Kompas,7 Maret 2005. TAHUN 2005 dicanangkan sebagai Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI) yang secara resmi dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Februari 2005. TKMI adalah aktivitas lanjutan UN Year of Microcredit 2005 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pencanangan TKMI merupakan wujud keberpihakan dunia dan negara atas peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui lembaga keuangan mikro (LKM) mengingat angka pengangguran saat ini mencapai 40 juta orang, sementara negara mempunyai keterbatasan mengatasinya.
Jumlah UMKM mencapai 42 juta, atau 99,85 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. Bila setiap UMKM bisa menyerap satu tenaga kerja saja, maka akan ada 40 juta manusia yang mendapat pekerjaan. Pembicaraan tentang UMKM sering terkesan “netral jender”. Hal itu sebetulnya berimplikasi besar pada strategi penyusunan program dan institusi keuangan mikro sebagai mediumnya. Hal itu terlihat dari program Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam aspek nonfinansial maupun finansial yang tak menyinggung persoalan jender di dalamnya (Soetrisno, 2002).
Sebagai contoh, program penciptaan business development services (BDS) yang menyediakan beragam jasa semisal pelatihan manajemen dan teknik, konsultasi manajerial, perbaikan dan pemeliharaan, desain produk, sertifikasi produk, konsultasi jasa informasi, jasa informasi dan kurir, jasa konsultasi pasar, pialang perdagangan, perpajakan, hukum, dan sebagainya. Program penciptaan kondisi yang sehat bagi penguasaan teknologi dan pengembangannya, serta penumbuhan beraneka kreasi atas penguasaan teknologi komunikasi. Program pengembangan UKM dengan model cluster, yang berorientasi bisnis dan terfokus.
Ketiga aktivitas program tersebut didesain dengan cara pandang netral jender atau buta jender. Situasi perempuan pengusaha mikro dan laki-laki dilihat tanpa melihat adanya persoalan krusial yang khas pada masing-masingnya. Begitu pula dalam aspek pembiayaan, pelaku UMKM difasilitasi dengan pemberian kredit tanpa mempertimbangkan kesetaraan jender. Hal itu terlihat mulai dari kebijakan pemberian “dana santunan” BUMN lewat Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994, Kredit Usaha Tani dan kebijakan dana Rp 10,8 triliun untuk 12 skema kredit bagi UMKM di era Habibie, era Megawati, hingga sekarang berupa kebijakan Kredit Usaha Layak Tanpa Agunan bernilai Rp 56 triliun bagi UMKM.
Data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) 2001 memperlihatkan bahwa 44,29 persen kepemilikan usaha mikro berada di tangan perempuan, sementara di sektor usaha kecil hanya 10,28 persen. Walaupun jumlah laki-laki masih lebih besar (52,21 persen), namun berbagai kalangan berpendapat jumlah perempuan pengusaha mikro lebih banyak dari itu sebab data BPS dibuat berdasar pada kepemilikan usaha secara formal, bukan atas pelaku riil usaha di lapangan.
Selain persoalan jumlah, perempuan pengusaha mikro juga mempunyai persoalan berbeda dari yang dialami laki-laki pengusaha mikro. Bahkan perempuan yang bekerja di sektor usaha mikro menghadapi problematika lebih berat dibanding kaum laki-laki. Dalam menjalankan usahanya perempuan pengusaha mikro menghadapi dua hal sekaligus, yaitu problem teknis usaha dan problem struktural. Dalam problem teknis usaha perempuan pengusaha mikro mengalami hambatan yang sama sebagaimana pelaku usaha mikro umumnya, seperti kekurangan modal, keterbatasan penguasaan teknologi tepat guna, terbatasnya jaringan pasar, terbatasnya keterampilan manajemen dan penguasaan keterampilan teknis produksi, serta terbatasnya kemampuan pengembangan desain.
Namun, dalam problem struktural, perempuan tertimpa dua hal sekaligus. Pertama, beragam kebijakan pemerintah berupa peraturan yang tidak adil dan sertifikasi kelayakan produk baik di pusat maupun daerah, dan peraturan kelembagaan seperti perbankan yang memberi layanan kredit, serta ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Kedua, hambatan struktural yang berkaitan dengan “tubuh perempuan”, yaitu perempuan merasa kesulitan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik dan di masyarakat.
Sensitif kebutuhan perempuan
Dengan perbedaan di atas, membantu perempuan pengusaha mikro memerlukan pendekatan berbeda dengan pengusaha laki-laki. Intervensi pemerintah berupa program ataupun pendanaan lewat lembaga keuangan mikro yang sensitif terhadap persoalan dan kebutuhan perempuan mutlak menjadi arus utama. Karena dalam diri LKM sendiri sebenarnya tersimpan fungsi pemberdayaan bagi golongan tertinggal, maka perempuan pengusaha mikro yang selama ini terpinggirkan dalam banyak sisi patut mendapat porsi utama dengan program yang sensitif terhadap kebutuhan perempuan.
Di antara aspek sensitif jender yang perlu diperhatikan LKM, pertama adalah faktor lokasi LKM. LKM yang sensitif ialah yang dekat dengan lingkungan tempat perempuan berada. Hal ini karena perempuan pengusaha mikro sering kali terbatasi oleh mobilitas fisik dan kultur komunitasnya yang menganggapnya sebagai “makhluk rumahan”.
Kedua, LKM harus meniadakan mekanisme yang selama ini ada di lembaga keuangan formal (perbankan), seperti peraturan “izin suami”-implikasi dari UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974-yang memberatkan perempuan pengusaha mikro bila ingin mengajukan kredit pinjaman. LKM juga harus mengakomodasi hal-hal yang sering ditolak perbankan, seperti pinjaman yang terlalu kecil, standar pembukuan yang sederhana, ketiadaan kolateral bagi peminjam.
Ketiga, pendamping lapang yang mempunyai kapasitas dalam menangani persoalan teknis bisnis dan juga memahami persoalan ketidakadilan jender. Pendamping yang “buta jender” akan berakibat pada kemandulan fungsi LKM hanya sebagai penguatan-ekonomi, bukan sebagai “pemberdayaan perempuan”.
Keempat, LKM seharusnya mempunyai skema kredit yang ditujukan sebagai tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi perempuan pengusaha mikro. Sebagai contoh, kredit harus dibagi dua skema, yaitu kredit untuk “usaha” yang dikenai bunga dan kredit untuk “kebutuhan perempuan” yang tanpa bunga. Yang termasuk pinjaman untuk kebutuhan perempuan ialah pendidikan bagi perempuan, kesehatan terutama kesehatan reproduksi, pemilikan aset produktif, bahkan sampai biaya perceraian yang memerlukan biaya besar.
Kelima, karena dalam diri LKM terdapat fungsi “pemberdayaan” masyarakat kecil, maka capacity building (penguatan kapabilitas) perempuan pengusaha mikro sebagai pengakses modal perlu menjadi prioritas bahkan menjadi tujuan fundamentalnya.
Pintu masuk
Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa perempuan menjadi aspek penting dalam Tahun Keuangan Mikro Indonesia. Selain karena keterlibatan perempuan pengusaha mikro yang besar, juga aspek pembangunan “karakter” perempuan bukan saja dari sisi materi semata namun juga psikologisnya. Dengan berkelompok-sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari LKM-perempuan pengusaha mikro mampu menekan kasus penunggakan pengembalian kredit karena tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab melalui sistem tanggung renteng terhadap pengelolaan keuangan demi kesejahteraan bersama anggota kelompok.
Sesuai dengan falsafat dasarnya sebagai agen “pemberdayaan” masyarakat kecil dalam mengurangi kemiskinan, LKM akan tidak bermakna bila tidak didasari keberpihakan kepada nilai-nilai keadilan dan kesetaraan jender. LKM seharusnya bisa menjadi pintu masuk bagi pemberdayaan perempuan, baik dalam sisi ekonomi maupun politik perempuan.
M Firdaus, Koordinator Program Sekretariat Nasional Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil