Buruh Perempuan Rawan Alami Kekerasan di Sektor Perkebunan Sawit  

Buruh perempuan di ladang sawit Sumatra. Foto : AP.

JAKARTA, ASPPUK- Tindakan kekerasan, intimidasi, hingga pelecehan seksual masih terus menghantui para buruh perempuan di perkebunan sawit baik di Indonesia maupun buruh migran di Malaysia.

Staf ahli Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) Muhammad Firdaus  menyampaikan sektor industri perkebunan kelapa sawit memang berpotensi menimbulkan terjadinya kekerasan berbasis gender terutama buruh perempuan.

Namun kata Firdaus, kekerasan berbasis gender di sektor perkebunan sawit belum banyak diungkap karena berbagai alasan.

Karena Firdaus menyarankan agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) seharusnya mampu menyentuh industri kelapa sawit yang saat ini masuk kategori industri besar.

“Ini belum banyak dikulik dan diungkapkan, baik yang terselubung maupun yang masih dibawah karpet. Itu potensinya masih sangat besar,” ujar Firdaus ketika menjadi narasumber  pada sesi diskusi “Perempuan dan Iklim”  yang digagas Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang juga didukung oleh  Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK)  di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan industri kelapa sawit memiliki rantai nilai yang panjang dan di sepanjang rantai pasoknya terdapat titik-titik yang berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan berbasis gender.

Selain itu, perkebunan kelapa sawit tengah booming di Indonesia yang sarat dengan maskulinitas. Di setiap kegiatannya lebih banbyak melibatkan laki-laki, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya perempuan.

Ketika terjadi kekerasan di sektor kelapa sawit, hal itu tidak mudah untuk diungkap, karena lokasinya yang jauh. Untuk meminimalisiri terjadinya kekerasan berbasis gender,  Firdaus mengusulkan hadirnya kepemimpinan perempuan yang kerap disebut sebagai women leadership atau women agency.

“Supaya perempuan-perempuan ini bisa bernegosiasi, misalnya negoisasi dengan perusahaan sawit dan masyarakat. kita harus bangun alternatif livelihood,” ujarnya.

Apa yang disampaikan Firdaus, ini pernah diungkap oleh Investigasi Associated Press (AP) pada 2020 yang berhasil membongkar membongkar kasus pelecehan ini kerap dilakukan para mandor terhadap perempuan-perempuan pekerja lepas yang sehari-hari bekerja di perkebunan sawit di Indonesia.

Spesialis Perburuhan Sawit Watch yang juga Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler “Zidane” Pasaoran mengatakan potensi kekerasan dan pelecehan seksual memang besar terjadi di perkebunan sawit.

Meski memang tak ikut melakukan investigasi karena terkendala gender, Hotler mengaku kerap mendengar informasi-informasi pelecehan seksual yang dilakukan para mandor terhadap perempuan di perkebunan sawit ini. “Kalau soal kemungkinan (pelecehan seksual) ya ada. Karena memang pekerjaan di sawit ini berada di area terpencil,” kata Hotler seperti dilansir CNN Indonesia.

Menurutnya, medan di perkebunan sawit cukup mendukung para mandor yang rata-rata pria paruh baya untuk melakukan aksi bejat itu. Sementara banyak perempuan muda telah bekerja sebagai buruh kasar lepas di perkebunan sawit. Situasi dan keadaan membuat para buruh ini tidak bisa lepas dari jerat kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan bos mereka.

“Memang mereka (perempuan) bekerja kelompok, biasanya ada tim kecil disuruh misal menyemprot atau memupuk di blok berapa. Tapi blok itu luas kan, lebih kurang 25-30 Ha per masing-masing blok. Sementara perkebunan sawit itu luas dan rindang pohon-pohon besar banyak semak,” kata dia.

Meski begitu, Hotler belum bisa merinci berapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami para perempuan di perkebunan sawit ini. Sebab kata dia, penelitian langsung yang dikerjakan Sawit Watch memang belum merujuk pada hal tersebut.

“Kondisi memang berpotensi besar terjadi pelecehan. Tapi saya tidak bisa katakan (angka dan siapa) karena kita belum pernah bertemu korban langsung,” kata dia.

Tindakan kekerasan dan pelecehan seksual tak hanya terjadi di Indonesia, hal serupa juga dialami buruh perempuan migran yang juga bekerja di perkebunan sawit di negara tetangga seperti Malaysia.

Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Musdalifah menuturkan masih banyak ditemukan buruh migran perempuan di perkebunan sawit asal Sulawesi Selatan yang menjadi korban tindak kekerasan hingga pelecehan.

“Di tahun 2020 kami menemukan beberapa kasus yang sejak lama terus terjadi. Di mana situasi kekerasan, intimidasi, pelecehan, dan diskriminatif masih ditemui teman-teman yang bermigrasi khususnya mereka yang menjadi buruh di perusahaan sawit,” kata Musdalifah seperti dikutip dari VOA.

Para buruh perempuan ini rata-rata dipekerjakan di bagian memupuk, menyemprot disinfektan dan pekerjaan lain yang dianggap bukan pekerjaan inti. Padahal pekerjaan itu bisa masuk golongan berat dan berbahaya.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumarjono Saragih meyakini viralnya berita mengenai eksploitasi pekerja perempuan di perkebunan sawit sebagai bagian dari perang dagang dalam pasar minyak nabati dunia.

Dia berpendapat, ketika berbagai komoditas minyak nabati nonsawit tidak bisa lagi bersaing dengan minyak sawit, negara-negara maju melakukan kampanye negatif untuk merusak reputasi.

“Harapan mereka bisa memutus rantai pasok dari sisi buyer minyak sawit dan juga end customers dengan memviralkan isu-isu negatif,” kata Sumarjono.

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Cabang  Kabupaten Musi Banyuasin, Juliansyah yang mendampingi pekerja-pekerja buruh ini setidaknya mencatat, tiga permasalahan kerap dihadapi pekerja sawit. Di antaranya, kontrak kerja yang tidak jelas, status kerja dan walaupun status kerja sudah berubah menjadi pekerja tetap, namun sistem upah yang belum sesuai Upah Minimun Regional (UMR).

Selain perkara mendasar itu, pekerja perempuan yang lebih tidak mendapat perlindungan. “Padahal, pekerja perempuan di kebun sawit juga punya hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti menyusui, ketersediaan ruang menyusui, hingga edukasi pada anak-anaknya. Rata-rata, hak ini minim dipenuhi perusahaan sawit di Muba ini,” ujarnya seperti dikutip dari Suarasumsel.id.

Menurut Juliansyah, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pekerja seperti halnya kesejahteraan, hingga perlindungan juga merupakan tindakan kekerasan pada pekerja.
Di organisasi serikat buruhnya, juga terdapat divisi gender yang menjadi wadah bagi anggota-anggota serikatnya saling menguatkan.

Mereka rata-rata menyampaikan polemik yang dihadapi saat bekerja di kebun. Seperti, kondisi kamp yang tidak ramah dengan perempuan. Perusahaan melakukan pemindahan pada divisi kerja lain secara sepihak, sehingga membuat pekerja perempuan mengambil alih pekerjaan yang lebih pas dilakukan pekerja laki-laki.

“Aduan pada divisi gender banyak, seperti yang seharusnya tidak dikerjakan pekerja perempuan, malah dikerjakan. Contohnya, pekerjaan panen tandan itu ‘kan berat, seharusnya bukan pekerja perempuan. Ada juga soal jam kerja yang melebihi ketentuan. Karena pekerja perempuan ini rata-rata lebih tekun bekerja jika di kebun,” ungkapnya.

Yuliansyah pun mengakui pelaporan atas perlindungan perempuan tidak banyak disuarakan. Sehingga, ia pun mengharap pemerintah daerah juga makin masif mengawasi dan membina perusahaan sawit.

“Karena situasi pandemik seperti ini, tekanan pekerjaan akan semakin berat, terutama pada pekerja perempuan. Bukan hanya bekerja, pekerja perempuan harus menjaga diri, menjaga keluarga di kamp-kamp kebun, menjadi guru bagi anak-anak, karena sekolah pakai sistem daring. Belum lagi, jika ada keluarga yang sakit terinfeksi COVID-19. Beban ganda,” ungkapnya.

Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumater Selatan mengungkapkan selama tiga tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan sawit tidak banyak dilaporkan. Sepanjang tiga tahun terakhir, baru ada satu kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilaporkan buruh sawit. Peristiwa ini terjadi di mendekati akhir tahun 2021.

Kejadian pelecehan seksual dilakukan oleh mandor, sehingga Disnakertrans memberikan rekomendasi agar perusahaan memberikan sanksi tegas pada pelaku. “Belum sampai sebulan, proses pengaduan itu selesai. Pelaku tindakan kekerasan seksual itu diberhentikan perusahaan. Perusahaan patuh atas rekomendasi yang diberikan Disnakertrans,” kata Kepala Disnakertran Kabupaten Muba, H. Mursalin, SE. MM .

Ia mengungkapkan kasus-kasus ketenagakerjaan yang paling sering dilaporkan adalah perihal upah, PHK sepihak, yang ketidaksepakatan nilai pesangon.

Dia menambahkan serapan tenaga kerja perempuan di sektor perkebunan sawit di Muba tergolong tinggi. Serapan yang tinggi ini disebabkan karena perusahaan sawit membutuhkan tenaga kerja yang besar, dengan beragam pekerjaannya serta jumlah pekerja perempuan di desa juga banyak.

“Serapan pekerja perempuan di kebun sawit Muba memang tinggi. Itu pun, mungkin menjadikan alasan mengapa Muba menjadi pilot project soal perlindungan perempuan di sektor sawit. Bersama Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), dengan pilot project perusahaan sawit Hindoli and Cargil,” terang Mursalin.

Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Muba, Dewi Kartika mengungkapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tengah mendorong perlindungan pekerja perempuan dan di berbagai sektor usaha.

Di sektor perkebunan, Kabupaten Muba menjadi percontohannya, dibentuknya Rumah Pekerja Perlindungan Perempuan (RP3). RP3 ini menjadi wadah yang melibatkan lebih banyak pihak mencapai fungsi dan peran sebagai rumah perlindungan bagi pekerja perempuan.

“Kita harus akui, pekerja perempuan di perkebunan sawit ini besar. Karena itu butuh dukungan banyak pihak, agar perlindungan perempuan menjadi perhatian bersama,” ujarnya. (Jekson Simanjuntak/Marwan)