Jakarta, Kompas – Perilaku boros pemerintah daerah, yang menggunakan separuh lebih Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk membiayai belanja pegawai, amat memprihatinkan. Hal ini mengakibatkan kondisi keuangan daerah semakin kritis.
Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Hadi Prayitno menuturkan hal itu di Jakarta, Senin (9/4). ”Perilaku boros pemerintah daerah (pemda) itu mengantarkan mereka ke jurang kebangkrutan,” ujarnya.
Tahun 2012 ada 291 daerah yang memproyeksikan untuk belanja pegawai lebih dari 50 persen dari APBD-nya. Jumlah ini meningkat sekitar 135 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Dari 291 daerah itu terdapat 11 kabupaten/kota yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen dan tertinggi 76,7 persen di Kota Langsa, Aceh.
Belanja pegawai dalam APBD membengkak karena pemerintah menetapkan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) secara berkala sejak tahun 2007 sampai 2011. Besaran kenaikan itu berkisar 5-15 persen serta ada gaji ke-13. Selain itu, ada pembiaran untuk rekrutmen PNS dengan tak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Organisasi di kabupaten/kota juga terlalu besar sehingga menambah beban terhadap APBD.
Diakui anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan, Kementerian Keuangan memang menemukan anggaran daerah habis untuk membiayai PNS. ”Jika pemda itu perusahaan, sudah bangkrut. Celakanya, walau APBD habis untuk PNS, tetapi masih ada PNS yang mengorupsi uang yang seharusnya dipakai untuk pelayanan publik,” katanya lagi.
Menurut Ade, APBD habis untuk birokrasi karena ada masalah dalam mekanisme rekrutmen PNS di daerah. Rekrutmen PNS tidak didasarkan pada kebutuhan daerah, tetapi untuk menampung keluarga pejabat serta kerabat elite lokal dan partai politik. Birokrasi ditempati oleh mereka yang bisa membeli kursi. (lok)