Mengembalikan lembaga kredit mikro yang sensitif gender

Pendahuluan
Kenyataan sehari-hari memperlihatkan bahwa jumlah unit usaha mikro dan tenaga kerja yang terserap di dalamnya mengalami peningkatan.

Hal itu terlihat jelas di “Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 1999”, di data BPS 2001.[1]

Perkembangan Jumlah Unit Usaha Industri

Tahun 1995-1999
(jumlah dalam ribuan unit)

 

Golongan Industri

1995

1996

1998

1999

Unit

Pekerja

Unit

Pekerja

Unit

Pekerja

Unit

Pekerja

IB/S

22

4.174

23

4.215

21

4.106

22

4.217

IKKR

2.604

5.567

2.867

6.614

2.197

5.302

2.516

6.119

Jumlah

2.626

9.741

2.890

10.829

2.217

8.838

2.538

10.336

 

Keterangan : IKKR = Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
                        IB/S = Industri Besar dan Sedang
 
Bila dilihat secara seksama dari struktur konfigurasi ekonomi Indonesia, kondisi tersebut mendapat justifikasi yang saling mendukung. Dari total jumlah unit usaha sebanyak 39,72 juta, sebesar 39,71 juta nya (atau sekitar 99,97%) merupakan kegiatan usaha ekonomi sebagian masyarakat yang biasa disebut oleh pengambil kebijakan dengan “usaha mikro, kecil, dan menengah” (UMKM). Dan dari total angka UMKM yang berjumlah 39,71 juta, 98% nya (atau sekitar 39 juta usaha) dihuni oleh pengusaha mikro, dimana usaha yang disebut “sektor infomal” termasuk di dalamnya.[2]  

Kemudian pada sisi lain, data statistik 2001 (BPS, 2001) juga memperlihatkan bahwa para pelaku usaha mikro di pedesaan sebagain besar adalah perempuan. Lebih jelasnya, untuk kepemilikan usaha mikro sebanyak 44,29% berada ditangan perempuan. Sementara di sektor usaha kecil, hanya 10,28% berada di tangan perempuan. Kemudian, di sektor usaha tersebut (mikro dan kecil) terdapat penyerapan tenaga kerja perempuan yang besar untuk menjadi buruh.[3] Lebih jelas mengenai hal itu, lihat data “Profil IKKR (Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga) tahun 1999”, di BPS tahun 2001.
 
Tabel banyaknya Pekerja menurut Status dan Jenis Kelamin (1999)

Status Pekerja

IK

%

IKKR

%

Jumlah

%

Dibayar

1.271.334

71,45

577.942

13,32

1.849.276

30,22

Laki-laki

845.201

66,48

481.904

83,38

1.327.105

71,76

Perempuan

426.133

33,52

96.038

16,62

522.171

28,24

Tidak dibayar

507.903

28,55

3.762.233

86,68

4.270.136

69,78

Laki-laki

305.876

60,22

1.696.679

45,10

2.002.555

46,90

Perempuan

202.027

39,78

2.065.554

54,90

2.267.581

53,10

Jumlah pekerja

1.779.237

100

4.340.175

100

6.119.412

100

Laki-laki

1.151.077

64,69

2.178.583

50,20

3.329.660

54,41

Perempuan

628.120

35,31

2.161.592

49,80

2.789.752

45,59

Sumber : Profil IKKR Tahun 1999, BPS, 2001
Keterangan : IKKR = Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
                   IB/S = Industri Besar dan Sedang
 
Ada bebarapa faktor yang bisa menjelaskan fenomena berkembangnya usaha mikro, dimana sebagian besar rakyat – dan jumlah perempuan yang paling besar — berada. Salah satunya, pada aras makro, proses indutrialisasi dari negara-negara maju terhadap negara berkembang begitu gencar. Namun pada sisi lain, negara-negara berkembang – termasuk Indonesia – menghadapi proses industrialisasi tersebut dengan cara mengambil model pembangunan dari Barat tanpa “reserve”. Taken for granted. Hal itu diperlihatkan dengan kecenderungan yang lebih besar dari negara berkembang terhadap industri-industri skala besar, yang padat modal dan mengandalkan teknologi tinggi (high technology). Dampak dari kebijakan seperti itu, hanya sebagian kecil rakyat yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan tinggi terserap pada bagian-bagian yang ada di industri. Perkembangan selanjutnya, industri tersebut meminggirkan, bahkan mengendalikan sektor tertentu di usaha mikro yang berada di perdesaan, yang menurut data sebagian besar dihuni perempuan. Pilihan kerja dan usaha bagi perempuan menjadi terbatas, apalagi bagi perempuan miskin yang aksesnya terhadap sumber daya vital relatif terputus.[4]

Satu konsep yang dapat membantu memahami relasi antara proses industrialisasi dengan usaha dan kerja rakyat (yang sebagian besar perempuan) di atas adalah “marginalisasi”. Yang dimaksud dengan marginalisasi di sini adalah proses dimana relasi-relasi kekuasaan antar manusia berubah dengan suatu cara, sehingga salah satu kelompok terputus pada sumber-sumber daya vital yang kian lama dikuasai oleh elit kecil)[5]. Yang terjadi dalam hal itu, perempuan lebih tersisih daripada laki-laki. Konsekuensinya lebih lanjut, perempuan tanpa pilihan harus menyandarkan kehidupannya kepada sumber pinggiran pada “periferi ekonomi pasar”. 

Yang menyedihkan dari usaha mikro yang dijalankan perempuan di atas adalah outputnya tidak memberikan hasil dalam bentuk pemupukan modal. Sehingga keuntungan dari usahanya tersebut biasanya habis hanya untuk membeli bahan dasar keperluan sehari-hari, pembiayaan kesehatan keluarga sewaktu-waktu, serta terkadang juga untuk menutupi kekurangan bahan makanan pokok. Dalam hal itu, perempuan sama sekali tidak bisa “memutar” uangnya untuk berusaha yang lain, atau untuk disimpan (ditabung) untuk keperluan di kemudian hari, atau untuk meningkatkan taraf hidupnya, seperti layaknya pedagang besar.[6]   Dengan bahasa lain usaha-usaha yang dijalani rakyat – yang sebagian besar  perempuan — di pedesaan, merupakan usaha yang berkatagori “subsisten”. Maksudnya, usaha (pekerjaan) yang sebagian besar hasilnya – bahkan seluruhnya — habis untuk konsumsi sehari-hari. Sejumlah data memperlihatkan bahwa perempuan pelaku usaha di pedesaaan menghasilkan omset kurang dari Rp 1 juta rupiah/bulan.

Sedangkan pada sisi lain, bila pelaku usahanya perempuan, beban persoalannya akan semakin bertambah. Beberapa penelitian tentang hal itu, membaginya dalam dua hal; yaitu problem teknis usaha dan problem struktural. Dalam problem teknis usaha, perempuan pengusaha mikro mengalami hambatan yang sama, sebagaimana pelaku usaha mikro pada umumnya, seperti kekurangan modal, keterbatasan penguasaan tehnologi tepat guna, terbatasnya jaringan pasar, terbatasnya ketrampilan manajemen dan penguasaan  ketrampilan tehnis produksi serta terbatasnya kemampuan pengembangan desain. Namun dalam problem struktural, perempuan tertimpa dua hal sekaligus, yaitu pertama, beragam kebijakan pemerintah berupa peraturan yang tidak adil dan sertifikasi kelayakan produk, baik di pusat maupun daerah, dan lembaga lain seperti perbankan yang meberikan layanan kredit, serta ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Kedua, hambatan struktural yang berkaitan dengan “tubuh perempuan”. Yaitu dimana perempuan merasa kesulitan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik .[7]
           
Lembaga Keuangan, Satu Alternatif
Seperti disebutkan di atas bahwa problematika perempuan pengusaha mikro diperparah dengan kendala perempuan dalam menjalankan peran konstruktif “keperempuannya”, seperti tugas-tugas domistik, dsb. Sehingga seringkali perempuan yang mempunyai usaha mikro, melakukan fungsi produksinya di lokasi yang berdekatan dengan rumah. Ini berarti dalam menjalankan aktifitas tersebut mobilitas fisiknya terbatas. Jaringan sosial dan jangkauan pemasaran juga menjadi sempit. Kesempatan berhubungan dengan pihak-pihak  yang  mungkin bisa memberikan  kemungkinan peningkatan usaha mereka seperti  Bank dan lembaga keaungan lainnya sangat terbatas. Ini semua membawa implikasi sulitnya mereka mengembangkan usaha.

Secara jelas, studi Akatiga, Bandung, berikut ini menunjukkan beberapa dampak yang dihadapi perempuan pengusaha mikro selama dan setelah krisis ekonomi, antara  lain; pertama, semakin sulitnya mengelola usaha, karena beban kerja dan tanggung jawab domestik yang meningkat di masa krisis. Kedua, sulitnya  memperoleh informasi karena terbatasnya akses dan mobilitas. Ketiga, sulitnya  mengakses kredit formal karena adanya peraturan dan prosedur baru yang mempersulit. Keempat, daya akuisisi tehnologi pada perempuan di usaha kecil-mikro lebih rendah dari laki-laki. Kelima, menjadi sasaran empuk pungutan karena dianggap lebih lemah sehingga mudah ditekan. Keenam, kesadaran dan kesempatan berorganisasi pada perempuan lebih kecil. Pengurus asosiasi umumnya laki-laki, sehingga ada bias gender dalam kebijakannya. Ketujuh, kurang bisa mencari bahan baku dari sumber alternatif yang biasanya lebih jauh dan membutuhkan mobilitas tinggi.

Seperti disebut di atas, perempuan pengusaha mikro juga menghadapi kebutuhan utama yaitu modal, namun pada sisi lain, mereka juga mempunyai  keterbatasan untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal (perbankan). Ini terjadi dikarenakan berbagai kendala dan keterbatasannya, misalnya;

  1. Lokasi kelompok-kelompok perempuan pengusaha mikro yang sangat jauh dari lembaga formal.
  2. Kegiatan usaha yang masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan juga sangat kecil. Dan ini tidak akan dilayani oleh lembaga formal, karena tidak efesien.
  3. Adminsitrasi keuangan di kelompok-kelompok perempuan pengusaha yang masih belum dikelola dengan baik, sehingga tidak memenuhi standart pembukuan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan formal.
  4. Keterbatasan dalam pemilikan assest yang bisa secara formal dipakai sebagai jaminan kredit (kolateral).[8]

Dalam kondisi seperti  diatas diperlukan  “technical asssitant”, baik berupa bantuan modal dan pelatihan yang mampu membantu perempuan pengusaha mikro untuk keluar dari persoalannya, maupun tenaga “konsultan” sebagai pendamping. Pengalaman mengajarkan bahwa pemecahan problem perempuan pengusaha mikro tidak hanya berkaitan dengan persoalan pengembangan bisnisnya semata, tetapi juga problem ketidakadilan yang berakar dari ketimpangan relasi gender.[9]

Maka dalam konteks itu, upaya pengembangan “Lembaga Keuangan Mikro” yang punya nilai keberpihakan kepada perempuan, untuk bisa membantunya dalam mengatasi pesoalan usaha (yaitu permodalan) dan ketidakadilan gender, perlu mendapat perhatian. Dari sisi kepemilikannya, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berkembang selama ini mempunyai dua model. Pertama, LKM yang dimiliki oleh institusi (lembaga) pengembangan masyarakat yang selama ini mendampingi dan memberdayakan masyarakat miskin (perempuan), seperti “LSM” (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau yayasan-yayasan yang didirikan oleh perusahaan swasta. Kedua, LKM yang dimiliki secara bersama-sama antara masyarakat miskin dan LSM sebagai pendamping. 

Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan jenis LKM yang pertama, dimana pemiliknya adalah LSM, yang sangat mungkin untuk memodifikasinya dengan nilai keberpihakan terhadap perempuan pengusaha mikro. Selanjutnya penulis akan mengemukakan ide yang dirangkum dari berbagai pengalaman LSM yang selama ini mengembangkan “Lembaga Keunagan Mikro” dengan nilai keberpihakan kepada perempuan.[10]

Secara umum, dalam sejarahnya, sebelum LKM itu didirikan oleh LSM di masyarakat, biasanya kelompok-kelompok perempuan sudah dibentuk dengan bantuan tenaga lapangan atau oleh kader masyarakat sendiri.  Nama kelompok-kelompok perempuan tersebut biasanta bervariasi; ada yang berupa KSM (kelompok Swadaya Masyarakat), KWPS (Kelompok Wanita Pengembangan Swadaya), dan KPUK (Kelompok Perempuan Usaha Kecil).[11] 

Dengan adanya kelompok, sejumlah kegiatan digelar, baik yang difasilitasi oleh TPL (Tenaga Pendamping Lapang) LSM maupun yang diinisiasi oleh kelompok perempuan sendiri.[12]

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan pada awal berdirinya adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat pemenuhan kebutuhan praktis kelompok perempuan. Diantara kegiatan itu, seperti pelatihan motivasi berkelompok, pelatihan membaca dan menulis, pelatihan pembukuan kelompok, manajemen berkelompok, dan manajemen bisnis, dsb.[13] 

Dari kelompok ini pula, para perempuan membangun kegiatan simpan pinjam yang dikelola oleh mereka sendiri dengan difasilitasi oleh TPL LSM. Dari sini LSM sebagai pendamping, mendirikan LKM untuk memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok simpan pinjam dan persorangan dari masyarakat miskin ini.  Sebagai langkah awal, LKM sebaiknya melakukan kegiatan “capacity building” seperti “Pelatihan bagi TPL kelompok perempuan”, dan “Pelatihan Manajemen Keuangan bagi pengurus kelompok perempuan” sebelum pengguliran dana pinjaman. Dalam pelatihan bagi TPL dibahas tentang bagaimana memahami karakter dan struktur kelompok perempuan pengusaha mikro yang didampingi, teknik-teknik pendampingannya dalam manajemen kredit mikro dengan perspektif gender, serta bagaimana TPL ini bisa membantu perempuan pengusaha mikro membuat kelayakan usaha untuk mengakses kredit.     

Sedangkan dalam pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus kelompok, peserta dikenalkan dengan materi-materi yang meliputi; pemahaman tentang struktur, sistem kepengurusan, mekanisme dan karakteristik kelompoknya, pembuatan pembukuan kelompok, pengelolaan kegiatan simpan pinjam di kelompok, serta pembuatan kelayakan pinjaman anggota, akuntasi pembukuan sederhana, kelayakan usaha peminjam kredit, dan pemecahan problem usaha.   

Setelah peningkatan “capacity building” bagi kelompok perempuan dan TPLnya, tahap berikutnya adalah penyaluran kredit mikro berdasarkan pengajuan lampiran kredit yang telah disepakati dan sesuai dengan peraturan lembaga. LKM yang ditujukan untuk kelompok-kelompok perempuan pengusaha mikro, selayaknya memuat “2 (dua) skim kredit pinjaman”. Pertama,  jenis “kredit usaha” untuk pengembangan bisnis yang sudah ada dan pembentukan usaha baru. Kedua, “kredit kebutuhan perempuan” untuk pendidikan (khususnya untuk anak dan perempuan), kesehatan (melahirkan), perumahan, pemilikan aset produktif. Sementara itu, yang berhak menerima kredit mikro diutamakan adalah perempuan pengusaha mikro, yang menjadi anggota kelompok perempuan pengusaha mikro, yang mempunyai kriteria sebagai berikut. Diantaranya, mereka adalah kelompok yang selama ini didampingi oleh TPL LSM, dan telah memiliki pengurus terpilih, dan mempunyai pertemuan rutin. Selain itu, ia juga menerapkan sistem pembukuan yang memadai, peraturan kelompok secara tertulis, dan telah melakukan pemupukan modal swadaya, serta menganut sistem tanggung renteng.[14] Berikut ini skema pengajuan kredit mikro.

Secara teknis, sebaiknya kredit mikro diberikan kepada kelompok perempuan pengusaha mikro setelah melewati beberapa tahap. Pertama, pemohon (kelompok perempuan pengusaha mikro) mengajukan permohonan kredit dengan melampirkan profil anggota kelompoknya, kelayakan usaha, dan rencana penggunaan kredit dengan didampingi TPL. Kedua, pemohon kredit harus ditembuskan kepada TPL masing-masing, kalau diperlukan untuk mendapatkan rekomendasi. Ketiga, permohonan kredit akan ditanggapi minimal 3 (tiga) hari oleh LKM dan maksimal 1 bulan (waktu ini bisa berubah-ubah sesuai kondisinya). Keempat, penandatanganan akad kredit dilakukan antara petugas LKM dengan masing-masing masing-masing Kelompok Perempuan Pengusaha mikro. Kelima, jika disetujui, LKM memberikan dana kredit untuk Kelompok melalui pengurus. Keenam, kelompok mengangsur kredit ke LKM melalui TPL, di setiap pertemuan kelompok (ada yang setiap minggu atau dua mingguan). Ketujuah, TPL LKM melaporkan perkembangan penggunaan kredit dan profil pemanfaat kredit, jika diperlukan LKM.

Selain itu, selayaknya beberapa persyaratan tambahan harus dipenuhi para pemohon, seperti pelampiran berkas-berkas kelayakan usaha, profil anggota kelompok, serta rencana pengguna kredit. Disamping itu, pengenaan bunga pinjaman harus proporsional; yaitu rata-rata untuk pinjaman jenis usaha berjumlah 11% tetap pertahun, dan pinjaman untuk kebutuhan perempuan, tanpa dikenai bunga.[15] Begitulah syarat-syarat umum yang sebaiknya ada dalam LKM yang mempunyai nilai kesetaraan dan keadilan gender.
   
Sementara itu, tujuan standart dan mesti ada dalam Lembaga Keaungan Mikro yang didirikan LSM yang berperspektif gender, adalah memuat dua hal penting. Pertama, menguatkan “capacity building” LSM melalui TPL-TPLnya, dalam rangka memfasilitasi kredit mikro pada Kelompok Perempuan Pengusaha Mikro, yang memerlukan modal di luar kemampuan swadayanya, namun belum mampu berhubungan dengan lembaga keuangan formal (bank). Kedua, pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dalam rangka peningkatan kondisi dan perbaikan relasi yang adil dan setara.
           
Kesimpulan dan Penutup

Secara umum, kredit mikro yang disalurkan kepada kelompok-kelompok perempuan pengusaha mikro membantu mereka dalam mengembangkan usahanya, sehingga mereka memiliki akses ekonomi. Ini berbeda, saat mereka belum memiliki usaha – atau usaha yang modalnya seadanya –, akses kepada segala sarana amat terbatas. Selain itu, kredit mikro ini juga dapat membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perempuan, seperti biaya pendidikan dan biaya kesehatan, sehingga perempuan pengusaha mikro dapat terhindar dari lilitan rentenir.

Kemudian, pinjaman kredit mikro ini juga dapat meningkatkan penghasilan pendapatan rumah tangga perempuan pengusaha mikro. Serta yang penting, dengan adanya penyaluran kredit mikro dengan berbagai aktifitas peningkatan “capacity building” sebelumnya, terjadi peningkatan pengetahuan perempuan pengusaha mikro, terutama dalam pengelolaan uang, serta dapat memupuk rasa “tanggung jawab” dalam pengelolaan uang, dan ini menjadi wadah pendidikan bagi perempuan.[16]

Bila dilihat dari keberadaan kredit mikro yang dijalankan LSM yang punya keberpihakan kepada perempuan, maka ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai pelajaran. Pertama, prosedur yang ditujukan untuk pengajuan kredit dari perempuan pengusaha mikro (dalam hal ini sebagai pemohon), tidak berbelit-belit. Bahkan dalam pengajuannya ada proses pendampingan dan sosialisasi dari TPL, dan ada proses dialog antar TPL untuk menentukan kelayakan dalam pengajuan tersebut. Ini berbeda dengan situasi yang terjadi selama ini, yaitu pembebanan dalam pengajuan kredit di bank (lihat peraturan perbankan yang mengharuskan perempuan untuk mempunyai agunan dalam mengurus kredit).

Kedua, letak lokasi LKM pun ramah terhadap kehidupan masyarakat setempat (terkhsus untuk perempuan pengusaha mikro di pedesaan). Artinya LKM tersebut, tidak bersifat pasif, namun lebih kreatif  (seperti melakukan penjemputan bola) dari TPL LSM, atau bahkan bisa terjadi pola kekeluargaan yang mementingkan kesejahteraan bersama, antara pemohon dan pendamping. Sehingga bila ada kemacetan dalam pengembalian, disana ada pemecahan secara bersama dari teman-teman kelompoknya dengan dibantu TPL. Ini terjadi, karena ada pertemuan kelompok di antara perempuan pengusaha mikro setiap minggu (atau dua minggu) sekali. Serta yang penting, proses dalam pengembaliannya pun tidak cepat seperti bank. Di sana ada waktu tenggang yang cukup lama, demi untuk memberikan keluasaan bagi perempuan pengusaha dalam pengembangan bisnisnya supaya tidak selalu dikejar-kejar oleh pengembalian kredit.      

Ketiga, seperti disebutkan diatas, disamping ada pemenuhan untuk kalangsungan usaha bagi perempuan, LKM yang sensitif gender juga memberikan kredit untuk pemenuhan kebutuhan perempuan. Ini mungkin yang membedakan dengan LKM lain atau bank, yang tidak memikirkan aspek seperti ini. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan perempuan ini, kredit yang ditawarkan tidak dikenakan bunga.

Keempat, ada pertemuan kelompok oleh perempuan pengusaha mikro yang diadakan secara rutin. Dalam pertemuan inilah dibahas semua keluhan yang dialami nasabah, dan bagaimana juga para temannya bisa saling berbagi pengalaman dalam mengelola pembukuan dan pengembangan bisnisnya. Biasanya, untuk kelompok baru, para TPL selalu datang untuk bisa bergabung dalam proses dialog yang ada.

Terakhir, kelima, sebelum atau ditengah-tengah berlangsungnya penyaluran kredit mikro, ada beberapa pelatihan yang diikuti oleh para ketua kelompok, yang nantinya bisa menginformasikannya ke anggota kelompoknya dalam pertemuan kelompok. Diantara pelatihan yang biasanya diadakan LSM adalah pembukuan yang baik, kelayakan usaha, studi pasar, dan menajemen keuangan. Selain itu, sambil melakukan proses pendampingan, untuk melihat pengembalian kredit, para perempuan pengusaha juga mendapat siraman pengetahuan kesadaran gender. Ini dilakukan, karena tujuan dari penyaluran kredit mikro ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis perempuan, atau dengan kata lain, kredit mikro ini sebagai pintu masuk untuk pemberdayaan perempuan pengusaha mikro yang lebih mendalam.[17]

________________________________________
[1] Ratih Dewayanti, dkk, “Marjinalisasi & Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro Di Perdesaan Jawa”, Bandung: Akatiga dan ASPPUK, Mei 2004, hal 10.
[2] Tulus Tambunan, “Industrialisasi di Negara sedang Berkembang” Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2001.
[3] Ibid,. Ratih, dkk, hal.15.
[4] Roger Tezler, “Small-scale Industry’s Contribution to Economic Development”, dalam I.S.A Baud dan G.A de Bruijne, 1993, “Gender, Small-scale Industry and Development Policy”, London: IT Publications.
[5] Grijns, dkk, “Different Women, Different Work: Gender and Industrialization in Indonesia” (Avebury: Hans and Vermont, 1994).
[6] Henrietta L Moore, “Feminisme dan Antropoli (terjemahan)”, Jakarta: Yayasan Obor, 1998.
[7] Winarni, dkk, “Perempuan Pedesaan, Pemiskinan dan Agenda Pembebasan” Klaten: Persepsi & Ford Foundation, Tahun 2000. Dalam buku tersebut terpaparkan keluhan-keluhan perempuan  yang menjalani usaha mikro di pedesaan dengan membicarakan problem relasi dirinya dengan keluarga, suami di aras domistik dan domain public.
[8] M.Firdaus dkk, “Aspek Pemberdayaan Perempuan di Balik Lembaga Kredit Mikro”, satu tulisan di Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.3 Desember 2001, hal 41-51.
[9] M.Firdaus dan Ratih Dewayanti, “Situasi Tanpa Perlawanan (Penelusuran Kondisi Perempuan Usaha Mikro di Jawa Tengah)”, satu tulisan di Jurnal Perempuan, No.35, 2004, hal 125-139.
[10] Ide tulisan ini bukan murni dari Penulis, namun diangkat dari pengalaman penulis selama ini mengelola lembaga keangan mikro yang punya perspektif kesetaraan gender. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada temna-teman di jaringan ASPPUK. 
[11] M.Firdaus dan Titik Hatini, “Bergerak Menentang “Ketidakadilan” (Pengalaman Jaringan Perempuan Usaha Kecil-mikro)”, satu tulisan di JURNAL ANALISIS SOSIAL, Vol.8, No.2 Oktober 2003, hal 67.
[12] Nani Zulminanri, “Menguak Tabu, Pengalaman Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan”, Jakarta: PPSW, thn 2002.
[13] M. Firdaus, “Dampak Pendidikan Politik Yang Dilakukan PPSW Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Lapis Bawah”, Jakarta: Paska-sarjana UI, 2003, hal. 80-82. Tesis yang tidak diterbitkan, dan pengalaman di atas diambil dari  PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita). 
[14] M. Firdaus, dkk, Ibid,.
[15] Lihat “Manual Kredit Mikro”, yang ditulis YASPPUK pada Januari 1998, Jakarta..
[16] Lihat laporan secretariat ASPPUK tentang temuan-temuan lapang yang diberi judul “Evaluasi Kredit Mikro YASPPUK,  tahun2000”. Dalam temuan tersebut disebutkan juga manfaat untuk para tenaga pendamping (yiatu LSM pendamping), diantaranya, membantu mengembangkan usaha produktif anggota KSM dengan memperdayakan PUK, dan untuk menambah pengetahuan tenaga penamping KPUK.
[17] Dina Lumbantobing, “LSM dan Penguatan PUK secara Politis”, 1999. Tulisan yang termuat dalam bulletin “Jaringan LSM” no. 10 – Thn IV – April 1999, yaitu majalah yang diterbitkan oleh secretariat ASPPUK.