Perkuat Petani dan Nelayan, ASPPUK Dorong Aksi Kolaborasi Multipihak

 

Ilustrasi perempuan buruh sawit di lokasi dampingan ASPPUK. Foto : ASPPUK.

JAKARTA, ASPPUK – Indonesia merupakan pengekspor utama minyak sawit dan makanan laut, yang masing-masing menyumbang 3,5 dan 2,6 persen dari PDB Indonesia.

Kedua sektor tersebut memiliki dampak besar bagi masyarakat lokal. Pasalnya, sebagian besar masyarakat tinggal di daerah pesisir, dan ikan merupakan komponen utama makanan mereka.

Di sisi lain, permintaan minyak kelapa sawit terus meningkat. Akibatnya perluasan perkebunan dan tekanan berkelanjutan pada lahan subur telah berdampak pada masyarakat pedesaan.

Program Manager Power Of Voices Partnership (PVP) Fair For All Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Martina Rahmadani mengatakan, tren peningkatan partisipasi perempuan sedang terjadi di berbagai sektor ekonomi.

“Mereka mampu menghadapi berbagai tantangan yang menghambat mereka dalam mengembangkan usaha dan meningkatkan mata pencaharian mereka,” kata Martina di Jakarta (18/5).

Di sisi lain kata Martina, mereka tidak memiliki akses ke aset, terutama hak atas tanah dan properti. Norma sosial dan budaya turut mendasari kekerasan dan konflik, termasuk di tingkat masyarakat, dan selanjutnya ikut meminggirkan perempuan dalam sistem ekonomi yang eksploitatif dan didominasi laki-laki.

Belum lagi, pandemi COVID-19 telah menyebabkan terganggunya rantai pasokan produk pertanian, dengan kerugian besar bagi petani, nelayan, dan pengusaha mikro. Harga komoditas pangan anjlok karena permintaan yang menurun, dan penutupan pasar membuat nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapannya.

“Survei yang dilakukan oleh mitra ASPPUK dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa usaha bagi pengusaha mikro di sektor pangan turun 80 persen, dan di sektor pertanian turun 50 persen,” terangnya.

Ia menuturkan struktur sektor minyak sawit dan makanan laut saat ini turut memperburuk ketidaksetaraan dan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat dan ketahanan pangan masyarakat.

Pertumbuhan jumlah perkebunan kelapa sawit yang masif ternyata telah mengganggu pertanian subsisten dari makanan pokok, sedangkan penangkapan ikan yang berlebihan dan terus-menerus turut andil menghabiskan stok ikan.

Disisi lain, tekanan terhadap lahan garapan telah memicu banyak konflik antara perusahaan dan petani atau warga lainnya. Pada tahun 2019 saja terdapat 279 konflik, sebagian besar terkait lahan, berdampak pada 109.042 keluarga dari 420 desa.

“Dari konflik tersebut, 30 persen berasal dari perkebunan kelapa sawit skala besar,” ungkap Martina.

Power of Voice Partnership: Fair for All (Fair4All)

Maraknya persoalan yang dialami kaum perempuan dan kaum muda di wilayah pesisir dan disekitar perkebunan kelapa sawit, menjadi dasar pemikiran OXFAM Indonesia bersama mitra local (ASPPUK, KPA, TII) untuk menjalankan program Power of Voice Partnership: Fair for All (Fair4All) dalam rangka meningkatkan dukungan kolaborasi bersama perusahaan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkan rantai nilai yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

“Program ini juga berkontribusi dalam dua tujuan Sustainable Development Goals, yaitu tujuan 10 Pengurangan Ketimpangan dan tujuan 12 Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab,” terang Martina.

Secara khusus, ASPPUK melalui program PVP melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaraan perempuan dan anak muda terhadap peran penting komunitas dalam rantai nilai dan rantai pasok yang lebih adil, inklusif dan berkelanjutan dari sektor komoditas andalan yang ada disekitar wilayah mereka.

“ASPPUK juga mendorong penghidupan yang adil, inklusif dan berkelanjutan melalui rantai nilai alternatif yang berdampak kepada nilai sosial, ekonomi dan lingkungan, sehingga tercipta pasar yang adil bagi semua pihak,” katanya.

Kegiatan yang Disorot

Saat melaksanakan program PVP, ASPPUK berhasil memetakan rantai nilai dan rantai pasok serta peran perempuan dalam rantai kelapa sawit dan perikanan di wilayah intervensi.

Dari hasil assessment tersebut diketahui bahwa di perkebunan kelapa sawit terdapat dua rantai pasok, yaitu secara plasma dan mandiri. PT ANA yang merupakan perusahaan kelapa sawit yang ada di Morowali utara menggunakan metode plasma.

“Caranya, perusahaan melakukan kontrak lahan dengan masyarakat/ pemilik lahan yang kemudian semua pengerjaan mulai dari penanaman, perawatan dan proning dilakukan langsung oleh perusahaan,” terang Martina.

Selanjutnya, pemilik lahan akan mendapatkan pembagian dari hasil panen sawit yang dilakukan oleh perusahaan. Pembagian hasil dilakukan melalui koperasi, sehingga perusahaan tidak langsung membagi kepada pemilik lahan langsung.

Tidak jauh berbeda dengan Morowali utara, di Konawe Utara rantai pasok dan nilai kelapa sawit juga ada skema Mandiri dan skema Plasma. PT DJL, perusahaan sawit yang memiliki wilayah perkebunan terluas di wilayah tersebut, melakukan pengelohan sawit menjadi CPO yang kemudian didistribusikan ke sejumlah perusahaan.

“Semua kerja sama atau kontrak dilakukan oleh perusahaan induk yang ada di wilayah Sumatera,” paparnya.

Untuk skema mandiri, petani sawit mengumpulkan semua hasil panennya sebelum diserahkan ke pengepul yang ada di wilayah tersebut, dan langsung menerima pendapatan di hari yang sama.

Sementara itu, pengepul akan mengumpulkan sesuai kuota yang kemudian didstribusikan kepada perusahaan sesuai kesepakatan harga. “Dalam proses itu, pengepul tidak memiliki kontrak khusus dengan perusahaan atau terbuka. Namun di Konawe Utara ada juga petani mandiri yang memiliki hasil dan langsung menjual hasilnya ke perusahaan,” kata Martina.

Sementara itu, di Takalar, Sulawesi Selatan terdapat usaha perikanan, utamanya komoditas Lobster. Menurut para nelayan, di saat stok yang terbatas seperti saat ini, tak sedikit pembudidaya lobster yang berhenti karena abrasi yang terjadi pesisir Takalar.

Keterangan nelayan lobster yang masih bertahan menyebutkan adanya dua skema budidaya lobster air laut, yaitu pembudidaya mandiri yang tidak terikat dengan investor dan skema kerja sama dengan investor.

Untuk skema mandiri, pembudidaya melakukan kegiatan secara mandiri dan penjualan stok lobster tidak terikat dengan investor. Hanya saja, hal itu dirasa cukup memberatkan karena tingginya biaya, mulai dari persiapan karamba, perawatan dan penyediaan bibit.

Skema kedua yaitu kerjasama dengan investor, dimana investor membiayai seluruh kebutuhan budidaya, mulai dari peralatan hingga bibit. “Dengan skema itu pembudidaya hanya melakukan aktifitas pembesaran dan hasilnya langsung dijual ke investor,” terang Martina.

Selain komoditas lobster air laut yang mulai berkurang, di Takalar juga berkembang komoditas Lobster air tawar yang dilakukan secara budidaya. Belakangan, komoditas ini mulai dilirik oleh beberapa perusahaan.

“Ternyata, lobster air tawar memiliki prospek yang baik karena diminati oleh beberapa negara, namun yang menjadi kendala adalah stok yang terbatas, hanya untuk memenuhi pasar lokal dan nasional,” ungkapnya.

Setelah melakukan analisa rantai nilai dan rantai pasok yang terjadi di kelapa sawit dan perikanan, hasil yang ditemukan telah disosialisasikan kepada stakeholder yang ada di masing masing kabupaten.

“Hal itu telah dikonfirmasi dari stakeholder terkait temuan di lapangan memang benar adanya, dan ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan bersama, yaitu pemerintah daerah siap mendukung pemberdayaan kelompok masyarakat untuk melakukan usaha alternatif,” pungkasnya.***