PUK dan Relasi

A. Latar Belakang
Setelah terbukti lebih tahan banting dalam menghadapi krisis, saat ini usaha kecil-mikro diharapkan menjadi motor perekonomian Indonesia. Namun harapan terebut tidak diwujudkan dalam bentuk-bentuk keberpihakan pada pelaku usaha kecil-mikro. Pada kenyataannya, usaha kecil-mikro masih sulit berkembang karena tertutupnya akses mereka terhadap sumber daya usaha serta lingkungan kebijakan yang tidak kondusif. Disamping ralasi-relasi yang terbangun antara usaha kecil mikro dengan aktor-aktor lain dalam rantai produksi dan perdagangan(rantai hulu dan hilir) ternyata bersifat ekasploitatif terhadap usaha mikro kecil.

Perempuan merupakan bagian terbesar dalam pelaku usaha kecil mikro. Tetapi peranan ini masih sedikit dibahas, dan bahkan masih sering diabaikan di dalam pembahasan usaha kecil. Pengabaian ini disebabkan adanya anggapan bahwa tidak ada perbedaan tingkat keuntungan maupun persoalan usaha yang dihadapi oleh pengusaha perempuan dan laki-laki. Namun disatu sisi lain ada dugaan bahwa dalam dunia usaha, perempuan merupakan kelompok yang lebih tereksploitasi dalam sektor usaha dimana sektor-sektor usaha yang paling tidak menguntungkan sebagian besar diisi oleh perempuan.

Selain itu perempuan juga menghadapi persoalan-persoalan relasi perempuan usaha kecil-mikro dengan aktor-aktor lainnya yang menyebabkan perempuan usaha kecil -mikro tidak dapat melakukan akumulasi modal, dan mendorong advokasi terutama di tingkat kelompok-kelompok perempuan usaha kecil-mikro.
 
B. Perumusan Masalah
Studi ini akan mengkaji asumsi bahwa Perempuan Usaha Kecil menghadapi berbagai masalah dengan berbagai pihak yang terkait dengan usaha yang dijalankan nya dan Perempuan Usaha Kecil seringkali dirugikan dalam relasinya dengan berbagai pihak tersebut. Apakah Perempuan Usaha Kecil mempunyai strategi untuk memecahkan masalah yang dihadapinya ?. Dengan demikian studi ini akan mengidentifikasiberbagai pihak terkait dan masalah yang ditimbulkan, relasi antar berbagai pihak serta strategi pemecahan masalahnya.
 
Studi ini mengkaji bersamapelaku yang terkait dengan perempuan usaha kecil dan masalah-masalah yang ditimbulkan, kemudian melihat relasi antar pelaku tersebut dan bagaimana merekamencari alternatif dan merumuskan pemecahan masalah, dengan mengambil kasus Usaha Gentingdi Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah. Tujuan Studi ini adalah, pertama mengidentifikasi siapa pelaku yang terkait dengan pengusaha genting dan masalah-masalah yang ditimbulkannya. Ke dua melihat relasi antar pihak tersebutuntuk menganalisissiapa pihak yang paling diuntungkan dan siapa yang menanggung resiko paling besar serta bagaimana mereka mencari bersama pemecahan masalah yang mereka hadapi.
 
Usaha Kecil mempunyai batasan dan definisi yang berbeda dari masing-masing lembaga atau institusi. Menurut UU no. 9/ 1995 Usaha kecil didefinisikan yaitu kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, termasuk di dalamnya sektor informal serta usaha tradisional yang dimiliki dan menghidupi sebagian besar rakyat. Dengan kriteria kekayaan bersih Rap 200 juta atau penjualan tahunan paling sedikit sebesar Rap 1 milyar. Sedangkan bentuk usahanya perorangan, tidak mempersoalkan badan hukum atau tidak, termasuk koperasi.
 
Sedangkan menurut Jim Schell (1996) berdasarkan pengalaman di Amerika Ciri-ciri Pengusaha Kecil adalah:

  • Usaha Kecil menganggap konsumen adalah raja
  • Usaha kecil sering berubah dan berubahnya dalam waktu yang sangat cepat
  • Mempunyai tenaga kerja yang masing-masing mempunyai keunikan tersendiri.
  • Tantangan utama dalam usaha kecil adalah kreatifitas dan pengambilan resiko,  walaupun orang yang takut mengambil resikopun bisa mempunyai usaha kecil.
  • Keuntungan datang lebih dulu dari pada penghargaan
  • Usaha yang dimiliki mencerminkan kepribadian pemiliknya.

Perempuan Pengusaha Kecil menurut Andriani dkk (1977) adalah suatu kegiatan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan kapasitas serta kapabilitas perempuan untuk mengontrol kehidupan beserta sumberdaya dalam tatanan masyarakat secara luas. Dengan cirri : skala bisnisnya Rap 50.000,- s/d 1 juta, omzetnya kurang dari p 1,5 juta, tenaga kerjanya kurang dari lima orang, manajemennya sederhana, misalnya dengan melakukan pembukuan yang sederhana dan statusnya tidak berbadan hukum”
 
Apakah usaha kecil yang dilakukan laki-laki dan perempuan berbeda?. Berdasarkan pengalaman penulis dalam mendampingi perempuan pengusaha kecil, memang keberadaan laki-laki dan perempuan sebagai pelaku usaha tidak bisa disamakan. Sehingga penulis lebih cenderung untuk menggunakan definisi perempuan pengusaha kecil yang dirumuskan oleh Andriani dkk.
 
Berbicara tentang perempuan pengusaha kecil-mikro kita tidak lepas berbicara soal peminggiran dan marjinalisasi. Presentase perempuan yang bekerja atau terlibat dalam industri kecil? jumlahnya relatif besar bila dibanding dengan lelaki, namun celakanya jumlah besar itu tidak memberi kontribusi signifikan bagi perempuan, dalam hal ini pengembangan perempuan dan usaha kecil-mikro Andriani,2000b).
 
Tengok saja data tahun 1993, hampir sepertiga bagian dari total pekerja industri kecil merupakan pekerja perempuan dan hampir sepertiga bagian dari jumlah tersebut, merupakan pekerja yang tidak dibayar atau pekerja keluarga (30.80%), runyamnya sebagian besar tenaga kerja yang tidak dibayar tersebut adalah perempuan.(Priyono, 1999).
 
Ada sesuatu yang ironis dalam fenomena keterlibatan Perempuan Usaha Kecil-mikro. Di satu sisi keterlibatannya seperti ditunjukkan oleh data-data tersebut diatas di sisi lain, perempuan masih mengalami hambatan ketika terjun kedalam dunia usaha. Hambatan-hambatan itu sendiri terutama tidak lepas dari ‘kelemahan-kelemaan’ dalam diri perempuan sendiri yang berinteraksi dengan’kelemahan-kelemahan’ yang berkait dengan berbagai pihak diluar dirinya. Seolah ‘kelemaha’ di dalam diri perempuanlah yang mendasari tidak berkembangnya perempuan berusaha. Namun jika kita analisis lebih lanjut, kita akan menemukan ‘kelemahan’ eksternallah yang mengakibatkan terjadinya persoalan yang structural. (Adriani, 2000b).
 
Dari pengamatan dan analisis penulis sendiri selama mendampingi Perempuan Usaha Kecil, terlihat bahwa persoalan Perempuan Usaha Kecil sangat terkait erat dengan persoalan relasinya dengan berbagai pihak yang terkait dengan usaha yang dijalankan termasuk relasinya dengan keluarga.
 
Pembagian peran dalam keluarga yang merupakan bentukan budaya memposisikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Sehingga perempuan tetap mempunyai tugas-tugas pekerjaan domestik dalam rumah tangga walaupun perempuan juga mencari nafkah dengan berusaha. Hal ini juga yang menyebabkan Perempuan usaha Kecil mempunyai alokasi waktu kerja yang lebih panjang dan beban yang lebih berat.
 
C. Lokasi Studi
Sebagai studi kasus, diambil di Kecamatan Karang Anom yang menjadi dampingan Persepsi (salah satu NGO di Klaten yang peduli untuk pemberdayaan perempuan usaha kecil-mikro) yaitu Karanganom. Kasus ini diambil dengan pertimbangan pengorganisasian kelompok dan perkembangan usaha yang cukup berhasil yang terjadi di Karanganom dengan jenis usaha yang diambil sebagai kasus dibatasi pada usaha yang dijalankan oleh perempuan-perempuan anggota kelompok.

D. Tehnik Pengumpulan data
Penggalian dan analisis data dilakukan dengan Fokus Group Diskusi yang di laksanakan Di Klaten 31 Mei 2002 dihadiri oleh 15 orang (10 perempuan, 5 laki-laki) dengan buruh genting – 4 orang, tidak punya usaha genting – 2 orang, pengusaha genting – 9 orang, Fokus Grup Diskusi dilakukan dalam 3 sesi. Diskusi diawali pada jam 10.05 sampai 11,45 untuk sesi 1 membahas tentang siapa pelaku yang terkait dengan pengusaha genting, kemudian istirahat.
 
Pembahasannya pada jam 13.00 s/d sampai jam 16.30 untuk sesi 2 dan 3 untuk membahas relasi antar pelaku dan strategi pemecahan masalah yang dihadapi. Moderator menggunakan meta plan, dalam pembahasan setiap sesinya, dengan meminta setiap peserta menuliskan pendapatnya dalam kerta secara singkat. Hal ini untuk menjamin setiap peserta mempunayi kesempatan yang sama dalam mmengungkapkan pendapatnya.G.Kondisi masyarakat
 
Masyarakat Karang anom umumnya merupakan sentra penghasil genting, kondisi sosial ekonomi masyarakat di kecamatan ini sangat tergantung pada fluktuasi usaha genting. Ketergantungan tersebut tidak hanya dialami oleh perempuan yang terlibat langsung dalam usaha genting sebagai pemilik, pengelola, maupun buruh, tetapi juga dialami oleh perempuan yang bergerak dalam usaha perdagangan yang berskala lokal.
 
H.1. Pelaku yang terkait dengan Pengusaha Genting dan masalah-masalah yangdihadapi oleh masing-masing pelaku

Dari diskusi tersebutteridentifikasi bahwa pihak-pihak yang terkait adalah? pengusaha genteng sendiri, Pengusaha Penggilingan, Buruh (sisik, pembakaran, keplek, cetak pres, momot dan jemur), pengusaha (Brambut, minyak dan lempung? atau tanah liat), Bakul dan perantara, bank, koperasi dan kelompok perempuan usaha kecil (KPUK). Persoalan yang dihadapi oleh berbagai pihak terkait sebut :

Persoalan pengusaha genting
–    harga genting turun tidak sesuai dengan harga bahan baku
–    bahan baku lempung, rambut, minyak, penggilingan semuanya naik
–    pemasaran sulit
–    tergantung pada bakul, penentuan harga juga oleh bakul
–    penghasilan sedikit, kadang tombok tenaga dan uang
–    kesulitan modal
–    kesulitan tempat menampung genting
–    kualitas lempung berpengaruh pada kualitas genting

Dalam satu tahun harga lempung naik Rp 5.000, sekarang menjadi Rp 55.000/rit. Yang menjadi kesulitan adalah kenaikan harga bahan baku tidak diikuti oleh kenaikan harga jual genting yang cenderung menurun. Tiap bakul menawarkan dan menetapkan harga yang berbeda-beda untuk kualitas dan jenis genting yang sama. Tahun 2001 harga genting tertinggi Rp 170.000/seribu genting, saat ini Rp 115.000-130.000/ seribu genting. Di desa lain (masih di Kecamatan Karanganom) bahkan ada yang menjual Rp 100.000-105.000/ seribu genting. Sisa pendapatan bersih setelah dipotong biaya produksi rata-rata Rp 100.000/bulan. Menurut pengusaha harga jual baru impas dengan biaya produksi jika genting dijual dengan harga Rp 150.000, dengan catatan belum memperhitungkan tenaga kerja pengusaha dan keluarga yang tidak dibayar.
 
Pada musim ramai harga genting ditentukan pengusaha (pengusaha bisa bertahan dengan harga yang diinginkan). Hal ini dapat terjadi karena pada musim-musim demikian jumlah bakul yang datang lebih banyak dan saling bersaing sehingga pengusaha memiliki kebebasan untuk menentukan harga dan bakul yang dipilih. Sedangkan pada musim sepi kondisi yang terjadi sebaliknya, dimana jumlah bakul sedikit sehingga bakul memiliki kekuatan untuk menentukan harga karena mereka mengetahui bahwa pengusaha membutuhkan uang tunai.
 
Selama ini pengusaha genting bersifat pasif dalam melakukan pemasaran dalam arti hanya menunggu bakul yang datang. Pengusaha tidak mencari sendiri informasi pasar (harga, volume permintaan, jenis genting) ke luar desa dan tidak mencari alternatif pasar selain menunggu bakul yang datang ke desa. Alasan yang dikemukakan pengusaha antara lain karena (1) sulitnya mencari pembeli langsung (konsumen akhir) yang membayar tunai, dan (2) toko tidak mau membayar tunai untuk setiap penyetoran genting (50% uang muka) sedangkan pengusaha membutuhkan uang tunai untuk produksi selanjutnya. Selain itu masing-masing toko biasanya sudah memiliki langganan pemasok sendiri.
 
Persoalan buruh cetak

  • kualitas lempung mempengaruhi lamanya waktu mencetak. Jika kualitas lempung tidak bagus maka (1) genting mudah pecah, (2) waktu yang dibutuhkan untuk mencetak menjadi lebih lama karena lempung sulit dibentuk. Akibatnya jumlah genting yang dihasilkan per hari menjadi berkurang sehingga upah yang diterima buruh berkurang pula.
  • Buruh cetak ikut menanggung resiko kerusakan genting. Setiap 1000 genting yang dicetak buruh harus menyetorkan kelebihan 50 genting sebagai antisipasi jika ada genting yang rusak.
  • Waktu habis untuk membuat genting, tidak ada waktu untuk pekerjaan rumah tangga. Jika ada anak yang bisa diandalkan untuk membantu maka pekerjaan menjadi lebih ringan, tetapi jika tidak ada anak yang membantu maka pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan sendiri.
  • Upah dibayar setelah genting laku, tetapi jika di tengah-tengah waktu tersebut buruh membutuhkan uang maka mereka bisa meminjam pada pengusaha genting yang menjadi majikannya. Pengembalian hutang tidak perlu dilakukan sekaligus, bisa secara bertahap dengan pemotongan upah. Tidak semua majikan memberikan fasilitas makan siang, tetapi semua memberikan minum dan snack.
  • Jika sedang memiliki pinjaman, kerja menjadi lebih ‘bersemangat’ karena memiliki beban hutang.
  • Upah kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Buruh cetak Rp 12.000, sisik Rp 4.000, dan keplek Rp 4.000 dihitung per seribu genting. Selama musim kemarau dalam satu hari bisa menghasilkan 400-500 genting atau Rp 5.000, tetapi di luar musim kemarau 500 genting dihasilkan dalam dua hari artinya upah yang diterima per hari hanya Rp 2.500-3.000.
  • Harga genting naik upah ikut naik, tetapi jika harga genting turun upah tidak diturunkan.
  • Kecelakaan atau sakit tidak ditanggung oleh majikan. Biaya pengobatan dibayar oleh buruh, selama buruh tersebut sakit dan tidak masuk kerja maka upahnya pun tidak dibayar karena pembayaran upah didasarkan pada jumlah genting yang dihasilkan.

 

Persoalan pada proses pembakaran

Sedangkan masalah lain yang muncul adalah pada saat pembakaran, dimana pembakaran yang dilakukan tergantung pada cuaca. Dalam musim kemarau bisa melakukan 2 kali pembakaran dalam 1 bulan, dalam musim hujan 1 kali / bulan atau tidak bisa sama sekali. Rata-rata pembakaran dilakukan per 20 hari. Rata-rata 1 kali pembakaran 8000 genting. Persoalan lain yang dihadapi adalah :

  • matang tidak rata
  • tenaga kurang mamp
  • rambut kadang-kadang basah sehingga memperlama proses pembakaran akibatnya janji dengan bakul tidak tepat waktu. Hal ini menyulitkan juga bagi pengusaha karena bisa mengurangi kepercayaan bakul.
  • tergantung pinjaman bakul

 
Persolan Perantara

  • pasar sepi, pembeli sedikit
  • motivasi lemah, hanya coba-coba
  • pembayaran ditunda-tunda oleh pembel
  • diingkari pembeli
  • tidak bisa memperkirakan kualitas genting di pasaran
  • persaingan antar perantara dan dengan bakul. Biasanya persaingan terjadi dalam hal service pengantaran barang. Rp 200.000 tanpa diantar atau Rp 225.000 diantar sampai ke gudang milik bakul.

Persoalan Penggilingan
–    biaya penggilingan tergantung harga bahan bakar
–    pengusaha penggilingan menaikkan harga sepihak

Persoalan Pedagang? Minyak
–    harga minyak naik terus, dan berbeda-beda di setiap agen. Minyak 2 drum seharga Rp 600.000

Persoalan Kelompok

  • menampung keluhan pengusaha genting yang terus-menerus rugi
  • tidak bisa memenuhi kebutuhan modal anggota
  • belum bisa memecahkan keluhan anggota
  • angsuran rendet (macet) karena penjualan genting rugi dan banyak angsuran lainnya yang harus dibayar
  • mayoritas anggota buruh dan pengusaha genting sehingga ekonomi anggota tetap rendah
  • kelompok mengalami kesulitan menambah modal untuk dipinjamkan karena sumber modal dari luar bunganya lebih tinggi daripada bunga yang dipinjamkan kelompok ke anggota. Contohnya bunga dari Koperasi Setara 2,5% sedangkan bunga ke anggota 2%.

Persoalan Perempuan

Alokasi Waktu :
Aktifitas Perempuan dimulai sejak? bangun tidur pada pukul 04.30 dan berangkat kerja pada jam 06.00 pagi sampai jam 15.00 baru? pulang kerja. Pekerjaan rumah (domestik) menjadi tanggung jawab perempuan tetapi pengerjaannya dikerjakan bersama oleh seluruh anggota keluarga. Bagi keluarga yang memiliki anak yang sudah cukup besar, tanggung jawab pengerjaan tugas-tugas rumah tangga dialihkan pada anak.

Pengusaha perempuan mengelola usaha yang bisa dikerjakan di rumah (produksi) dan bertanggung jawab atas tugas-tugas domestik. Laki-laki mengerjakan produksi baik di dalam maupun di luar rumah (mencari input, sesekali mencari bakul atau pasar), dan di waktu-waktu yang agak luang menjadi buruh bakar pada pengusaha lain.

Persoalan Usaha

Modal:

  • Pengusaha dapat meminjam uang sebagai modal (biasanya untuk proses pembakaran) pada bakul. Pinjaman oleh bakul biasanya diberikan 3-4 hari setelah pengusaha mengajukan pinjaman, dan dibayar setelah genting terjual. Harga yang ditentukan oleh bakul pada pengusaha berbeda kepada pengusaha yang memiliki hutang dengan yang tidak memiliki hutang. Perbedaan berkisar antara Rp 5.000 – 10.000 per seribu genting. Semua pengusaha memiliki hutang baik pada bakul maupun bank.
  • Buruh dibayar setelah genting laku terjual. Sementara itu, jika buruh membutuhkan uang mereka dapat meminjam pada pengusaha yang menjadi majikannya. Untuk itu mereka tidak dikenai ‘jasa’ apapun, upah yang mereka terima dipotong sejumlah hutang. Upah bagi buruh yang memiliki dan tidak memiliki hutang tidak dibedakan. Selain dapat memperoleh pinjaman, setiap hari raya Lebaran pengusaha memberikan bingkisan pada buruhnya berupa uang, kain, atau kaos.

Kecelakaan kerja:

  • buruh yang mengalami kecelakaan kerja di tempat produksi tidak ditanggung biaya pengobatannya. Bahkan, jika buruh tersebut tidak dapat masuk kerja karena sakit akibat kecelakaan di tempat kerja buruh tersebut tidak mendapat upah. Upah sepenuhnya didasarkan pada jumlah genting yang dihasilkan.
  • Buruh di pengilingan mendapat jaminan keselamatan kerja jika mereka mengalami kecelakaan kerja di tempat penggilingan. Jaminan yang diberikan berupa dana pengobatan dari pemilik penggilingan, tetapi upah yang seharusnya diterima tidak dibayarkan karena buruh tersebut tidak bekerja selama sakit.

H. 2. Relasi antar berbagai pihak dan posisi masing-masing pelaku
H.2.1. Resiko dan keuntungan :

  • Perantara merupakan pelaku yang paling tidak memiliki resiko karena tidak melakukan produksi dan menerima pembayaran langsung dari bakul. Untung yang diperoleh perantara sedikit tetapi tidak pernah rugi. Perantara mendapat untung Rp 5.000 – 10.000 per seribu genting.
  • Bakul mengambil genting seharga Rp 150.000 dari pengusaha dan bisa menjual seharga Rp 190.000. Biaya yang ditanggung adalah biaya buruh angkut dan persentase 15% untuk supir truk.
  • Pelaku yang paling banyak mendapat untung adalah pemasok lempung dan rambut. Resiko yang ditanggung pemasok lempung tergantung pada ketersediaan lempung pada tanah yang ditebas dari petani. Pemasok akan rugi jika ternyata volume lempung pada tanah yang ditebas tidak cukup menutupi biaya tebasan, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Pemasok lempung jika mendapat untung sekaligus dalam jumlah besar, dan jika rugi juga sekaligus dalam jumlah besar. pemasok lempung tidak menjamin kualitas lempung yang dijual, resiko buruknya kualitas lempung ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Hanya saja jika pemasok tersebut sering menjual lempung berkualitas rendah maka pengusaha tidak lagi membeli dari pemasok tersebut. Pemasok rambut tidak menanggung resiko rendahnya kualitas rambut (misalnya masih basah), keuntungan yang diperoleh dalam jumlah besar dan sifatnya harian (dalam satu hari bisa memasok 2 kali).
  • Pengusaha paling banyak menanggung resiko mulai dari rendahnya kualitas lempung dan rambut, genting rusak setelah dibakar (jika kerusakan terjadi sebelum dibakar maka proses pencetakan masih diulang tetapi jika kerusakan terjadi setelah genting dibakar, misalnya pecah maka genting tidak dapat dijual dan digunakan). Resiko lainnya adalah ditipu pembeli.? Tetapi, resiko kerusakan genting ternyata tidak seluruhnya ditanggung oleh pengusaha tetapi dialihkan ke buruh dimana buruh memberikan tambahan 50 genting setiap 1000 genting yang dicetak. Pengusaha genting tidak perlu menyediakan seluruh modal sekaligus karena lempung, rambut dan minyak dapat dibayar setelah genting terjual dan modal untuk pembakaran dapat meminjam pada bakul.
  • Modal terbesar dimiliki dan harus disediakan oleh pemasok lempung, pemasok rambut, dan pemilik penggilingan. Umumnya mereka juga memiliki kendaraan pengangkut (truk, angkle, colt). Sedangkan bakul walaupun membutuhkan alat pengangkutan tetapi tidak semuanya memiliki truk sendiri, banyak juga yang menyewa.

Posisi pelaku-pelaku dalam usaha genting berdasarkan tingkat akumulasi modal, menurut pandangan peserta diskusi :
•    Pemasok rambut
•    Penggilingan
•    Bakulgenting
•    Perantara
•    Pemasok Lempung
•    Pengusaha Genting
•    Buruh bakar
•    Buruh cetak
•    Buruh sisik

Dari skema dan analisis diatas terlihat bahwa Pengusaha genting pada posisi yang tidak banyak diuntungkan kalau tidak boleh dikatakan merugi di banding dengan pihak-pihak terkait dan menanggung resiko yang paling besar.

H.2.3. Strategi pemecahan Masalah yang dihadapi Perempuan Usaha Kecil

Berdasarkan penelitian lapangan mengenai kondisi usaha genting yang cenderung turun terus-menerus, timbul pertanyaan tentang bagaimana strategi survival yang mereka lakukan baik bagi pengusaha maupun buruh. Dalam kesempatan FGD ini diperoleh beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut yaitu :

  • Umumnya baik pengusaha maupun buruh tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan seperti pengusaha atau buruh saja tetapi mengkombinasikan kedua jenis pekerjaan tersebut di beberapa tempat produksi yang berbeda. Pengusaha genting laki-laki biasanya juga menjadi buruh bakar sementara istrinya mengurus produksi yang dilakukan di rumah.? Sedangkan di tingkat buruh, buruh perempuan hanya melakukan satu jenis pekerjaan di satu tempat produksi sedangkan buruh laki-laki seringkali bekerja di beberapa tempat menjadi buruh bakar, supir, buruh lempung, atau bahkan buruh tani.
  • Genting bukan menjadi satu-satunya sumber pendapatan. Keluarga yang memiliki anak yang sudah bekerja menggantungkan sebagian pemenuhan kebutuhan rumah tangga pada anaknya.
  • Meminjam pada kelompok dan bank (hanya pengusaha).

H. 3. Alternatif Pemecahan Masalah

Beberapa alternatif pemecahan masalah yang diusulkan untuk mengatasi persoalan genting berdasarkan usulan peserta FGD:

  • Membentuk koperasi sehingga tidak terjadi persaingan yang menjatuhkan (banting harga) di antara sesama pengusaha. Kesulitannya tidak semua pengusaha genting mau menjadi anggota koperasi sehingga tidak ada jaminan pengusaha di luar anggota koperasi tidak akan melakukan banting harga. Selain itu banting harga juga dilakukan oleh saingan pengusaha genting yang berada di desa-desa lain di Kecamatan Karanganom.
  • Kelompok akan memasarkan sendiri. Salah satu peserta yang hadir dalam FGD yaitu Pak Bambang bersedia untuk mencari pasar di luar Klaten. Saat ini ia cukup menguasai wilayah Wonosobo, Salatiga dan Temanggung. Menurutnya jika kelompok ingin mencoba masuk ke pasar lebih baik mencari alternatif ke wilayah selatan Klaten menuju Yogyakarta karena wilayah utara sudah dikuasai oleh bakul-bakul lain. Diperkirakan jumlah bakul di wilayah selatan Klaten belum cukup banyak sehingga pemain baru masih memiliki peluang untuk masuk.
  • Ketersediaan lempung diperkirakan masih akan mencukupi untuk 10 tahun ke depan. Persediaan lempung di kecamatan-kecamatan lain di Klaten masih cukup banyak namun kualitasnya belum diketahui.
  • Salah satu peserta mengusulkan agar pemecahan persoalan genting dilakukan secara bertahap. Jika untuk saat ini kondisi belum memungkinkan untuk menembus pasar yang lebih luas karena pasar memang sedang sepi maka utnuk tahap pertama bagaimana jika kelompok membeli mesin giling yang kemudian dikelola suami anggota kelompok. Pertimbangannya, bisa mulai dengan mengurangi biaya produksi sehingga diharapkan dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
  • Genting yang diproduksi di Karanganom selama ini memenuhi segmen pasar untuk kelas menengah ke bawah. Dalam jangka panjang, kelompok dapat mengambil peran sebagai perantara yang menampung genting milik anggota lalu dijual ke luar Klaten tanpa melalui bakul dan perantara yang selama ini ada. Sebagai langkah awal, salah satu suami anggota kelompok akan mencari alternatif-alternatif pasar tersebut. Hanya saja bapak tersebut meminta jaminan dari anggota kelompok mengenai ‘upah mencari pasar’ sebagai kompensasi ganti rugi berkurangnya waktu yang seharusnya dia gunakan untuk memproduksi genting. Di sini terjadi perdebatan yang cukup seru antara bapak tersebut dengan ibu-ibu anggota kelompok yang tidak menyetujui jika bapak tersebut diberi upah harian sebagai kompensasi karena hasilnya belum kelihatan, sedangkan bapak tersebut memperhitungkan waktu yang dia habiskan walaupun memang belum tentu ia mendapatkan pasar tersebut. Untuk sementara diusulkan dua alternatif yaitu memberikan upah harian atau bapak tersebut diperbolehkan mengambil keuntungan dari selisih harga jual dari kelompok dan harga jual ke pasar. ? aturan main ini masih akan dibicarakan lebih lanjut dalam kelompok, namun perlu memberikan ‘peringatan’ kemungkinan bahwa bapak tersebut malah akan semakin merugikan anggota kelompok jika tidak ada keterbukaan mengenai harga jual ke pasar. Kondisi ini tidak ada bedanya dibandingkan hubungan yang selama ini terbangun dengan bakul dimana pengusaha tidak mengetahui berapa harga jual sebenarnya di pasaran. Perlu diingat juga bahwa alternatif ini bukan memotong rantai pemasaran tetapi hanya mengganti pelaku saja dari bakul menjadi anggota kelompok.

Selain masalah ‘upah atau persentase keuntungan’ bagi anggota kelompok yang menjadi perantara, terdapat persoalan lain yang juga penting untuk dipecahkan yaitu masalah transportasi. Saat ini anggota kelompok belum ada yang memiliki kendaraan untuk mengangkut genting sehingga masih harus menyewa. Artinya, harga genting yang ditetapkan kelompok harus memperhitungkan biaya transportasi. Selama ini biaya transportasi ditanggung oleh bakul.

Anggota kelompok harus menyepakati di antara mereka tidak akan saling banting harga tetapi harus mempertahankan harga yang sudah disepakati. Jika anggota membutuhkan uang tunai untuk keperluan baik rumah tangga maupun produksi kelompok atau koperasi akan berusaha menyediakan. Kemudian diskusi beralih pada kemampuan kelompok untuk menyediakan dana bagi anggotanya. Kelompok seperti sudah diuraikan sebelumnya tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan seluruh atau sebagian anggota karena saat inipun hampir seluruh dana kelompok dipinjam oleh anggota. Alternatif sumber dana lain seperti Koperasi Setara tidak mungkin diakses karena bunga yang ditetapkan oleh koperasi Setara (2,5%) lebih tinggi daripada bunga pinjaman ke anggota (2%). Kelompok ingin memperoleh akses ke BRI dengan bunga yang lebih rendah seperti kasus Ibu T, tetapi untuk itu perlu didampingi oleh Koperasi Setara. Berkaitan dengan hal ini Koperasi Setara mengajukan keberatan karena jika kelompok meminjam ke koperasi artinya akan mematikan koperasi padahal keberlanjutan koperasi sangat tergantung pada aktivitas pinjaman dari anggota.
 
Diusulkan agar kelompok meminjam sebagian dana dari koperasi dan sebagian dari BRI dengan jumlah bunga yang lebih rendah dari bunga ke kelompok sehingga kelompok tidak akan rugi. Selain itu bisa saja kelompok menaikkan bunga pinjaman pada anggota. Usulan untuk pengkombinasikan pinjaman dari Koperasi Setara dan BRI baru diterima sebagai masukan tetapi belum disepakati lebih lanjut.
 
Sedangkan Strategi Pemecahan masalah yang dipilih:

  1. Prioritas pertama mencari pasar, sementara usulan mengenai pembelian mesin giling ditunda dulu karena ternyata resiko pemeliharaan mesin giling belum diperhitungkan secara matang.
  2. Membuat kesepakatan dengan anggota kelompok mengenai fee yang harus dibayar pada orang yang ditugaskan mencari pasar.
  3. Perhitungan biaya transportasi.
  4. Aturan siapa yang menanggung resiko kerusakan genting.

Kegiatan yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut:

  1. Mencari informasi pasar
  2. Kelompok harus mengetahui posisi produksi setiap anggota. Kelompok harus mencatat jumlah genting yang dimiliki setiap anggota (data periodik) sebagai bahan perkiraan jumlah genting yang bisa dipasok ke pasar. Data ini sangat berguna bagi orang yang ditunjuk untuk mencari pasar sebagai jaminan bagi toko atau pembeli mengenai kepastian pasokan.
  3. Membuat kesepakatan mengenai aturan main di kelompok mengenai hal-hal yang sudah diuraikan diatas.
  4. Selama kelompok belum berhasil menembus pasar secara langsung, anggota tetap harus mempertahankan hubungan pemasaran dengan bakul dan perantara yang ada. Hanya saja, sedapat mungkin anggota tidak melakukan banting harga.
  5. Kelompok harus mencari dana untuk meringankan beban keuangan anggota baik untuk keperluan rumah tangga maupun produksi sehingga anggota tidak terpaksa melakukan banting harga untuk mendapatkan uang tunai. Namun, pencarian sumber dana lain ini akan dilakukan jika kelompok sudah benar-benar tidak sanggup mengatasi persoalan keuangan anggota. UPM (Unit Pengembangan Mikrobisnis) Persepsi berencana mendirikan BPR yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh kelompok untuk mendapatkan alternatif sumber dana. 

Lampiran

Tabel Pelaku usaha berdasarkan Jenis Kelamin dan Sistem Pembayaran

Pelaku

Jenis kelamin

Sistem pembayaran

Sistem produksi

 

 

– pengusaha genting

Laki-laki

Langsung, harga per seribu genting

-penggilingan

Laki-laki

Ditunda setelah genting laku, Rp 17.000/rit

Buruh

 

 

-buruh bakar

Laki-laki

Langsung, Rp 15.000/hari

-buruh sisik

Perempuan

Ditunda setelah genting laku, Rp 4.000 per seribu genting

-buruh ngeplek

Perempuan

Ditunda setelah genting laku, Rp 4.000 per seribu genting

– buruh cetak/pres

Perempuan

Ditunda setelah genting laku, Rp 4.000 per seribu genting

-buruh momot (menaikkan genting ke cerobong pembakaran)

Laki-laki

Langsung, Rp 15.000/hari

– buruh jemur

Laki-laki, perempuan

Dikerjakan pemilik genting, tidak dibayar

Bahan baku

 

 

– pengusaha lempung

Laki-laki, satu perempuan

Dibayar setelah genting laku, Rp 55.000/rit

– pengusaha rambut

Laki-laki, satu perempuan

Dibayar setelah genting laku, Rp 200.000/5 rit

– pedagang minyak kacang

Laki-laki

Dibayar setelah genting laku

Pemasaran

 

 

-perantara

Laki-laki

Langsung, Rp 5.000-10.000 per seribu genting

– bakul

Laki-laki

 

Modal

 

 

– bank

 

 

– koperasi

 

 

– kelompok

Perempuan

 

– bakul

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Jim Schell (1996) Small Business Answer Book.? Dalam Adriani dkk.? Konsep    Dasar Pelatihan Manajemen Mikro-bisnis, PERSEPSI dan Jigrah
  2. Andriani dkk, (2000a). Memotong Jerat Tradisi, Limpad dan Swissconcats, h. 5
  3. —— (2000b). Menegakkan Jerat Tradisi, Limpad dan Swissconcats, h. 5
  4. Edy Priyono, dkk. Identifikadi dan Analisis Faktor-faktor Yang menghambat dan Mendorong Dinamika Perempuan Pada usaha Mikro, kecil dan menengah Dengan Perspektif Gender, CESS & Swisscontact-SMEP, 1999 hal.1

Laporan ini sebagai bagian dari “ Studi Strategi Advokasi Yang Berbasis Pada Persoalan Struktural Perempuan Usaha Kecil” di Jawa Tengah yang sedang dilakukan oleh? ASPPUK kerjasama dengan AKATIGA
Pengertian ini didasarkan pada UU no. 9/1995 tentang usaha kecil.