Badan Hukum Koperasi Digugat ke MK

Jurnas.com | MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 18, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 63, Pasal 65, Pasal 66 ayat (2) huruf b, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 119 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Pemohon dalam perkara ini adalah Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPek), Wigatiningsih, Sri Agustin Trisnantari, Sabiq Mubarok, Maya Saphira dan Chaerul Umam.

“Secara historis bahwa badan hukum tidak muncul pada UU Koperasi sebelumnya, yang ada hanya perkumpulan orang. Ini tidak ada konsistensi, ini melanggar Pasal 33 UUD 1945,” kata Febri Yonesta, selaku kuasa hukum Pemohon saat membacakan permohonannya dalam Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (24/6).

Pemohon menjelaskan bahwa UU Koperasi yang menempatkan koperasi hanya sebagai “badan hukum” dan atau sebagai subjek secara nyata bertentangan dengan cita-cita ideologi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang dimensinya telah menempatkan manusia, bangsa ini, lebih tinggi dari perusahaan semata. “Dengan adanya norma badan hukum tersebut maka banyak koperasi yang tidak diakui karena banyak koperasi saat ini tidak berbadan hukum,” ujar Febri.

Terkait dengan itu, Pemohon juga menguji ketentuan modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh Pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi.

Menurut Pemohon, ketentuan ini adalah bentuk pengrusakan kemandirian koperasi. Bahkan, anggota-anggota koperasi akan menjadi objek ekspolitasi, menciptakan ketergantungan, hilang prakarsanya dan pada akhirnya mengakibatkan partisipasi yang rendah dari anggota-anggotanya terhadap koperasi dan membuka pintu intervensi dari pihak luar apakah itu Pemerintah, pemodal besar atau lembaga keuangan non-koperasi.

Di sisi lain, Pemohon juga menguji ketentuan kewenangan pengawas dalam menetapkan anggota dan memberhentikan pengurus adalah pelanggaran prinsip asas kekeluargaan yang selama ini telah menjadi semangat gerakan koperasi di Indonesia. “Keputusan tertinggi di dalam koperasi adalah pada anggotanya, pengambilan kewenangan ini akan menciderai prinsip-prinsip koperasi yang selama ini telah hidup di Indonesia,” kata Febi.

Karenanya Pemohon juga menguji ketentuan mengenai Dewan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1angka 18, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117 dan Pasal 118, dan Pasal 119 UU Koperasi adalah telah nyata-nyata menjadikan posisi gerakan koperasi menjadi bagian dari subordinat dari pihak luar dan menghilangkan otonomi dari gerakan koperasi yang seharusnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan.

Maria Farida selaku ketua majelis panel mengatakan beberapa pasal yang diuji Pemohon sebagian telah diuji oleh pemohon lainnya sehingga perlu dibedakan batu ujinya dengan pemohon sebelumnya. “Sudah ada beberapa pasal yang saat ini sudah memasuki pemeriksaan saksi dan ahli, untuk itu agar dibedakan batu ujinya,” ujarnya.

Untuk itu, hakim konstitusi ini juga mempertanyakan Pemohon yang menguji pasal 1 angka 1 yang merupakan roh dari UU Koperasi. “Pasal 1 angka 1 jika ini batalkan, maka UU Koperasi ini tidak berlaku semua. Maka ini perlu dirumuskan kembali,” ujarnya.