Memperpanjang Nafas PKH (Pengalaman LKP “Perempuan Mandiri”, Jombang)

Layaknya program bantuan langsung tunai, PKH (Program Keluarga Harapan) yang diluncurkan pemerintah sejak tahun 2007, merupakan  program pemerintah nasional yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) persyaratan tertentu. Bagi masyarakat yang mendapat bantuan, diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti dalam pendidikan dan kesehatan. Adapun bantuan yang diterima RTSM berupa uang tunai.

Sementara tanggung jawab RTSM terhadap bantuan tersebut, ialah memeriksakan anggota keluarganya (Ibu Hamil dan Balita) ke fasilitas kesehatan (Puskesmas, dll), dan menyekolahkan anaknya dengan tingkat kehadiran sesuai ketentuan. Pada umumnya, masyarakat penerima bantuan, menghabiskannya untuk menutup semua pengeluaran keluarga.

Hal itu memang dimaklumi karena kondisi masyarakat yang sulit dari sisi ekonomi keluarga di satu sisi, dan di pihak lain gencarnya iklan di media massa untuk bertindak komsumtif. Sehingga dalam sekecap, pengeluaran rumah tangga sebagian rakyat Indonesa membumbung tinggi. Kondisi itulah salah satu yang melatarbelakangi kelompok perempuan di Wonosalam, kab. Jombang Jawa Timur berfikir sebaliknya.

Melalui LKP Perempuan Mandiri, yang dibentuk kelompok perempuan – yang awalnya merupakan kelompok penerima PKH – pada 16 April 2011, sebagian dana yang didapat kelompok perempuan dari PKH di “tabung” sebagai permodalan lembaga. “Awalnya sih tidak mudah, perlu tenaga ekstra untuk meyakinkan perempuan di wilayah yang penuh dengan perbukitan dan pegunungan itu,” kata Farid Rofiuddin, dari Lembaga Widya Dharma, Surabaya saat berbincang dengan penulis, pertengahan Oktober lalu. Bagi masyarakat Jawa Timur umumnya, bantuan PKH biasanya harus dihabiskan untuk keperluan konsumtif sehari-hari. Hal itu bisa dipahami karena di sejumlah desa telah berdiri lembaga ekonomi berupa “koperasi” yang difasilitasi pemerintah daerah provinsi Jawa Timur yang dikenal dengan penumbuhan “keperasi wanita” dengan bantuan modal sebesar Rp 25 juta per desa.

Pelan dan penuh kesabaran, Farid bersama dengan LSM local yang telah bekerja sebelumnya di kab. Jombang, mendekati masyarakat terutama tokoh dan pengurus kelompok perempuan. Perjalanan dari Surabaya yang ditempuh 2,5 – 3 jam ke Wonosalam Jombang tidak membuat tubuh Farid terasa capek dan membosankan. Hal itu karena sejumlah kelompok perempuan yang bermula dari bentukan kelompok PKH, mulai terbuka wawasan berkelompoknya. Hari pertama, ia mendatangi pengurus kelompok perempuan di Wonosolam. Ia membutuhkan dua hari hanya untuk berkenalan dan pembukaan-diskusi tentang manfaat berkelompok dan bagaimana pemanfaatannya. Melalui penceritaan tentang keberhasilan kelompok perempuan di tempat lain khususnya yang telah berdiri JARPUK, pelan-pelan perempuan di Wonosalam mulai tertarik. Strategi untuk mempercepat perkembangan kelompok perempuan pun dilakukan, yaitu dengan mengikutkan ketua LKP Perempuan Mandiri untuk hadir di “Konsolidasi JARPUK se Jawa” di akhir desember 2011. Di sana Rujiati, sekertaris LKP, bertemu dengan pegiat dan aktifis JARPUK lain yang memang telah terorganisir dengan baik. Dari situlah, seperti menjadi titik balik bagi dirinya dan kelompoknya untuk bergerak maju dan mandiri, karena perempuan-perempuan di daerah lain yang ia temui ternyata telah beberapa langkah berdiri di depan.    

Singkat cerita, berkat kegigihan pengurus dan anggotanya, LKP kini tumbuh dan menjadi tumpuhan bagi 244 orang perempuan dari 8 kelompok dalam menutup permodalan usahanya. Dari April 2012 hingga Oktober 2012, LKP berhasil mengumpulkan simpanan anggota sebesar Rp 16.469.000,-, dan modal penyertaan dari 8 kelompok berjumlah Rp 10.340.000,-. Total asset LKP per Oktober mencapai Rp 33.125.500,-. Sementara secara komulatif LKP telah mencairkan pinjaman kepada anggota sebanyak Rp 85.750.000,- kepada 284 pemohon. “Kami awalnya tidak membayangkan, kok mau para perempuan desa untuk membangun lembaga keuangannya sendiri dalam bentuk koperasi. Padahal kan di desa lain, masyarakat berbondong-bondong menghabiskan bantuan PKH. Namun dengan semangat, akhirnya kami bisa memupuk modal secara mandiri”, ungkap Poniti, penurus LKP perempuan mandiri. Berkat kreasi dan kerja kerasnya, kini kelompok perempuan di Wonosalam mendapat apresiasi pejabat kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional. Bahkan saat RAT (rapat anggota tahunan) awal tahun 2012, pejabat dinas koperasi pemerintah daerah hadir untuk melihat kesiapan LKP dalam kepengurusan badan hukum koperasi.

(Penulis, M. Firdaus, deputy SEN ASPPUK. Artikel disusun dengan memafaatkan berbagai sumber)

p style=