NTT Rasakan Dampak Krisis Iklim, Program Adaptasi Iklim G20 Sangat Dinantikan

Ilustrasi kekeringan di lahan pertanian akibat perubahan iklim. Foto : Ist.

NUSA DUA-BALI, ASPPUK –  Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah yang paling merasakan dampak perubahan iklim. Dampak buruk perubahan iklim mulai dirasakan warga NTT pada tahun 2011, sehingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali nanti diharapkan bisa menghasilkan program adaptasi iklim berbasis lokal.

“Apa yang kami lihat dan alami di 2011 adalah yang paling nyata di tanaman perkebunan. Coklat busuk buah, harga kopra jatuh. Jambu mete dan bunga kopi tidak sempat berbuah. Jadi rusak bunganya,” kata Perwakilan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) Mama Loretha saat menjadi narasumber pada sesi diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.

Bagi Mama Loretha yang tinggal Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, dampak perubahan iklim telah menyebabkan kerugian finansial secara massal. Hal itu bermula ketika musim hujan berlangsung lama hingga masuk ke musim kemarau.

Sebelumnya, Mama Loretha sempat terpikir bahwa anomali cuaca hanya terjadi di Pulau Adonara. Ternyata anggapannya keliru, karena perubahan cuaca ekstrem terjadi merata di seluruh Provinsi NTT.

“Waktu itu saya berpikir bahwa yang mengalami ini hanya di Adonara, tetapi ternyata seluruh Flores dan kepulauan. Solor juga kena, Pulau Rote, Sabu, Sumba, semua kena. Se-Nusa Tenggara Timur,” ungkapnya.

Sampai suatu ketika, inisiatif Sorgum sebagai pangan lokal mulai dikembangkan, Mama Loretha melihatnya sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan petani.

“Ternyata Sorgum lebih tahan terhadap perubahan iklim dan memang sudah ada di Nusa Tenggara Timur sejak lama,” katanya. Terbukti, ketika musim penghujan yang berlangsung lama, Sorgum tetap tumbuh.

Inisiatif menanam Sorgum dipimpin langsung oleh masyarakat, yakni Mama Loretha bersama Yaspensel.  Menurutnya, inisiatif tersebut merupakan solusi iklim berbasis lokal.

“Lokal karena dipimpin oleh masyarakat itu sendiri,” tegasnya.

Hanya saja, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit. Dari sisi kelembagaan, Mama Loretha sempat mengeluhkan sulitnya mengakses dana-dana perubahan iklim.

“Saya sempat sedih, ketika banyak tawaran yang masuk dan kita mendengar informasi pendanaan. Bagaimana mendapatkan dana itu. Ternyata itu harus diimbangi dengan administrasi yang baik,” ujar Mama Loretha yang juga tergabung dalam Koalisi Pangan Baik.

Hal itu merupakan tantangan, ketika syarat administrasi versus fakta lapangan berhadap-hadapan. “Maksud saya disini, orang pandai menulis, laporannya bagus, tetapi sebenarnya riil di lapangannya itu gak benar,” ungkapnya.

Sementara fakta di lapangan menunjukkan jika pembangunan di NTT dan Indonesia timur lebih berfokus kepada infrastruktur. Temuan itu menjadi keprihatinan tersendiri, karena ternyata dana perubahan iklim lebih ditujukan kepada investasi skala besar, bukannya menjangkau kelompok rentan.

Hal itu membuat Mama Loretha sempat berpikir, “Ya sudahlah. Kalau mereka tidak kasih kita dana, kita masih bisa bergerak.”

Komunitas Yaspensel yang dipimpin Mama Loretha kesulitan mendapatkan akses pendanaan untuk mengatasi krisis iklim, karena persyaratan yang rumit. Selama ini ini mereka hanya bermodalkan community base, yakni kehadiran petani yang mendukung gerakan mereka. Juga dibantu oleh dukungan organisasi masyarakat sipil dan keuskupan.

Lebih jauh, Mama Loretha menegaskan bahwa aksi adaptasi terhadap perubahan iklim telah mereka lakukan, meskipun sifat inisitifnya kecil. Dari hal-hal kecil itu, mereka melakukan perubahan.

“Selama ini kemana dukungan itu untuk kita yang sudah benar-benar melakukan inisitif yang mungkin dianggap kecil dalam mengantisipasi perubahan iklim,” tanya Mama Loretha.

Ia mengusulkan agar semua komunitas berjejaring serta melakukannya di tingkat lokal sehingga memudahkan saat mengakses pendanaan iklim. Dan jika memang ada pendanaan yang lebih besar, seharusnya tetap menyentuh tingkat akar rumput.

” Dana itu harus tetap dikelola oleh masyarakat lokal itu sendiri,”pungkasnya (Jacko/Wan).