Saatnya Indonesia Kembali Pada Nilai Koperasi yang Sesungguhnya

JAKARTA, ASPPUK – Pendiri Sarinah Institute Eva Kusuma Sundari menegaskan bahwa ujung atau muara dari demokrasi yang sedang berlangsung saat ini adalah kesejahteraan.

Untuk itu, masyarakat jangan sampai kehilangan perspektif untuk menyoal atau mengintervensi tentang kesejahteraan.

Ketika pemberdayaan telah dilakukan, namun tetap membuat masyarakat lapar, maka kebijakan yang dibuat salah sasaran dan tidak akan bertahan lama. “Tidak akan sustainable. Itu tantangan saya waktu itu,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, anggota parlemen RI periode 2009 – 2019 itu mengingatkan agar tidak terpesona dengan demokrasi prosedural, seperti demokrasi politik selama ini. “Disuruh coblosan secara teratur, bikin parlemen, tapi tiba-tiba kita berpikir ketika melihat angka-angka, kok Indonesia, extreme poverty-nya buruk. Kemudian, jumlah fakir miskin dan disabilitas yang tidak terurus, terutama kesehatan jiwa juga besar,” ungkapnya.

Negara hampir tidak cawe-cawe, karena dana yang disediakan tidak mencukupi jumlah yang dibutuhkan. Ketika panti-panti yang didirikan oleh masyarakat diminta dilibatkan untuk membantu negara untuk mengurusi kelompok disabilitas dan penderita kesehatan mental, ternyata tidak ada standarnya.

“Intinya, tidak bisa diandalkan kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak masyarakat rentan,” ungkapnya.

Di sisi lain, ketika berbicara tentang sustainable development, maka masyarakat memiliki peranan penting sebagai bagian dari base development. Yang terjadi selama ini, extreme poverty telah menyebabkan teralenisasinya kelompok rentan, meskipun Indonesia masuk ke dalam G20.

Kemudian muncul ketimpangan diantara anggota-anggota G20 karena pendekatan Indonesia tidak didasarkan atas people base development. Padahal jika itu yang dipilih, akan berujung pada pendekatan planet base development.

Planet base development bicaranya bukan akumulasi kapital tetapi prosperity (kemakmuran). Dari prosperity menjadi peace (damai) dimana syaratnya melakukan partnership (kemitraan),” katanya.

Di kutub lain, menurut Eva, banyak negara justru menggunakan pendekatan capital base atau kapitalisme. Gerbong kapitalisme ditandai dengan ekses yang tidak kooperatif, namun mengedepankan kompetisi. Kondisi itu menyebabkan banyak hal.

“Lalu Indonesia akan seperti apa? Di dalam pidatonya, Sukarno selalu mengingatkan  pentingnya sosiodemografi,” ujarnya. Sosiodemografi menjadi penanda ketika demokrasi politik berjalan bersama dengan demokrasi ekonomi.

Dengan demikian, kedua hal itu yang menjamin terwujudnya sila ke-5 Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. “Keadilan bukan bagi elit, bukan bagi kelompok konglomerasi tetapi di pemahaman sosiodemokrasi,” kata Eva.

Kembali ke Sosialisme

Eva Sundari mengatakan, pemberdayaan kelompok rentan, seperti perempuan dan anak, kaum disabilitas hingga lansia harus menjadi prioritas jika ingin mewujudkan sosiodemokrasi.

Di dalamnya dibicarakan tentang demokrasi ekonomi, selain demokrasi politik. “Untuk itu, kita tidak bisa melanjutkan terbentuknya demokrasi politik tanpa membicarakan demokrasi ekonomi, untuk memfasilitasi terbentuknya masyarakat sosialisme Indonesia,” terangnya.

Eva menambahkan, “Jadi saya agak provokatif dan sangat valid, selama kita pergi kearah yang bukan sosialisme, dan agak berat bicara tentang increasing vulnarable people to our system. Pasti bisa jika dipaksakan, tetapi akan dianggap sebagai residu.”

Sementara di sosialisme, menurut Eva tidak demikian, karena semua didasarkan atas solidaritas dan setiap orang memiliki kesepahaman bahwa negara mencukupi semua kebutuhan dasar. Ini yang membedakan dengan sistem di Indonesia saat ini.

“Kalo sekarang kebutuhan dasar disuruh beli oleh negara. Setelah reformasi, kita gak sadar kebawa untuk sistem ekonomi itu semakin menjauh dari Pancasila,” ungkapnya.

Padahal, desain awal para pendiri bangsa adalah sosialisme atau keadilan sosial. Ketika Bung Karno berkata, apa itu keadilan sosial? Jawabnya adalah ketika di dalam masyarakat tidak ada eksploitasi. Tidak ada ekspoitasi orang terhadap orang, dan tidak ada eksploitasi dari bangsa kepada bangsa.

“Oleh karena itu, Pancasila merupakan anti feodalisme, anti neokolonialisme atau imperialisme,” katanya.

Jika misalnya Indonesia melakukan banyak impor, itu pertanda munculnya imperialisme. “Bung karno menyebutnya seperti itu,” ucap Eva.

Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti menyayangkan terjadinya imperialisme. Menurutnya, Indonesia merupakan negara kaya dengan sumberdaya alam, sumberdaya perikanan, hasil tambang, namun belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang berkeadilan untuk rakyatnya.

“Yang ada hanyalah eksploitasi sumberdaya alam dalam bentuk bahan mentah untuk diekspor ke luar,” katanya. Sementara negara-negara maju telah memiliki teknologi, pengetahuan  dan modal yang besar, namun tidak memiliki bahan mentah.

“Mereka juga tidak memiliki pasar dan kita adalah pasarnya. Sehingga mereka mengambil bahan mentah lalu diolah menjadi produk, dan produk itu dijual kembali kepada kita,” terang Emmy.

Ini membuktikan jika Indonesia dipengaruhi oleh psikologi industri, dimana sistem pemasaran menjadikan penggunanya konsumeristis. “Kita lebih bangga  menggunakan brand-brand luar, meskipun hanya KW. Setelah 6 bulan sudah terkupas tasnya. Sepatunya hanya bertahan 5 bulan, misalnya. Tetapi banyak yang bangga dengan itu,” ungkapnya.

Koperasi Tulang Punggung Perekonomian

Eva Sundari mengingatkan bahwa negara yang menerapkan demokrasi secara baik adalah menghargai hak individual, dan menghargai hak kelompok dan tidak pernah menghalang-halangi hak mereka.

“Jangan berbasis pada individu yang kaya, sementara yang miskin tidak dianggap. Semua orang berhak untuk mendapat kekayaan, dan itu tanda-tanda demokrasi,” tegasnya.

Eva juga mengingatkan bahwa demokrasi sebagai bentuk keyakinan pada ekonomi kesejahteraan individu tanpa eksploitasi. Itu sebabnya, bukan hanya kelompok ekonomi besar yang berhak hidup, namun UMKM dan koperasi juga harus tumbuh.

“Apalagi di pasal 33 itu dikatakan  bahwa sistem ekonomi kita berbasis kepada koperasi. Koperasi harusnya menjadi tulang punggung perekonomian,” tegasnya.

Atas dasar itu, Eva menekankan bahwa ekonomi berbasis koperasi sangat mungkin dilakukan. Namun sayang, lembaga Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) justru menghilangkan unsur koperasi di struktur mereka.

“Alasannya, tidak dianggap bagian dari usaha. Ini baru terjadi di Kadin periode ini. Periode yang lalu UMKM dan Koperasi itu masih ada,” katanya.

Hal itu menurut Emmy tidak ramah terhadap para pelaku UMKM yang memilih koperasi sebagai badan usahanya. Tentunya karena banyak koperasi  yang dibentuk  oleh LSM khusus perempuan yang ternyata bermanfaat bagi kelompok perempuan di tingkat akar rumput.

“Secara ideologi itu adalah melawan gurita imperialisme yang modalnya dimiliki oleh satu atau dua orang atau bahkan segelintir orang,” terangnya.

Dengan berkoperasi, para perempuan telah menerapkan prinsip solidaritas dengan cara saling membantu, gotong royong dan bersama-sama menyelesaikan masalah.

“Selain itu, kekuasaan tertinggi berada di tangan anggota. Duitnya swadaya anggota sendiri,” kata Emmy.

Pengambilan keputusan juga dilakukan oleh anggota. Itu yang membuat mereka tidak perlu meminjam uang di bank yang faktanya kurang ramah terhadap perempuan pelaku usaha kecil mikro dan kaum disabilitas.

“Jika perempuan pelaku usaha kecil mikro ingin meminjam, maka harus jalan dari kampungnya ke lembaga keuangan yang jaraknya jauh dan membutuhkan transportasi,” jelasnya.

Selain itu, syarat tentang pencatatan keuangan yang baik, ternyata masih menjadi kendala. Para perempuan tidak pernah dilatih tentang pencatatan arus kas. Belum lagi ketika harus menjaminkan sesuatu di bank, kebanyakan harta atas nama suami.

“Misalnya, motor, rumah, tanah. Mereka tidak punya apa-apa, sehinga dibentuklah koperasi atau lembaga keuangan perempuan yang dibangun dari keswadayaan,” ungkap Emmy.

Sampai sekarang, lanjut Emmy, masih banyak koperasi perempuan yang berjalan meskipun mengalami dinamika yang pasang surut. Sebut saja LSM Persada yang merupakan anggota ASPPUK yang omsetnya mencapai miliaran rupiah.

Secara keseluruhan, gerakan keadilan ekonomi yang dijalankan oleh para perempuan memang memiliki banyak kendala. Diantaranya, bagaimana mengkaitkan isu-isu dari akar rumput (mikro) ke level ekonomi  yang lebih luas (makro). “Ini yang saya lihat masih lemah,” ujarnya.

Terjadi Kontradiksi

Eva Sundari menjelaskan bahwa sejumlah negara anggota G20, seperti Selandia Baru, Finlandia, Belanda dan Prancis telah mempraktikkan model koperasi secara baik, sehingga mampu berkontribusi positif terhadap PDB mereka.

“Ternyata di negara-negara anggota G20, itu koperasi tidak dihilangkan dari KADIN mereka,” ungkap Eva.

Eva mencontohkan, bagaimana usaha bidang energi di Kanada memiliki omset yang sangat besar dan badan hukumnya adalah koperasi. Atau banyak bank di Eropa Barat, sebanyak 60% badan usahanya adalah koperasi.

“Bukan PT seperti punya-nya teman-teman KADIN saat ini, dimana sifat operasinya sangat individual dan tidak pro people. Kalau di mereka sangat pro people,” ungkapnya.

Bahkan, sejumlah perusahaan besar, seperti jawatan kereta api, penyedia listrik (PLN) di AS untuk masyarakat pedesaan justru dikelola oleh asosiasi koperasi yang jumlahnya mencapai 900 unit koperasi listrik.

“Di Indonesia, kita punya problem dengan stigma. Koperasi itu seolah-olah hanya simpan pinjam atau dianggap sebagai rentenir yang legal,” kata Eva.

Beruntung, Induk Koperasi Usaha Rakyat Indonesia (inKUR) di Kalimantan Barat berhasil mendobrak stigma tersebut. inKUR terbukti suskes mendirikan perusahaan perumahan, sekolah, rumah sakit, hingga terlibat di bidang jasa turisme berbasis koperasi.

Ini membuktikan bahwa koperasi lebih ramah terhadap orang, karena bentuknya bukan perusahaan (PT). Jamaknya, PT mengurusi kapital, sementara koperasi lebih mengurus anggota.

“Sembari mengurus orang, fokusnya juga di kesejahteraan. Ketika bicara kesejahteraan maka ada upaya untuk memintarkan anggotanya. Misalnya  melalui pemberdayaan. Salah satunya mulai dari welfare, kemudian berlanjut ke keadilan gender, anti-kekerasan,” ujarnya. Pemberdayaan selanjutnya adalah pemenuhan akses dan tingkat partisipasi yang berfungsi sebagai kontrol publik.

Dengan demikian, fungsi yang berlaku adalah pendidikan untuk semua. “Jika PT tidak mengurusi memintarkan orang, tetapi koperasi memintarkan orang, mulai dari anggota yang merupakan pemilik usaha tersebut,” katanya.

Itu pula yang menyebabkan, negara-negara yang koperasinya maju, atau disebut sebagai the cooperative economy, memiliki inequality ekonomi yang rendah. “Karena disana bicara tentang menyejahterakan orang, bukan menyejahterahkan pemilik modal,” tegasnya.

Sementara di Indonesia, menurut Emmy telah hadir Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang merupakan program lanjutan dari program bantuan sosial yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah.

Umumnya para penerima adalah mereka yang belum bisa difasilitasi perbankan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pembiayaan tersebut memang menyasar para perempuan pelaku usaha kecil mikro dan kelompok marjinal, seperti kaum disabilitas.

“Tarohlah KUR untuk perempuan, disabilitas, atau Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) dimana negara menunjuk badan khusus yang kemudian dikelola oleh badan yang bukan bank, seperti PT PMN (Permodalan Nasional Madani) dan Pegadaian,” terang Emmy.

Uniknya, program seperti UMi yang merupakan bantuan dari presiden untuk perempuan dan kelompok disabilitas, ternyata dari sisi judul masih sangat umum. “Saya melihat sifatnya masih netral gender, karena mereka tidak dianggap,” ungkapnya.

Pasalnya, ketika bicara tentang gerakan ekonomi perempuan di tingkat akar rumput, ternyata sudah dilakoni sejak lama. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran serta LSM perempuan yang pada dasawarsa 80-an bermunculan seiring tindak lanjut dari konferensi internasional tentang perempuan.

“Pada masa itu terjadi relasi ketimpangan gender di dalamnya sehingga harus dipush tentang pendidikan kritisnya, tentang  kesadaran gender. Partisipasi mereka juga terus didorong dalam pembangunan,” ujar Emmy.

Sejalan Dengan SDGs

Karakteristik perekonomian yang berbasis koperasi meliputi tiga hal, yakni; people, planet dan profit. Tiga hal itu sangat mungkin terwujud jika Indonesia mau memperbaiki struktur yang ada, termasuk tidak anti terhadap koperasi.

“Saat ini, koperasi ditaroh di kementerian khusus, karena sopan santun konstitusi, tetapi ternyata regulasinya dibatasi, dilimitasi dan itu menyebabkan koperasi tidak bisa punya bank,” ungkap Eva Sundari.

Di India, misalnya, siapapun bisa mendirikan bank, termasuk koperasi perempuan. Mereka akan difasilitasi dan tidak akan mendapat kriminalisasi. “Jika disini, tidak. Modalnya harus minimal Rp10 M,” katanya.

Di Afrika juga demikian. Setiap orang yang tergabung dalam koperasi berhak untuk membangun rumah sakit. Mereka juga dapat membuat instalasi listrik alternatif. “Ini kita dorong agar pemberdayaan yang inklusif itu bisa jalan. Tipe dan stigma sosial yang konstruksi sosialnya gender digunakan sebagai konstruksi sosial tentang koperasi,” terang penasehat InKUR itu.

Bahkan, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pernah melakukan riset dan ditemukan bahwa kekuatan koperasi sangat besar. Koperasi berdampak terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development), berdampak terhadap pengurangan kemiskinan, gender equality dan meningkatkan kualitas pendidikan serta pembelajaran sepanjang waktu.

“Ini semua difasilitasi dan diakomodasi oleh koperasi,” katanya.

Tak hanya itu, bidang kesehatan, ketersediaan/ kedaulatan pangan dan nutrisi yang baik serta akses terhadap air bersih juga diwadahi oleh koperasi. “Ini semua kan, tertuang di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Dari 17 tujuan tersebut, 12-nya bisa dilakukan oleh koperasi,” katanya.

Sehingga, menurut Eva, kita harus mulai berpikir bahwa memiliki koperasi merupakan sebuah keuntungan yang linear dengan mandat dari SDG’s. Hal itu membuktikan bahwa nilai koperasi kongruen dengan nilai-nilai SDG’s, yaitu: kesehatan, menanggulangi kemiskinan, tanggungjawab sosial, demografi, kesamaan hak, ekuiti, dan solidaritas.

“Itu merupakan tradisi dari koperasi yang mengedepankan prinsip kejujuran, terbuka, tanggungjawab sosial dan peduli terhadap orang lain,” katanya.

Eva menambahkan, “Ini nilai-nilai yang ada jika ingin bicara tentang pembangunan yang inklusif. Jika ingin inklusif, tapi gak embrace values ini, maka tidak akan sampai kepada ujung dari inklusif itu.”

Nilai-nilai itu yang kemudian menjadi pilar koperasi sehingga sukses untuk melaksanakan SDG’s. Koperasi akhirnya menjadi lembaga usaha yang pertama kali di ratifikasi di PBB untuk melaksanakan SDG’s. “Untuk melaksanakan Beijing +5, termasuk role pada lingkungan, dan seterusnya,” katanya.

Bahkan ILO selalu mengajak semua pihak untuk menggalakkan koperasi, karena terbukti menciptakan jutaan peluang kerja termasuk bagi kelompok rentan.

Hal serupa juga diutarakan oleh Emmy. Menurutnya, mayoritas UMKM dilakoni oleh kaum perempuan. Mereka tidak hanya berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga, namun juga terhadap bangsa dan negara.

“Mereka bisa dikatakan menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran dan bahkan mengurangi kemiskinan,” ungkapnya.

Itu artinya, mereka telah berperan penting pada pencapaian SDG’s, khususnya tujuan no.1 terkait pengurangan kemiskinan dan tujuan no.5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta tujuan no.8 terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

“Tetapi selama ini,  mereka tidak dianggap dan kurang dihargai. Apa yang mereka lakukan terkait gerakan ekonomi yang bergerak di akar rumput, dapat dikatakan sebagai fondasi ekonomi bangsa ini,” papar Emmy.

Hal itu terjadi karena ada faktor struktural dan budaya yang menempatkan perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Mereka dianggap sebagai pembantu suami.

“Jadi meskipun pendapatan yang mereka peroleh lebih tinggi dari suami, tetap saja diposisikan bukan sebagai pencari nafkah utama, namun sebagai pencari nafkah tambahan,” ujarnya.

Padahal ketika perempuan melakukan aktivitas ekonomi, mereka kerap dikenakan beban retribusi dan bayar pajak. “Karena tidak dianggap, maka program-program yang ada lebih kepada netral gender, belum kepada responsif gender,” pungkasnya.***