Tirani Globalisasi

(Penulusuran Upaya Sistematis Neo-liberalisme, dan Dampaknya bagi Usaha kecil)

Pendahuluan

Kritik terhadap ekspansi neo-liberalisme beserta “turunan”nya sudah banyak dilakukan. Kritik tersebut selain dilakukan oleh berbagai kalangan, juga diikuti dengan aksi-aksi kongkrit pada tingkat lapangan. Bila ditengok ke dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, hal tersebut terjadi dalam kurun yang cukup lama dan sepertinya menjadi perdebatan yang tak ada ujung. [1] Artinya, protes terhadap “keserakahan” kapitalisme dan neo-liberalisme terjadi sejak dahulu kala hingga kini. Yang paling monumenal, diantara kritik terhadap sepak terjang agenda neoliberalisme, adalah apa yang dilakukan oleh Joseph Stiglitz, mantan wakil presiden Bank Dunia dan peraih hadiah nobel dalam ilmu ekonomi, terhadap kebijakan IMF (salah satu lembaga keuangan internasional yang menjadi “corong” neo-liberalisme). [2] 


[1] Salah satu perdebatan itu adalah kritik John Friedman, terhadap globalisasi kapital yang secara terang-terangan telah meingkatkan pertumbuhan ekonomi dunia, namun di sisi lain hal tersebut diikuti dengan tiga proses penghilangan daya rakyat secara sistematis (systematic process of disempowerment), seperti penghilangan daya politik, sosial, dan psikologis [lihat Friedman, John, “Empowerment : The Politics of Alternative Development”, Cambridge Oxford, Blackwell Publisher, 1992. Kutipan ini penulis ambil dari catatan kaki di artikel MM. Billah, “ Perkembangan Ornop di Indonesia”, Jakarta, agustus 2000. Yaitu satu artikel yang belum diterbitkan. Kalimat “Perdebatan tak ada Ujung” terinspirasi dari novel Mukhtar Lubis yang berjudul “Jalan tak ada Ujung”.

[2] Joseph Stiglitz, “What I Learned at The world economic crisis: The Insider”, yang diterjemahkan secara bebas oleh Dr. Safroedin Bahar, salah seorang anggota komnas HAM. Menurut Stiglizt secara teori memang lembaga-lembaga seperti IMF (dan juga Bank Dunia) mendukung demokratisasi di negara-negara yang menjadi “pasien” yang diobati. Namun pada tingkat lapangan, ternyata IMF malah merusak proses demokrasi dengan jalan memaksa semua kebiajakan-kebijakannya. Sebagai contoh, IMF secara resmi memang tidak akan “menekan” apapun. Namun yang terjadi biasanya “merundingkan” dengan negara penerima bantuan syarat-syarat penerimaan bantuan. Dalam hal ini semua kekeutan (perundingan) hanya berada di satu pihak, yaitu IMF, sedang lembaga penerima bantuan tidak diberikan waktu yang cukup untuk mengadakan konsultasi yang luas dengan pihak legeslatif (DPR) dan komponen masyarakat sipil lain.

Artikel ini adalah tulisan Asli sebelum dimuat di Jurnal Analisis Sosial, Vol.8, No.1 Februari 2003.

Kemudian pada tingkat lapangan, seperti yang terjadi baru-baru ini di Porto Alegre, ibu kota provinsi Rio Raya bagian selatan Brazil, dengan diadakannya World Social Forum (WCF). Di dalam forum tersebut sejumlah organisasi rakyat, organisasi non pemerintah melakukan penentangan terhadap perkembangan dunia yang mengarah pada eksploitasi negara maju (yaitu dalam hal ini negara-negara Eropa Barat yang kaya) terhadap kaum lemah (yang ini banyak berhuni di negara dunia ketiga). Lebih jauh, dalam pertemuan itu diperkirakan sekitar 100.000 orang berkumpul, untuk menentang konferensi lain yang diadakan negara-negara pengusung “globalsiasi”, yang terkenal dengan World Economic Forum (WEF) yang tahun ini diadakan di Davos, Swiss, dan waktunya hampir bersamaan dengannya. (kompas 24/1/2003).

Menyingkap Globalisasi

Membuka tabir gerakan globalisasi, sama artinya dengan menerawang jauh ke akar persoalan yang menimpa manusia di dunia ini. Dalam konteks itu, segala keterbelakangan satu kaum manusia di negara dan dalam konteks tertentu, tidak bisa dilihat dengan pandangan apa adanya (kasat mata). Artinya, melihat suatu keterbelakangan manusia dalam satu negara, bukan saja dilihat secara kultural namun lebih jauh dari itu, harus dicari sebab yang bersifat struktural.. Sebab struktural dalam hal ini bisa berjenjang menurut kondisi geografi dan letak wilayah. Analisa beberapa pakar menunjukan bahwa sebab-sebab struktural yang menyebabkan penyengsaraan umat manusia berujung pada problem struktural yang bersifat global. Dan bagi kaum sosialis dan neo-Marxis, problem struktural global tersebut adalah gerakan kapitalisme global.

Buku yang berjudul “Imprealisme abad 21”, karya James Petras dan Henry Veltmeyer, adalah satu upaya untuk menyibak “selubung” dari penyengsaraan umat manusia yang dilakukan oleh gerakan globalisasi. Yaitu satu gerakan yang mempunyai ikatan benang merah dengan paham kapitalisme. Secara umum, buku ini bercerita bahwa segala ketidakadilan dan keterpurukan umat manusia harus dilihat secara mendalam, dan dicari akar persoalan dari yang paling dasar. Akar dari semua persolan itu – menurut buku ini — bertitik tolak dari suatu paham kebijakan dunia yang bernama neoliberalisme, yang mempunyai turunan “kreatif”, yaitu globalisasi.

Lebih jauh bila ditilik dari istilah globalisasi itu sendiri, biasanya digunakan dalam banyak pengertian. Diantara pengertian tersebut, seperti “interdependensi global bangsa-bangsa”, “tumbuhnya sebuah sistem dunia”, “akumlulasi dalam skala dunia”, “kampung global”. Dari beberapa istilah tersebut dapat dipahami bahwa pengertiannya berujung pada akumulasi modal, perdagangan bebas, serta investasi yang tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat negara (hal.37). Secara lebih luas, istilah tersebut juga menyiratkan akan kompleksitas suatu perubahan besar yang dihasilkan oleh proses kapitalisme global dan “difusi” nilai-nilai dan praktek kultural yang berhubungan dengan perkembangan kapitalisme. Dalam konteks ini artinya, perubahan yang terjadi selalu dikaitkan dengan pengaturan produksi dan masyarakat secara kapitalis, dengan batas akumulasi modal dan perluasannya pada tingkat nasional (negara). Lebih jauh, yang ingin dituju dari ide globalisasi adalah perluasan dan penguatan perdagangan, modal, teknologi, dan informasi internasional dalam bingkai pasar global yang tunggal dan menyatu (hal.7).

Dengan pengertian seperti diatas, maka arus globalisasi akan menimbulkan akses buruk bagi golongan umat manusia yang sudah lemah. Sebab dalam kerangka perdagangan yang bersifat kapitalistik, yang dikembangkan adalah nilai pertumbuhan dan mengejar nilai surplus sebanyak-banyaknya. Artinya, manusia kuat (dalam segala bidang) di”halalkan” untuk mengeksploitasi manusia lain yang lemah dengan cara apapun demi terjadinya penumpukan modal pada tangan kapitalis. Diharapkan nanti setelah modal terkumpul di tangan beberapa aktor (kapitalis), — dengan mengharap kemurahan dari sang aktor tadi — itu akan “menetes” ke tangan orang yang dieksploitasi.

Yang parah kemudian di dalam perkembangan sejarah umat manusia, adalah pemahaman orang – dan ini kebanyakan — yang menganggap bahwa keterbelakangan manusia adalah suatu keniscayaan sejarah. Artinya ketidakadilan itu harus diterima sebagai “ketidakbisaan” manusia itu sendiri, dan arus globalisasi yang ada adalah konsekwensi logis dari perkembangan dunia yang memang harus terjadi. Dalam hal tersebut, pemahaman terhadap globalisasi terbagi menjadi dua pandangan. Dimana dari padangan yang saling kontradiktif ini nantinya menjadi titik tolak manusia dalam memandang globalisasi dalam kaitan dengan keterpurukan umat manusia. Bahkan dari pemilihan salah satu perspektif terhadap globalisasi tersebut, cara pandang beberapa ilmuwan menelusuri semua dampak neoliberalisme terhadap kehidupan manusia.

Pandangan pertama adalah yang menyatakan bahwa globalisasi sebagai suatu keniscayaan sejarah manusia yang harus mengalami. Di dalam hal ini, manusia harus patuh pada arus besar globalsiasi dan terus mengadakan penyesuain-penyesuain terhadap semua perangkat yang selama ini digunakan dengan arus besar tersebut. Di dalam perspektif ini, selain mengupayakan terjadinya penyesuaian seluruh perangkat kehidupan dengannya, juga dituntut untuk bisa memanfaatkan sebesar mungkin dari kekuatan-kekuatan yang mendorong terjadinya proses globalsiasi bagi kebutuhan-kebutuhan pembanguanan untuk kepentingan kemanusiaan.

Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa arus deras globalisasi adalah bagian dari sebuah “proyek” besar dari kelas tertentu. Dalam hal ini, globalisasi tidak dipandang sebagai keharusan sejarah yang menuntut manusia untuk menyerah dan terus membuntuti dengan segala macam penyesuaian terhadapnya. Namun lebih jauh dari itu, ia secara kritis melihat perubahan yang ada di globalisasi dengan pandangan yang berbeda. Bahkan secara vulgar, pandangan kedua ini ingin mengungkapkan bahwa proyek globalisasi adalah bagian besar dari alat idiologis untuk menyengsarakan manusia. Dalam hal inilah makanya istilah yang tepat untuk globalisasi harusnya diganti dengan term yang lebih jelas dan umum dimana manusia pernah mengalaminya, yaitu imperalisme. (hal. 9). Dengan kata lain, pandangan kedua ini ingin “mengkuliti” neoliberalisme lewat globalisasi dengan segala dampaknya terhadap manusia dari kaca mata yang lebih kritis, yaitu analisa “klas”.

Potret “Bisa” Neoliberalisme di Beberapa Lini Kehidupan

Dari cara pandang yang kedua di atas, awal pemetaan virus neoliberalisme (dan globalisasi) ini, dimana ia merambah dan “menghegemoni” ke segala lini kehidupan manusia tanpa disadari oleh siapa pun.. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba menelusuri sepak terjang neoliberalisme pada beberapa contoh kasus sebagai akibat dari paham tersebut, seperti terjadinya privatisasi, penyelinapannya pada demokrasi, dan mencoba menelisik jauh ke aktor yang selama ini memperjuangkan nasib kaum yang terpinggirkan, yaitu Organsiasi Non Pemerintah (Ornop).

Pertama, kebijakan privatisasi atau “penswastaan”. Kebijakan ini terhadap perusahaan-perusahaan milik negara dalam sauatu negara adalah salah satu benang merah dari arus globalisasi. Artinya, negara yang dalam awal mula pendiriannya sebagai aktor “netral” di dalam masyarakat dan bertugas menyejahterakan masyarakat banyak, dikurangi perannya – atau sama sekali tidak boleh – dalam mengurusi perusahaan. Walaupun perusahaan tersebut bergerak didalam areal yang memenuhi kehidupan sebagian besar hajat hidup rakyatnya, seperti perusahaan penggunaan air bersih, jalan raya, jaringan telekomunikasi dll.

Dalam memahami privatisasi yang sedang terjadi di belantika dunia saat ini, harus dimengerti bahwa hal tersebut adalah bagian dari strategi global dalam “menyerang” keberlangsungan demokratis dan masyarakat sipil di suatu negara. Artinya, dalam hal itu, proses privatisasi dideminasikan atas printah bank-bank “internasional” yang dibawah kendali kekuatan modal neolimperialisme. Kekuatan tersebut di banyak negara bisa merancang program, dan menentukan harga, serta mengidentifikasi pembeli yang potensial di suatu negara. Sedangkan dalam kacamata politik, ia sebenarnya adalah aksi politik yang memiliki “nilai intrinsik” sebagai strategi besar ekonomi nasional, dimana itu tidak membantu apapun dalam penciptaan lapangan keraj baru bagi masyarakat, jumlah simpanan dan investasi yang menjanjikan, serta peningkatan produksi-produksi baru (h. 169).

Dengan kata lain, strategi privatisasi ini adalah awal sebuah hegemoni baru terhadap suatu negara dalam pengelolaan ekonominya, agar tunduk terhadap kemauan modal kapitalisme global. Artinya, dalam hal ini, privatisasi bukan hanya pengambilalihan perusahaan-perusahaan negara oleh swasta, namun secara tidak sengaja, ia telah “membunuh” struktur produksi alternatif yang potensial – dimana dalam hal ini, tugas negara untuk melindunginya –, dan hal tersebut banyak terdapat di negara. Bahkan lebih dari ituhal tersebut biasanya telah tumbuh bertahun-tahun dan menyumbang investasi terhadap negara dengan mengikutkan jumlah besar dari tenaga kerja

Secara kongkrit, agen-agen privatisasi bekerja melalui dukungan keuangan yang maha dahsyat, penyebaran idiologi, serta – bila perlu – dengan kudeta politik dengan menggandeng militer (sebagai contoh di Amerika Latin). Dan biasanya, proses privatisasi dalam sauatu negara dilakukan melalui jalur yang konstitusional, seperti mengikuti prosedur eksekutif maupun atas izin lembaga parlemen. Dalam hal itu, privatisasi biasanya selalu menyampingkan kelompok-kelompok masyarakat sipil, seperti organisasi-oragnisasi masyarakat, gerakan-gerakan sosial, dan kelompok sipil lainnya. Yang menarik dalam hal ini, James Petras mengatakan bahwa, pada sisi lain, lembaga-lembaga keuangan internasional yang menjadi ‘raja” privatisasi tersebut membentuk organisasi-organisasi non pemerintah (Ornop). Pembentukan lembaga tersebut – salah satu fungsinya — adalah untuk menampung para pekerja yang diputus hububungan kerja (PHK), sebagai akibat dari proses privatisasi itu. Di mana dalam proses itu sudah dipastikan akan terjadi PHK secara masal, dan untuk mengantisipasi biaya sosial yang mahal dari proses PHK tersebut, para lembaga keuangan internasional membentuk Ornop. Selain menampung sebagain korban PHK, tugas Ornop dalam hal ini juga untuk mengimbangi, bahkan – kalau bisa – untuk melemahkan gerakan-gerakan masyarakat sipil dan sosial yang menentang gerakan neoliberalisme melalui privatisasi.

Hal di atas seperti yang terjadi di Indonesia baru-baru ini dengan kasus privatisasi perusahaan milik negara, PT Indosat, dan perusahaan lain. Dalam hal itu, lembaga keuangan internasional melakukan aksinya dengan menggunakan “kekuasaan”nya melalui para aksekutif negara pada satu sisi, dan pada sisi lain dengan menggunakan kekuatan parlemen. Di dalam kasus PT Indosat misalnya, aparat pemerintah melalui mentri BUMN, Laksamana Sukardi, berhasil melakukan privatisasi dengan menjual sebagaian besar sahamnya, dengan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Walaupun pada akhirnya, para karyawan PT Indosat menolak untuk terjadinya privatisasi di perusahaan telekomunikasi tersebut

Kedua, penyelusupan neoliberalisme di areal demokrasi. Dalam pembicaraan tentang hal itu, di sana ada perdebatan yang panjang tentang apakah antara demokrasi dan kapitalisme saling berkait, atau bertentangan satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, pendapat yang menentangkan antara kapitalisme dengan demokrasi berujar bahwa demokrasi dalam wujud dan perkembangannya selalu bertentangan dengan kapitalisme. Selain itu, kelompok ini menjelaskan bahwa tidak mungkin demokrasi yang menghasilkan gerakan-gerakan rakyat dan perjuangan kelas, selalu mengkritik para penguasa otoritarianisme, didalamnya secara inheren ada kekeuasaan kapitalisme. atau punya nafas “muatan demokratis”.

Sedangkan para ilmuwan yang mensingkronkan antara kapitalisme dengan demokrasi berujar bahwa dalam konteks itu, peredaran pasar yang bebas dengan disertai pemilu yang bebas, merupakan suatu proses yang saling memperkuat satu dengan lainnya. Dengan kata lain, antara demokrasi dan kapitalisme, menurut ilmuwan ini (seperti Schumpeter, 1941; Friedman, 1980), menciptakan prakondisi-prakondisi yang saling menguatkan. Sebagai contoh kongkritnya, liberalisasi ekonomi yang membebaskan dan memberi ruang pada perkembangan ekonomi turut menciptakan kondisi bagi lahirnya demokrasi. Bisa juga sebaliknya, yaitu adanya liberalisasi pada tataran politik dan demokrasi menyediakan ruang yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang bebas. Tafsiran panjangnya dari persepektif ini adalah bahwa kebebasan pasar akan menyediakan beragam pilihan, dan ini akan menumbuhkembangkan individualisme, serta pada saat bersamaan akan mengembangkan pluralisme sosial. Hal-hal yang disebut itu adalah “bumbu” yang selalu ada dala pembicaraan tentang domokratisasi di suatu negara. Dalam konteks ini, sistem politik yang demokratis dianggap sebagai jalan untuk meyelematkan arus deras kondisi kapitalisme yang diharapkan,. Hal itu terjadi karena sistem demokrasi dipandang sebagai model yang efektif dan efisien bagi pembangunan dan perekembangan kapitalisme.(hal.193).

Sementara itu, di sana juga ada kalangan (ilmuwan) – dalam konteks hubungan antara kapitalisme dengan demokrasi – yang keluar dari dua penafsiran di atas. Para ilmuwan ini (seperti Bobbio, 1990; Offe, 1983; Przeworski, 1986) berpendapat bahwa yang mendebatkan antara kapitalisme dan demokrasi melupakan akan makna “politik” dari demokrasi itu sendiri. Menurutnya, demokrasi itu sebenarnya independen dari persoalan gerakan-gerakan rakyat dan gegap gempita pasar kapitalisme.

Dalam hal ini, James Petras tidak terjebak dalam perdebatan seputar hal tersebut. Yang dilakukannya kemudian, ia melihat realitas yang tejadi di beberapa negara tentang sepak terjang kapitalisme yang bisa dengan cepat merubah dirinya sesuai kondisi. Bahkan lebih tegas ia mengungkapkan bahwa kapitalisme menggunakan atas nama demokrasi untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang bersifat kapitalistik. Dalam hal ini, demokarasi ditafsirkan oleh kapitaslime sebagai alat yang bisa digunakan menurut “selera” sang penggunanya.

Maka karena demokrasi ditafsirkan dengan kacamata kapitalisme, yang terjadi kemudian adalah pandangan instrumental tentang demokrasi, seperti kebenaran-keberanaran atau kesalahan yang ada padanya, dipahami dalam kerangka kepentingan kepemilikan (kapitalisme). Artinya dalam hal ini, demokrasi pada satu waktu bisa diangap baik dan benar pada dirinya sendiri, ketika suatu negara demokrasi diperintah oleh golongan atau yang menguntungkan kaum kapitalis. Namun, ketika kemudian negara demokrasi tersebut “mengganggu” kepemilikan dan merubah struktur sosial yang sudah menguntungkan kapitalisme, maka dengan secepat itu pula para kapitalis mengganti sistem negara demokrasi tersebut dengan pemerintahan otoriter yang lebih menguntungkan hubungan kepemilikan, dan kekayaan para kapitalis.

Dengan perkataan lain, kapitalisme tidak begitu mementingkan aspek kesejarahan dari keberadaan dirinya dengan demokrasi. Yang lebih utama baginya adalah bagaimana dan kapan demokrasi bisa menguntungkan dirinya, maka itu akan menjadi sahabat dekat, dan diperlakukan sebaliknya bila tidak menguntungkan dirinya. Contoh-contoh dari ganasnya kapitalisme dengan mempermainkan demokrasi dalam suatu negara, bisa dilihat dari apa yang terjadi di negara Finlandia (1918), Guyana (1953, 1961-1964), Cile (1970-1973), Guatemala (1950-1954), Haiti (1991 dan 1994), Nikaragua (1984 dan 1989), Iran (1954), Jerman (1933), Italia (1920-an), Spanyol (1936) dan Amerika Serikta (1877) (hal. 203). Bila ditarik ke kasus Indonesia, mungkinkah negara berpenduduk 200 juta lebih ini, sebenarnya bernasib sama ?

Secara tidak eksplisit buku ingin mengatakan bahwa kasus yang dialami Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang disebutkan diatas. Bila ditengok secara teliti pada zaman Orde Baru, semua orang sepakat bahwa saat itu tidak ada yang dinamakan demorkasi. Yang ada saat itu adalah “sedow demokrasi” (demokrasi semu), dimana semua partai politik “dimandulkan” untuk kepentingan penguasa tunggal, Soeharto. Artinya, yang terjadi kemudian bahwa kondisi negara Indonesia berada dalam kaki tangan seorang pemimpin negara yang otoriter. Namun di sisi lain, perkembangan pasar ekonomi, dan investasi dari kepentingan kapitalisme global, dengan seenaknya bisa beroperasi di negara yang berjumlah 200 juta lebih penduduk ini. Bukan hanya itu, bahkan kepentingan-kepentingan dari para lembaga-lembaga donor internasional menjadi prioritas utama, seperti pembangunan penambangan Free Port di Papua, dan proyek-proyek pemabangunan lain. Namun apa yang terjadi ketika pemerintah Orde Baru di ambang kehancuran, yaitu 1998 (dan di awal 1997 saat krisis), para lembaga internasional malah mendukung adanya gerakan-gerakan masyarakat untuk terjadinya demokratisasi di Indonesia. Apalagi, ketika akan menjelang pemilihan umum untuk memilih DPR dan Presiden yang menggantikan pemimpin Orde Baru, para lembaga internasional tersebut beramai-ramai memberikan donasi bermilyar-milyar ke Indonesia. Dengan begitu, apakah Indonesia tidak berbeda dengan negara-negara di atas ?

Ketiga, virus kapitalisme di gerakan organisasi non pemerintah (Ornop). Dalam konteks gerakan sosial yang dilakukan Ornop, disana banyak kalangan yang bernada optimis. Salah satu diantaranya James Gomes, seorang Peneliti dan Manager Proyek pada lembaga Fredrich Nauman Foundation, perwakilan Singapura, tentang peranan Ornop di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan nada optimis ia mengatakan bahwa perubahan politik yang terjadi di Asia – termasuk Indonesia – dalam tahun-tahun belakangan ini malah memperlihatkan akan kefektifan gerakan masyarakat sipil (termasuk Ornop), bukan pada peran partai politik. [1] Bahkan, lembaga independen dari Kanada, International IDEA, juga mencatat hal yang sama tentang keefektifan peranan Ornop dalam mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. [2]

Selain pendapat dua kalangan diatas di sana juga banyak pendapat lain yang serupa, dimana cerita keberhasilnnya biasanya dipublikasikan melalui buku-buku dan rekaman keberhasilan dari peran Ornop selama sekian tahun di masyarakat. Namun bagi James Petras, akan lain dalam menilai gerakan sosial yang selama ini dibangun oleh Organisasi non Pemerintah. Menurutnya, dari pengalaman yang ada, niat para kelas penguasa imperial yang bercokol di lembaga-lembaga donor dunia dalam mendukung lembaga keagamaan yang berada di luar negri (khsususnya di negara dunia ketiga) adalah untuk mengontrol orang-orang yang dieksploitasi, dan membelokan ketidakpuasan masyarakat menjadi persaingan antar mereka (persaingan komunal).

Dalam konteks gerakan Ornop, hal tersebut sama halnya dengan kejadian diatas, demikian ungkap Petras. Dari catatannya, kini telah tumbuh berkembang di negara ketiga sekitar 50.000 Organisasi non pemerintah yang pendanaannya dilakukan dengan mengharapkan dari Lemabag-lembaga keaungan internasional, agen-agen pemerintah Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Menurutnya, jumlah donasi yang telah dikeluarkan untuk “membantu” gerakan sosial yang diusung Ornop mencapai sekitar 10 Milyar lebih. Donasi tersebut dalam penggunaannya, selain untuk kebutuhan program-program yang telah disusun Ornop dengan “selera” donor, juga untuk menggaji para manajer Ornop yang cukup signifikan untuk kehidupannya. Bahkan lebih dari itu, terkadang para lembaga internasional itu mendanai para manajer Ornop tersebut untuk mengikuti konferensi-konferensi internaional, dan berunding dengan para direktur utama keuangan, serta mengikutkannya dalam membuat keputusan yang bisa mempengaruhi hajat hidup kebanyakan rakyat (hal. 235).

Dalam hal ini, para pemimpin Ornop tersebut adalah kelas baru yang tidak mungkin mendapat harta kekayaan yang melimpah dari belas kasih pemerintah dan sumber-sumbernya. Namun lebih jauh dari itu, para direktur Ornop tersebut mendapat gaji yang berlimpah dan lengkap dengan kendaraannya dari pada donatur, dengan satu tujuan yaitu untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang punya daya kritis terhadapnya. Lebih jauh, Petras dengan tegas menyatakan bahwa kelompok manajer Ornop tersebut, seperti golongan “neo-komprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk nagara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekeyayaan pribadi” (hal.238).

Bila dicermati secara teliti tentang sepak terjang kapitalisme di ranah demokrasi dan gerakan sosial yang dibangun Ornop – khususnya kasus Indonesia –, ada hal yang menarik. Dahulu, ketika suatu negara sedang giat membangun untuk mengejar pemasukan modal bagi negaranya, para lembaga-lembaga donor internasional menggandeng negara untuk kepentingan modalnya. Begitu pula dengan gerakan sosial Ornop, donor internasional menggandengnya dalam kapasitas supaya aktor-aktor yang menjalankan negara tidak melakukan penyimpangan dalam mengelola modal asing tersebut. Namun pada sisi lain, para lembaga donor internasional itu “mengizinkan” negara untuk melakukan tindakan represif terhadap aktor-aktor Ornop dalam melakukan kegiatannya.

Tetapi, strategi lembaga-lembaga keuangan internasional (sebagai agen Kapitalisme global) berubah seiring dengan menguatnya aspirasi masyarakat kebanyakan. Dalam hal ini, seolah-olah para agen kapitalisme tersebut lepas tangan, ketika situasi negara dalam proses transisi menuju demokasi, dimana peran negara (yang sebelumnya otoritaer) menjadi terlemahkan. Lebih jauh, para agen kapitalisme tersebut terus mengkampanyekan dengan memberikan donasi kepada Ornop untuk terus mengkiritk peran negara dalam banyak kehidupan. Kalau bisa peran negara – dalam persoalan pengeloalaan sumber daya ekonomi khususnya – dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Artinya, dalam hal ini para agen kapitaslis tersebut dengan cepat merubah dirinya, dan kini seolah beridiri disamping Ornop. Yang parah sebanarnya dalam hal itu, para agen kapitalis itu sedang mengadu antara gerakan sosial yang dilakukan oleh Ornop dengan agen negara (yang kini mulai ditinggal atau “diperalat” oleh lembaga donor internasional), dengan harapan supaya modal yang ada di negara bisa diselamatkan. Dan alat yang digunakan – lagi-lagi – adalah gerakan sosial yang dalam hal ini dikomdoi oleh kalangan Ornop.

Namun demikian, secara jujur Petras juga mengakui bahwa tidak semua sepak terjang Ornop ada dalam barisan seperti disebut diatas. Walaupun jumlahnya hanya minoritas, tetapi kelompok Ornop yang dinamakan dengan “ornop-ornop progresif” ini berfungsi sebagai sumber dari gerakan-gerakan sosial-politik masyarakat yang berani. Bahkan lebih jauh, golongan Ornop ini mulai melakukan otokritik dan mengkritisi secara sistematis hubungan kolega yang selama ini dilakukan antara Ornop dengan agen-agen kapitalisme dan para mitranya di tataran lokal, idiologi yang coba dikembangkan donor, serta struktur-struktur yang otoriter dan elitis. Dengan bahasa lain, Petras ingin mengatakan bahwa ornop-ornop itu harus berhenti untuk menjadi ornop yang kebanyakan perankan, namun kini ia harus merubah dirinya untuk menjadi anggota dari bagian gerakan-gerakan sosial-politik yang ada.

Implikasi Neoliberalsime Terhadap Usaha kecil

Dari penjelasan diatas jelas bahwa gerakan kapitalisme dan globalisasi merasuk di segala lini kehidupan. Penjelajahan kapitalisme ke semua areal tersebut, disadari ataupun tanpa disadari, sudah begitu kuat sampai sudah pada tingkat “penjajahan” kesadaran manusia. Maka strategi untuk bisa lari dari cengkeraman kapitalistik, menurut beberapa pengkritik neoliberalisme, adalah dengan – salah satunya — bagaimana perubahan itu berawal dari dalam tiap diri individu (manusia yang terkena dampknya). Artinya, perubahan itu sudah pada tarap kesadaran yang “seharusnya” timbul dari dalam si manusia sendiri, bukan pada kesadaran yang sifatnya memakasa dari eksternal. Kalau pun ada dorongan penyadaran dari eksternal, itu sifatnya “supporting” (pendukung tambahan) elemen yang menjadi penjaga gawang terakhir terhadap gempuran kapitalisme.

Itu terjadi, karena virus yang sudah ditularkan kapitalisme sudah begitu ganas, atau dalam isitilah penyakit kanker sudah mendekati stadium akhir. Dan akan fatal bila mengharapkan perubahan terebut datang dari sisi kapitalisme sendiri. Sebab, kapitalisme neoliberal memang tidak kenal altruisme, etika, dan kemurahan hati. Maka strateginya tidak bisa lagi dengan persuaasi, namun dengan gerakan kekuatan rakyat yang nonkekerasan, demikian ungkap Susan George, salah satu pembicara dalam Seminar WSF di Brazil (Lihat Maria H dari Porto Alegre, Kompas 3/2/03).

Begitu pula apa yang dialami oleh dunia usaha kecil dan mikro di Indonesia. Secara teoritis, usaha kecil dan mikro yang banyak memperkerjakan orang untuk bisa menikmati hasil usahanya, tidak masuk dalam hitungan kapitalisme yang harus ditakuti sebagai ancaman. Sebab bila dicermati seksama, usaha kecil dan mikro dalam kenyataanya akan mendapat batu sandungan serius dari dua sisi. Pertama, yaitu dari sisi struktur internal negara yang berupa kebijakan nasional yang tidak memihak, dan struktur kapitalisme global lewat kebijakan lembaga keuangan internasioanl, baik yang tidak langsung maupun yang langsung menghambat perkembangannya.

Untuk lebih jelas, lihat data-data yang sudah banyak disampaikan oleh para peneltiti. Di banyak data yang ada, jumlah usaha rakyat yang beromzet 50 juta kebawah kini kira-kira berjumlah 91 % dari total usaha yang digeluti rakyat Indonesia, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 59 juta tenaga kerja. [3] Dalam hal ini menurut M. Hidayat, seorang peneliti dan staf ahli Depkop, bahwa usaha kecil yang berpengasilan di bawah omzet 50 juta tersebut bukanlah proyek pemerintah yang akan dikembangkan menjadi usaha yang kuat, baik secara finasial maupun kapasitas usaha. Sedangkan usaha yang lebih besar omzetnya – masih dalam skala usaha kecil – akan mendapat prioritas penguatan dari pemerintah (dibawah pengawasan lembaga internasional). Padahal usaha-usaha rakyat kebanyakan (lihat data BPS dari tahun ke tahun) lebih terkonsentrasi di pengasilan yang dibawah 50 juta tersebut. Hal itu berbeda – dan ini lebih parah — di sektor usaha besar (konglomerat), dimana pemerintah menghambur-hamburkan uangnya – baik lewat hutang luar negari atau penerimaan pajak — untuk menutupi hutang-hutang mereka.

Di sisi lain, secara global usaha kecil dan mikro juga akan mendapat tantangan yang tak kalah berat dari arus globalisasi lewat berdirinya TNC (Trans Nasional Corporation). Di mana dengan adanya industrialsiasi di segala bidang dan pendirian hipermarket dan hipermall akan dangan sendirinya “membunuh” usaha kecil dan mikro yang selama ini di areal perdagangan tersebut (kelontong). Dengan begitu, orang-orang yang selama ini bergerak di perdagangan kecil pun pada berguguran, dan para pelanggannya digiring untuk belanja ke hipermarket dan hipermall tersebut. Dalam konteks ini, peranan pemerintah daerah (lihat UU otda), yang menjadi pintu terakhir dalam memberikan perizinan beridirinya warung toserba tersebut, menjadi signifikan.

Kemudian, sebagaimana sifatnya yang lentur dengan perkembangan zaman, kapitalisme akan terus berjuang untuk juga mempengaruhi para pejabat pemrintah di daerah-daerah. Segala upaya akan dilakukan oleh kapitalsime global, seperti melalui berbagai instrumen yang bersifat internasional, regional, nasional maupun distrik. Maka pada level internasional muncul kebijakan seperti GATT, WTO, AFTA, dsb. Dan di tingkat nasional juga muncul kebijakan seperti privatiasasi, pengurangan subsidi, dsb. Bahkan lebih jauh dari itu, segala usaha-usaha yang sebelumnya tidak ada aturannya – dan ini banyak terjadi di usaha kecil-mikro – akan segera diatur dalam undang-udang, baik itu bersifat nasional maupun daerah. Artinya, di sini usaha kecil tidak hanya berhadapan dengan struktur negara yang sudah tidak berdaya dengan agen kapitalisme global, namun juga secara cara berfikir para individnya, sudah dikuasai oleh “muatan globalisasi”.

Sejalan dengan hal diatas, dimana gerakan neoliberalisme lentur dengan perubahan dan perkembangan zaman, ada beberapa hal perlu diwaspadai berkaitan dengan perkembangan usaha kecil dan mikro. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia, dan sekaligus menghancurkan kedigdayaan usaha-usaha besar (konglomerat) pada kehancuran usahanya, kini para kapitalis tersebut mulai melirik sasaran lain. Dalam konteks krisis tersebut, negara dalam hal itu “disuruh” (oleh para lembaga internasional) untuk ikut menanggung kebangrutan kongkemrat tersebut. Dan bersamaan dengan itu, — masih lewat negara – para kapitalis ini mulai “melirik” sepak terjang gerakan rakyat yang selama ini sedang mengelola keuangan dengan berbentuk seperti lembaga keuangan mikro. Memang dalam kenyataannya, rakyat yang bergerak di areal ini mulai banyak, dan ini semacam menjadi lembaga pesaing bank yang peraturan peminjamannya ketat, dan secara nyata hanya “mengeruk“ keuangan rakyat dari uang yang ditabung, kemudian disetor ke Jakarta lewat Bank Sentral (yaitu Bank Indonesia).

Lewat isntitusi negara “para imprealis” ini mencoba masuk dalam pemantauan lembaga-lembaga keuangan yang secara alami tumbuh di masyarakat. Secara nyata, akhinrya pihak pemerintah (negara) mengeluarkan inisitaif untuk mengeluarkan undang-undang untuk mengatur lembaga keuangan mikro ini. Bila dilihat secara implisit, alasan yang menjadi dasar dari keluarnya Rencangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ini amat mulia. Kemuliaan itu terlihat dari pernyataan salah satu pejabatnya yang menyatakan bahwa terbitnya RUU LKM tersebut untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan dana dari aknum seseorang atau lembaga yang mengunpulkan donasi dari rakyat banyak, demi keberlangsungan kepentingan pribadinya. [4]

Namun bila pandangan kita terawang lebih jauh pada isi dari pasal-pasal RUU tersebut, maka kesan adanya mempengaruhi negara untuk turut campur dalam pengelolaan LKM sangat jelas. Lebih jauh, pasal-pasal dalam RUU tersebut malah memberikan pembatasan-pembatasan dan rambu-rambu yang justru dapat merangsang berkembanganya benih-benih KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dari pejabat pemerintah sendiri. Secara nyata hal-hal tersbut tertera dalam pasal-pasal 3, 8, dan 18, (dari RUU LKM) yang menetapkan bahwa pendirian LKM harus seizin pemerintah setempat. Di sini berarti pemerintah sebagai pengumpul dana masyarakat (atau “player” bisnis), bukan “penyedia layanan”. Lebih dari itu, dalam RUU tersebut juga ada pembatasan lokasi atau wilayah kerja LKM. Padahal dalam kenyataannnya wilayah LKM tersebar sangat luas, dan nasabahnya tersebar di penjuru desa-desa yang jarang terjangkau oleh lembaga keungan formal, seperti bank. [5] Beberapa alasan yang diungkap diatas adalah sebagain kecil dari penyikapan terhadap RUU LKM. Namun yang perlu dicermati adalah dengan adanya kondisi RUU LKM yang seperti itu, bukankah tidak mugkin (atau kesan), kalau disana ada “hidden agenda”, dari lembaga donor internasional lewat negara terhadap gerakan masyarakat ?

Penutup

Terakhir sebagai penutup dari tulisan ini adalah peran Ornop yang selama ini menjadi “pendamping” bagi usaha kecil dan mikro. Sebagaimana diulas oleh James Petras di atas bahwa ekspansi kapitalisme global juga lewat Ornop. Dalam hal ini, Ornop yang selama ini mendapingi para usaha kecil dan mikro, baik itu berupa asistensi atau penyuluhan perlu refleksi kembali dari cara kerjanya selama ini. Artinya dalam hal ini, peran-peran “pendampingan” yang dalam banyak hal itu didefinisikan sebagai bantuan kepada usaha kecil dan mikro, perlu diformat ulang. Karena, yang terjadi selama ini adalah bahwa dana-dana untuk pemberdayaan usaha kecil dan mikro berasal dari lembaga-lembaga keuangan Internsaional, yang angat naif bila para donor itu tidak punya kepentingan apapun dengan bantuannya.

Refleksi dari itu misalnya, adalah apakah pola pendampingan yang selama ini dilakukan oleh Ornop itu bagian yang tak terpisah dari “penyambung” lidah dari gerakan neoliberalisme dan globalisasi. Dan yang lebih parah, malah membuat “bodoh” para usaha kecil dan mikro (yang menjadi dampingannya), dan tidak menjadi sadar dan kuat akan ketertidasannya dalam ekonomi. Oleh sebab itu, pendiskusian ulang dan pengkritisan pada pola pendampingan Ornop terhadap pemberdayaan usaha kecil dan mikro selama ini mendesak untuk dilakukan. Dan itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama dengan kerangka bahwa itu untuk memperkuat para pengusaha kecil dan mikro, baik dari sisi cara pandang dan pengembangan ekonomi.

Secara keseluruhan, buku ini adalah salah satu dari serentetatan buku yang kritis terhadap sepak terjang kapitalisme. Bahkan bisa dibilang, buku ini “kelewat” berani dan tanpa tedeng aling-aling dalam melakukan kritis pedas tersebut. Dan sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, perdebatan antara kapitalisme dan pengkritiknya, sosialisme, dalam berbagai turunannya, tidak pernah putus. Dalam konteks itu, James Petras dan Henry Veltmeyer sebenarnya tidak melakukan “cara” mengkritis yang baru terhadap kapitalisme dan globalisasi. Bahkan secara terus terang, ia mengatakan bahwa para pengkritik kapitalisme yang selama ini, tidak tuntas dalam menggunakan “analisis klas” untuk menyingkap kapitalisme. Oleh karena itu, ia menganjurkan – dan ia dalam hal ini menggunakannya juga –bahwa bila ingin mengkritik gerakan globalisasi dan neoliberalisme, gunakanlah abalisis klas yang “benar”. Artinya, dalam mengkritik kapitalisme, James Petras tidak memberikan hal yang baru, karena kritik dengan cara seperti itu dalam sejarah perdebatan di atas sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan. Atau pakah memang cara yang enak untuk mengkritik kapitalisme “hanya” dengan itu (analisis klas)?

Namun, yang paling “brilyan” dari buku ini adalah penggunaan “cara lama” dalam mengkritik kapitalisme untuk menganalisis fenomena “gres” yang terjadi sekarang dengan cukup lengkap, rinci, serta kritis. Oleh karena itu, bagi yang pertama kali membaca buku semacam ini, mungkin akan dibuat kaget dan terjaga dari tidur panjang. Apalagi, kemampuan, pemahaman, dan kritik dengan menggunakan “analisis klas” terlihat meyakinkan – untuk tidak menyatakan sempurna. Artinya, kreativitas dan kepekaan James Petras dan Henry Velmeyer dalam menangkap gejala perubahan politik, ekonomi, sosial, dan budaya global, perlu diacungi jempol – bahkan perlu ditiru oleh para ilmuwan kita.

Dalam konteks itu, menurut penulis, buku ini amat berguna bagi siapa saja khususnya yang tergolong kelas menengah, seperti akademisi, pemerintah, parlemen, aktivis Ornop, bahkan mahasiswa di Indonesia, sebagai wahana untuk “kacadiri” dalam aktivitasnya. Bahkan kalau bisa, buku ini menjadi salah satu buku bacaan “wajib” bagi kalangan tersebut, terutama aktivis Ornop yang menjadi salah satu sasaran bidik buku ini. Apalagi Kondisi Indonesia yang sedang melalui krisis moneter yang tak kunjung usai yang membuat banyak kalangan menghadapi banyak kendala. Di satu sisi, negara ini sedang melalui transisi dalam politik (juga kondisi hukum yang “korup”) dan di sisi lain, secara ekonomi bangsa ini sedang berada dalam kemiskinan. Oleh karena itu, potret James Petras di buku tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dari patret Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan hal itu, buku ini bisa menjadi penambah wawasan baru bagi Ornop yang selama ini mendampingi masyarakat (usaha kecil), juga – kalau bisa – menjadi salah satu bahan Strategic Planning (rencana strategis) tahunan bagi kalngan Ornop di Indonesia yang “menangkap” denyut perubahan dunia.

Namun begitu, yang kurang dari buku ini adalah penerjemahannya yang kurang baik. Perlu beberapa kali membaca untuk bisa memahaminya dengan baik. Dengan demikian, dalam membaca buku ini perlu dua kali putaran atau bahkan lebih dari itu untuk bisa menangkap esensi yang diharapkan dari buku ini.

(Penulis, M.Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK, dan Anggota Dewan Presidium Jekora, Jaringan Advokasi Ekonomi Kerakyatan).

[1] James Gomes, “Civil and Political Society in East and Southeast Asia: The Contest for Political Space”,paper yang dipresentasikan didiskusi terbatas pada tanggal 31 Mei sampai 3 Juni 1999 di Kuala Lumpur. Bahkan menurutnya, kelompok yang meruntuhkan pemerintah otoriter, sebagai pemimpin sebelumnya, bukan datang dari partai politik, namun komponen masyarakat sipil. Selanjutnya, masyarakat sipil tersebut aktif dalam menciptakan ruang politik (political space) yang luas. Ada dua sebab kenapa perubahan itu datang dari gerakan masyarakat sipil, menurutnya. Pertama, gerakan civil society dipengaruhi oleh globalisasi yang menuntut adanya sistem demokrasi bagi negara-negara di Asia. Kedua, gerakan civil soceity adalah semangat murni (genuene desire) dari warga masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, yang meruntuhkan Orde Baru, adalah gerakan-gerakan civil society, bukan partai politik yang ada.

[2] Tim International IDEA, “Peniliaian Demokratisasi di Indonesia”, Jakarta: 2000. Begitu pula dengan buku-buku lain yang telah menilai sisi kebaikan gerakan sosial yang telah dilakukan Ornop, seperti Mansur Faqih dalam, “Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Idiologi LSM di Indoenesia”, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1996.

[3] Lihat Data BPS 1996. Jumlah rakyat yang berusaha di tahun setelah krisis akan bertambah dan menghubin sebagian besar di sektor usaha kecil dan mikro, dimana itu dikategorikan Pemerintah dalam areal informal.

[4] Abdul Salam, “Peran Bank Indonesia dalam menciptakan Iklim Finansial Kondusif bagi Usha Kecil Mikro”, artikel yang disampaikan pada diskusi terbatas di Hotel Ambara, Jakarta, 12 Juni 2001, yang diselenggarakan YMU dan Jekora.

[5] M. Firdaus & Titik Hartini, “Aspek Pemberdayaan Perempuan Di Balik Lembaga Keauangan Mikro”, satu tulisan yang termuat dalam Jurnal Analisis Sosial Vol.6, No.3, Desember 2001, hal. 50 – 51.