“Saya heran, ini anggaran pembangunan daerah atau apa ? Masalahnya kok banyak sekali yang dobel anggaran, khususnya anggaran untuk insentif. Kalo yang membaca murid TK (taman kanak-kanak) sih, mungkin ga masalah, namun saya begini-gini kan bisa baca, jadinya panas melihat model anggaran (APBD) seperti itu”, ungkap Suwati, perempuan Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah.
“Aduh mendidih rasanya ……setelah tahu tentang APBD ya….Pantes hidupku semakin mblangsak (sengsara) karena duitnya banyak dipakai oleh pejabat”, Siti Rukemi, warga Pejaten Timur, Jakarta Selatan.
Potret kekesalan warga di atas terjadi saat mereka melihat RAPBD (Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah) tahun 2006, dalam suatu pembahasan informal dikalangan kelompok perempuan di desa-desa. Faktanya kemudian, di sejumlah daerah RAPBD disyahkan walaupun diiringi protes masyarakat. Menurut amatan ASPPUK, APBD 2006 di banyak daerah Indonesia – seperti anggaran tahun sebelumnya – belum responsif gender (atau Gender Blind Policies). Artinya, APBD disusun dengan tidak mengakui perbedaan antar jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) yang berbeda-beda situasinya. Sehingga asumsi yang dipakai menjadi bias dalam menentukan relasi gender, akibatnya penyusunan APBD cenderung untuk tidak melibatkan perempuan.
Hal itu sama dengan temuan Need Assessment Survey yang diadakan Women Section (WS) di 20 kabupaten pada bulan Juli 2004, yang menyatakan bahwa APBD kurang mencerminkan kebutuhan masyarakat kecil, terutama perempuan. Kabupaten Semarang satu contohnya. Untuk tingkat Jawa Tengah, kabupaten terluas ini menempati angka gizi buruk tertinggi. Namun anehnya, anggaran untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak tidak ada (nihil) dalam APBD 2006. Yang melonjak, justru tambahan anggaran untuk kepentingan “biaya aparatur” pada Dinas Kesehatan, seperti ongkos fotocopy, uang lembur, dsb, yang sebenarnya sudah ada di pos “anggaran pegawai”.
Hal sama terjadi di kab. Rejang Lebong, propinsi Bengkulu. Setelah era otonomi daerah, kasus anak kurang gizi mulai bermunculan, namun lagi-lagi anggaran untuk kesehatan masyarakat – khususnya untuk ibu dan anak – pada APBD 2005 lalu hanya 0%. Hal sama terjadi pada APBD 2006 yang minim alokasi bagi penanganan gizi buruk masyarakat miskin. Namun anehnya, pejabat kab. Rejang Lebong bisa menganggarkan 4,8 milyar untuk pembelian mobil. Alasan klise pemda dan DPRD atas minimnya anggaran pembangunan manusia, karena menurutnya anggaran tersebut dicover pemerintah pusat dalam APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara), melalui DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Namun kenyataannya, anggaran melalui DAU dan DAK ternyata “diparkir” sejumlah kepala daerah ke dalam instrumen surat berharga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang besarnya mencapai Rp 43 trilyun, seperti diungkap Mentri Keuangan RI (Kompas, 29/juni/06).
Sementara itu pada tingkat nasional, pengalokasian anggaran bidang pembangunan manusia (“human development”) — termasuk kesehatan dan pendidikan –, jumlahnya terbatas. Dalam APBN 2006, mata anggaran untuk sektor yang berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan, mendapat alokasi marjinal (alokasi anggaran untuk kesehatan hanya Rp 37,830 trilyun, dan pendidikan hanya Rp 40,1 trilyun) dari total anggaran Rp 375,1 trilyun. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib pembangunan manusia dan penanggulangan kemiskinan ke depan, dengan minimnya anggaran ?
Pelanggaran Regulasi
APBD dua kabupaten di atas laksana cermin bagaimana nasib penduduk miskin – terutama perempuan dan anak – di kabupaten pada tahun 2006. Di sini, penulis tidak akan menjabarkan kecurangan APBD setiap kabupaten, tetapi marilah kita lihat apa yang terjadi dalam APBD dan hubungannya dengan tingkat kemiskinan – khsusunya perempuan dan anak . Tahun 2005, kita dikejutkan dengan maraknya busung lapar (gizi buruk) di NTB (Nusa Tenggara Barat), dimana perempuan dan anak yang terkena dampaknya. Namun saat yang bersamaan, jumlah ketersediaan beras malah berlebihan. Anehnya, alokasi anggaran langsung untuk masalah itu tidak tertulis secara eksplisit dalam APBD 2005 Lombok Barat – sebagai salah satu wilayah busung lapar.
Keengganan sejumlah daerah untuk menerapkan anggaran yang responsif gender dalam penyusunan APBD 2006 maupun APBD 2005, sebenarnya tidak bisa dibenarkan. Sebab sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No.132 Tahun 2003, Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, bahwa mulai tahun 2004, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang responsif gender sudah dimulai dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Hal itu juga sesuai dengan Kepmendagri N0.132 thn 2003, bab V, pasal 11 ayat 3, yang menyatakan bahwa keputusan tersebut mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya, 28 Desember 2003 oleh Mendagri kala itu, Hari Sabarno.
Lebih jauh, mulai tahun 2004 semua perencanaan kebijakan pembangunan – termasuk dalam APBD – harus menggunakan kerangka “anggaran yang responsif gender”. Hal itu seperti tertuang dalam Bab II, ayat 1 dan 6, “Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan dibedakan atas perencanaan kebijakan, perencanaan program, perencanaan proyek dan perencanaan kegiatan dalam jangka panjang, menengah dan pendek”. Sementara dalam ayat 6 nya lebih mempertegas bahwa ,” Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) disertai dengan perencanaan anggaran yang responsif gender”.
Regulasi kebijakan yang responsif gender di atas juga mengkongkritkannya sampai pada taraf alokasi pembiayaan dalam setiap APBD. Seperti yang tertuang dalam bab III, pasal 9 ayat 1, “Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing?masing Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang?kurangnya minimal sebesar 5 % (lima persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota”. Namun realitas di lapangan, APBD 2006 sebagian besar kabupaten/kota masih enggan untuk mengalokasikan dananya sebesar 5 persen dari total APBDnya.
Dalam realitasnya, Kepmendagri 132 thaun 2003, tidak secara tegas membicarakan tentang anggaran yang responsif gender. Peraturan tersebut hanya “menganjurkan” tentang pengarusutamaan gender dalam penyusunan program dalam yang dibebankan dalam APBD (pasal 9 ayat 1), tidak mengharuskan bahwa semua perencanaan dan penyusunan program dalam APBD menggunakan alat analisa “gender budget”. Selain itu, kekuatan Kepmendagri 132 tahun 2003, pada struktur perundang-udangan penganggaran belum kuat. Sehingga pengindahan pemerintah dan legeslatif daerah atas hal itu, tidak mendapat sangsi apapun dari mentri dalam negri. Ke depan, sekiranya perlu ada peraturan yang lebih kuat untuk “mewajibkan” semua APBD yang mengharuskan penyusunan APBD dengan kerangka “gender budget”.
Advokasi Gender Budget dan Investasi Jangka Panjang
Perjuangan untuk terciptanya kebijakan – penganggaran APBD – yang responsif gender, merupakan investasi jangka panjang. Walaupun sudah ada kebijakan yang mengakomodasinya, namun political will pemerintah – baik pusat maupun daaerah –perlu didorong. Realitas di lapangan, sejumlah aktor kunci dalam penganggaran APBD belum memiliki “sensifitas” keadilan dan kesetaraan gender. Secara seremonial, semua kepala daerah setuju dengan penganggaran APBD yang responsif gender – sesuai Kepmendagri No.132 thn 2003. Namun pada tingkat kepala dinas yang menyusun anggaran setiap bagian (atau dinas yang ada dalam pemerintah daerah), hal itu tidak tergambar. Kalau pun ada daerah yang mengimplementasikan anggaran responsif gender, dengan pembentukan biro pemberdayaan perempuan maupun efesiensi pos “pembiayaan aparatur” misalnya, hal itu baru sebatas “niat baik” kepala daerah. Contohnya, pemerintah kota Palu yang melakukan efisiensi 1,4 milyar dari APBDnya, dan pemda kab. Jembrana Bali, yang menyediakan pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan cuma-cuma bagi masyarakat tak mampu.
Maka ke depan, sebaiknya kongkritisasi political will pemerintah perlu didorong terus. Wujud nyatanya ialah adanya peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan bahwa RAPBD harus disusun dengan responsif gender. Selain itu, peningkatan kapasitas (Capacity Building) tentang anggaran yang responsif gender bagi kepala dinas dan anggota DPRD perlu dilakukan. Sebab pengalaman menganjarkan bahwa persoalan krusial awal penyusunan APBD terletak di kepala dinas (sebagai penyusun anggaran sektor sebelum dilihat kepala daerah), dan kedua di DPRD. Kemudian dalam tataran luas, masyarakat perlu disadarkan bahwa situasi yang adil dan peningkatan pembangunan manusia memerlukan penganggaran yang “responsif gender”. Artinya, penganggaran yang responsif gender menjadi “sarana” awal – bukan tujuan – untuk terciptanya pembangunan yang bermakna bagi perempuan dan laki-laki.
(Penulis, M.Firdaus, Koordiantor Program Sekretariat Nasional ASPPUK. Tulisan di atas adalah pendapat pribadi dan hasil amatan dari berbagai advokasi terhadap APBD 2006. Tulisan ini versi asli sebelum dimuat di Tabloid Setara, edisi 5 Tahun 2006)