“Saya ini seperti dimusuhi pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten. Katanya kalau ada saya, nanti persoalan jadi ruwet. Namun begitu, Saya ga peduli. Yang penting saya harus terlibat dalam semua program yang diperuntukan bagi pembangunan desa. Program-program pembangunan yg direncenakan untuk masyarakat harus nyampe ke desa. Pembahasan DAD (dana alokasi desa) pun saya
tidak pernah absen untuk mengikut . Kini berkat usaha saya, keterlibatan perempuan bisa 40% dalam perencanaan pembangun. Kalau dulu, sama sekali tidak direken”, ungkap Sukini, kader dan anggota JARPUK Wonogiri, yang hidup di desa Puritan Wetan, kec. Purwantoro, kab. Wonogiri. Berkat kegigihanya dalam pemberdayaan perempuan desa, ia diganjar penghargaan sebagai “perempuan” potensial yang melakukan pemberdayaan perempuan, oleh Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, bupati kala itu (tahun 2006).
“Jangan gampang menyerah. Ikhlaslah kalau bekerja bagi masyarakat”, begitu ia melanjutkan. Sambil menarik nafar sedikit dalam, perempuan yang pernah menjadi pengrajin batu Wonogiri, melanjutkan ceritanya dimana pergulatan menjadi kader telah dilalui sejumlah rintangan dan jatuh bangun. Bahkan ia mengurus kepentingan masyarakat secara sukarela, baik di desa, kecamatan, dan kabupaten tanpa ada uang transport. Dan memang, perjuangan itu dilakukan dengan sukarela kalau mau berhasil. Mendung yang menggelayuti langit di atas TBS (Taman Budaya Surakarta) malam itu seolah menjadi saksi bisu ikut menyimak seksama kesaksian keberanian perempuan dalam mengkritik diri dan kelompoknya.
Lain halnya yang disampaikan Giarsih, mantan ketua JARPUK Sragen. Dia berterima kasih atas dukungan ASPPUK sehingga mampu mengadvokasi kepentingan PUK sampai ke tingkat nasional, di mana ia bisa bertemu dengan meneg PP untuk menyampaikan “uneg-uneg” nya. Sejak itu, meneg PP langsung intruksikan gubernur sehingga program PNPM harus mengakomodasi permodalan bagi perempuan. Solah berbicara tanpa koma, bu Giarsih, yang biasa disapa “mami”, melanjutkan orasinya bahwa ASPPUK pernah memfasilitasi advokasi kemiskinan dengan dialog bersama Erna Witular. Hasilnya, keluarlah kebijakan KUR (kredit untuk rakyat). Dan berkat pendampingannya, kini saya menjadi dewan ketahanan dan penanggulangan kemiskinan kab. Sragen. Selain itu, ia juga mendapat penghargaan “inspirasing women” di kab. Sragen. Jarpuk Sragen, meski tidak mendapat program ASPPUK sejak 4 tahunan, namun kegiatan tetap ber jalan melalui iuran anggota.
Seperti diungkap diatas, pembumian gerakan ekonomi perempuan, untuk apa? Di sini, Didik Wahyudiono, fasilitator refleksi, menyentil secara kritis apakah kader perempuan yang hadir di sini telah berperan signifikan bagi kehidupan sekitar atau kelompok perempuan lain. Atau jangan-jangan yang mendapat manfaat hanya segelintir kelompok, sangat pribadi ? semoga tidak. Dan ini menjadi cambuk JARPUK untuk selalu memperbaiki diri. (Ditulis oleh M.Firdaus Deputi SEN ASPPUK).