Suara Perempuan, no.17, tahun II, Juni 2000, majalah independen yang diterbitkan oleh Yayasan Sada Ahmo, Berastagi, Sumut.
  • lihat proceding “Leadership Trainning for Grass Root Women Leaders”, PPSW, Mei 2000.
  • Ujung Pandang Ekspres, Rabu, 31 Juli 2002.
  • Nunuk P. Murniati, op. cit,. hal. 78. Dipetik dari Melani Budianta, “Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia”, Kompas, 20 Desember, 2000.