Oleh Mh Firdaus
“Usaha saya sabun langis. Ia merupakan produk olahan minyak jelantah yang diolah menjadi sabun cuci ramah lingkungan. Selama ini saya jual dari mulut ke mulut saja. Kini, saya pasang melalui on line. Nggak kebayang sebelumnya sih. Dengan bantuan pedamping, produk saya ada di Tokopedia. Sekarang, saya mampu mengunggah produk, meningkatkan promosi sampai mengelola pesanan”, ungkap Yomi Windi Asni, warga Bantul, Yogyakarta. Ia menjadi bagian program kerjasama Tokopedia, Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) dan Asosiasi Perempuan Pengusaha Usaha Kecil (ASPPUK) melalui Program Perempuan Wirausaha Tangguh dan Kreatif.
Pengalaman senada, Monita, perempuan muda kab. Maros, Sulawesi Salatan, mengembangkan pembibitan jamur, sesuai keahliannya sebagai mahasiswa biologi. Pandemi ini mendorongnya untuk jeli membaca pasar dan mengembangkan produk.“Anak muda tertantang dengan kondisi pandemi. Pasar yang tidak normal menjadi tes nyata produk yang sedang dikembangkan. Begitu pasar menurun, saya cepat mengganti bisnis. Yang penting coba saja…”, ungkapnya pada penulis. Kini, anak muda berduyun-duyun menciptakan kerja. Hasil survei kewirausahaan — sebelum Cofid-19 — dalam “The Asia Pasicif Entreprenership Insight survey 2019” oleh Herbalife menyebutkan tujuh dari sepuluh (71%) anak muda berkeinginan memiliki usaha. Monita reprentasi perempuan muda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dimentor ASPPUK, melalui program “Empowering Youth For Works”, bekerjasama OXFAM.
Covid-19 menimpa kehidupan kita selama sembilan bulan. Kondisi ini memberi pelajaran penting bagi kehidupan perempuan pelaku usaha mikro atau dikenal sektor informal. Seringkali pandemi memaksa keadaan untuk berubah. Bila tidak, secepatnya akan tergilas. Itulah yang kini dialami perempuan pelaku sektor informal terhadap berbagai tantangan baik teknis dan kultural termasuk ketidakadilan gender. Secara umum, persoalan perempuan pelaku sektor informal berat. Bila sebelum pandemi, mereka menjalankan beban usaha dan tugas rumah tangga sekaligus, kini saat PSBB (pembatasan berskala besar) diberlakukan, bebannya bertambah. Karena di masyarakat patriarkhal, meski perempuan telah menjalankan aktifitas ekonomi, tugas domistik tak berkurang. Pasangan suami sulit berbagi tugas dengannya.
Kehidupan di pedesaan, perempuan (sebagai istri) sering distereotipkan berada di rumah, sehingga kegiatan ekonominya dilekatkan dengan aktifitas di area rumah dan sekitar, seperti; catering, laundry, menjaga toko kelontong, dsb. Sementara laki-laki (sebagai suami) bekerja dan bebas beraktifitas seluas-luasnya di publik. Seolah setiap pekerjaan memiliki “jenis kelamin”. Kegiatan ekonomi yang dekat dengan rumah membuat perempuan tak lepas dari tugas rumah tangga. Atau pun bila ia tetap bekerja jauh dari rumah, tugas kerumahtanggaan tetap di pundaknya.
Survei ASPPUK terhadap PUK (perempuan pelaku usaha kecil-mikro) juga mengafirmasi situasi tersebut. Sebagian besar PUK menyatakan bahwa tantangan terbesarnya adalah keluarga. Kondisi tersebut mempertegas bahwa pengalaman perempuan dalam berekonomi berbeda dengan laki-laki yang melakukan aktifitas serupa.
Berdasarkan pengalaman itu, maka tingkat partisipasi perempuan di sektor kerja cenderung stagnan (Kemenkue, 2021). Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan tahun 2018 sebesar 55,44 %, 2019 sejumlah 55,5% dan 2020 sebesar 54,56%. Ini kalah jauh dari laki-laki rata-rata sebesar 83% di tahun yang sama. Data kontribusi pemasukan atau penghasilan perempuan pun stagnan setiap tahun, yaitu; 2016 berjumlah 36,42%, 2017 sebesar 26,62%, 2018 sejumlah 36,7%, dan 2019 sebesar 37,1 %. Dalam bahasa ibu Sri Mulyani, Mentri Keuangan RI, pengalaman yang berbeda membuat perempuan sulit bertarung di “playing field” yang sama. “Pastilah kaum perempuan tertinggal jauh, karena startnya bukan di garis yang sama dengan laki-laki”, ungkapnya di webinar “Perempuan Berdaya Indonesia Maju: Refleksi Awal Tahun 2021, Quo Vadis Perempuan Indonesia”, 4 Januari 2021, diadakan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI).
Dalam konteks ini, konsep kewirausahaan dan aturan yang berhubungan dengan laku ekonomi wajib mengintegrasikan perspektif gender. Contohnya di perpajakan, perlu dipikirkan insentif pajak bagi pelaku usaha yang jadi korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Begitupula di perizinan, yang selama ini berlaku umum bagi pelaku usaha. UU Cipta Kerja menjabarkan perizinan usaha berdasar tingkat kerentanan usaha dan pelaku. Disebut pada Pasal 12 (1) bahwa aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk: a. menyederhanakan tata cara dan jenis Perizinan Berusaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan b. membebaskan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Kecil.
Tingkat kerentanan perempuan pelaku usaha di sektor informal khususnya, berbeda dengan laki-laki pelaku usaha. Perlu turunan kebijakan di peraturan pemerintah tentang teknis dan tata cara perizinan. Misalnya sistem quota atau affirmative action bagi pelaku usaha tertentu, seperti perempuan miskin di kondisi tertentu, dsb. Tentu, pelaksanaan aturan ini didahului analisa data dan profil pelaku usaha serta tingkat kesejahteraan daerah yang rapi.
Pelajaran Pandemi Covid-19
Selain dampak negatif, pandemi Covid-19 juga memberi pelajaran positif bagi pelaku sektor informal. Penelitian berjudul, “Ora Obah, Ora Mamah (Studi Kasus Gender Pada Sektor Informal di Masa Pandemi Covid-19)”, diterbitkan FES, Kemenko PMK dan Sri Insitut, ditulis Dati Fatimah, dkk, 2020, menggambarkan bahwa fleksibilitas peran kerja khususnya di masa pandemi dibutuhkan perempuan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Tanpa disadari — atau bersifat alamiah– fleksibilitas pembagian kerja antara perempuan dan pasangan di masa pandemi tercipta. Ini bisa jadi karena tuntutan keadaan yang memaksa. Seperti karena suami mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahannya, sehingga mendorong sifat kesalingan tercipta. Suami mau berbagi tugas dengan istri, baik di aktifiyas ekonomi dan tugas rumah tangga.
Seperti terungkap “….setiap kegiatan yang dilakukan oleh perempuan selalu dilihat sebagai kegiatan “mengasuh” yang tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun, pengalaman perempuan pekerja yang berpartisipasi dalam studi ini menunjukkan bagaimana dikotomi publik-privat tidak benar-benar berfungsi mengatasi dampak ekonomi dari pandemi. Strategi yang perempuan lakukan justru menunjukkan bahwa fungsi publik dan privat harus dilihat secara seimbang, sehingga keberlanjutan produktivitas ekonomi di tingkat keluarga dapat dikelola dengan baik. (h.72)”.
Banyak ragam analisis dari kondisi diatas. Selain tuntutan ekonomi, faktor budaya (penelitian dilakukan di masyarakat Jawa, Yogyakarta) sehingga fleksibilitas kerja antara perempuan dan laki-laki meringankan beban perempuan di ruang domestik.
Temuan diatas menggambarkan bahwa fleksibilitas kerja dimana perempuan dan pasangan saling berbagi tugas mampu diciptakan bersama untuk mencapai keberhasilan usaha. Ini mematahkan pemahaman umum yang melekatkan pekerjaan domestik “milik” perempuan. Untuk menjaga keberlanjutan prinsip “kesalingan” atau berbagai tugas dalam aktifitas ekonomi khususnya, saatnya integrasi perspektif gender di seluruh rantai nilai aktifitas kegiatan ekonomi.
Upaya integrasi perspektif gender di ekonomi, khususnya sektor informal, akan berdampak positif untuk kesejahteraan secara umum. Pengalaman negara maju dan berbagai studi mengungkapkan bahwa secara makro, bila situasi perekonomian suatu negara memberikan kesempatan yang adil dan setara kepada perempuan dan lak-laki, maka situasi perekonomian negara mendapatkan benefit produktifitas dan kualitas yang lebih baik.
(Penulis, Mh Firdaus, Tim Ahli Seknas ASPPUK)