Pasar tradisionl, merupakan tempat penting bagi perempuan pedagang keci-mikro (PPK-mikro). Hal itu bisa dilihat pada pasar-pasar tradisional di perdesaan, dimana sebagian besar dihuni perempuan pedagang kecil-mikro. Pasar bisa diibaratkan sebagai “urat nadi” sebagian besar usaha PPK-mikro. Maka tak heran – mengambil contoh di lokasi bencana – bila ditanya apa yang dibutuhkan kepada perempuan usaha mikro di perdesaan – selain modal –, ternyata lokasi berusaha, atau “pasar”. Hal itu terucap setelah – dengan pasti – semua kebutuhan emergeny – seperti sandang, pangan dan papan — terpenuhi.
Namun sayangnya, pasar tradisional yang selama ini ada terkadang belum “ramah” terhadap PPK-mikro yang berdagang di dalamnya. Diantaranya; lokasi pasar seringkali jauh dari permukiman warga, khusunya sentra produk yang akan dipasarkan PPK-mikro, normalisasi pasar (dengan diganti pasar modern) oleh pemerintah daerah seringkali tidak memperhatikan perempuan pedagang, sehingga melambungkan harga kios dari seblumnya, rentanya PPK-mikro dari “pemerasan” preman pasar karena dianggap lemah, hilangnya sarana untuk kegiatan reproduksi perempuan (seperti tempat menyusui anak di pasar), sulitnya mencari sumber permodalan yang “ramah” terhadap PPK-mikro.
Kendala di atas belum ditambah dengan problem ketidak-adilan gender yang dihadapi PPK-mikro. Walaupun perempuan telah menjadi pedagang kecil-mikro di pasar, ini tidak tidak berarti perempuan dapat melepaskan diri dari beban kerja domestik. Realitasnya, saat sebelum berangkat maupun setelah pulang berdagang, PPK-mikro selalu menyempatkan diri untuk memasak, atau menyelesaikan pekerjaan domestik. Ini berbeda dengan pedagang laki-laki, yang bisa dengan santai duduk sambil merokok saat pulang dari pasar dan langsung beristirahat. Padahal harusnya, pekerjaan domistik bisa disubstitusi atau digantikan suami, bila tidak mempunyai aktifitas lain. Yang terjadi, perempuan tetap mengerjakan pekerjaan itu. Di sini lah – salah satu — letak pembagian kerja yang tidak fair bagi perempuan pedagang. Walaupun ada kasus dimana suami dan istri bisa berbagi peran, namun jumlahnya tidak seberapa. Makannya terkadang dijumpai perempuan pedagang kecil yang sukses, bila kendala domistik mulai terkurangi. Misalnya usia anak sudah mencapai lima tahun sehingga bisa ditinggal, atau mendapat izin sepenuhnya dari keluarga (khususnya suami). Dalam hal ini menarik untuk menyimak suvei ASPPUK tahun 2003 terhadap perempuan usaha kecil (PUK) di 15 kabupaten dan 8 profinsi, yang menyatakan bahwa kendala terbesar PUK dalam bersusaha adalah pihak keluarga (dan lebih khusus suami).
Dengan kondisi seperti itu, LSM selayaknya melakukan “pemberdayaan” perempuan pedagang kecil di pasar secara integratif. Yaitu dengan pengembangan strategi yang komprehensif dalam pengembangan ekonomi perempuan dengan memberikan treatmen dalam berbagai aspek dan mempertimbangkan integrasi semua aspek pendekatan maupun content serta proses. Kongkritnya, pada tataran strategi dan kegiatan, aktiftas yang dilakukan untuk penguatan PPK-mikro dilakukan, melalui; pengorganisasian, layanan informasi, pelayanan modal, dan advokasi.
Pertama, pengorganisasian, untuk menghimpun kekuatan PPK-mikro. Hal itu dilakukan, karena PPK-mikro di pasar sering mengalami berbagai ketidakadilan – baik dari preman maupun pemerintah. Dalam pengorganisasian dilakukan kegiatan berupa: a) fasilitasi pembentukan kelompok perempuan pedagang kecil-mikro yang diikuti antara 10 – 25 orang, b) Konsultansi melalui Pendampingan secara kelompok dan individual (atau kunjungan individu ke rumah anggota dengan melibatkan keluarga), c)Pelatihan yang dikelompokan dalam 3 model yakni; pertama pelatihan peningkatan pemahaman, diantaranya Motivasi usaha sebagai pelatihan dasar yang menekankan pada aspek mentalitas perempuan untuk berusaha. Terus disusul dengan ”kesadaran gender”, dan kemudian ”Pemahaman hak-hak perempuan sebagai warga negara. Kedua, pelatihan ketrampilan, seperti perencanaan usaha, manajemen keuangan, pemasaran, produksi dan manajemen kelompok. Ketiga,pelatihan penguatan sikap seperti; kepemimpinan perempuan, kemampuan advokasi, dan bersikap tegas (asertifeness).
Kedua, layanan informasi yang dimaksudkan untuk memberikan wawasan bagi perempuan melalui selebaran, brosur maupun buku saku tentang topik ”usaha”, kesehatan maupun masalah aktual yang disertai norma agama yang menekankan pentingya usaha bagi kelangsungan hidup. Ketiga, pelayanan modal melalui mikro kredit. Bantuan Modal akan dipergunakan untuk tambahan modal yang bergilir (Refolving Loand Fund) untuk pengembangan usaha. Adapun penyaluran kredit mikro mempunyai dua skim. Yaitu, jenis kredit untuk usaha dan kredit untuk kebutuhan perempuan seperti pendidikan (anak dan perempuan), kesehatan, perumahan, dan pemilikan aset produktif tanpa bunga (atau berbunga ringan). Keempat, advokasi atas persoalan yang dihadapi PPK-mikro baik yang terkait dengan budaya maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal itu, difasilitasi untuk penguatan PPK-mikro agar mampu melakukan lobby dan negosiasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan, khusunya kebijakan pemerintah yang menyangkut usaha dan pengembangan ekonomi rakyat kecil termasuk perempuan.
Semua energi LSM dan PPK-mikro di pasar tradisional selama ini ialah menginginkan berbagai kebijakan kongkrit dari pemerintah lokal khusunsya, dan nasional umumnya. Diantaranya; pertama, fasilitasi rakyat dengan pasar tradisional yang “ramah” kepada perempuan pedagang kecil-mikro dari sisi kesehatan reproduksi, permodalan, dan jaminan keamanan yang memadai. Kedua, pasar tradisional hendaknya ditempatkan yang dekat dengan tempat tinggal dimana masyarakat bermukim. Ketiga, rehabilitasi pasar-pasar tradisonal yang kini marak, hendaknya tidak malah menyengsarakan perenpuan pedagang kecil, seperti dengan menaikan ongkos sewa lokasi usaha, dan penempatan yang tidak strategis. Keempat, mini-market yang sekarang menjamur di kecamatan-kecamatan, hendaknya dibuat regulasi yang menganturnya supaya tidak berdekatan dengan pasar tradisional. Karena hal itu akan merusak tatanan sosial dan ekonomi yang ada. Kelima, pemda hendaknya bekerja dengan LSM untuk memberikan penguatan kapasitas yang integrative kepada perempuan pedagang kecil-mikro melalui pendanaan APBD. Hal ini penting, untuk mendorong pulihnya perekonomian rakyat yang berakibat pada pengurangan penganguran dan “penurunan” kemiksinan di satu desa. (M.Firdaus, Deputi sekretariat nasional ASPPUK)
Artikel ini adalah versi asli, sebelum dimuat di Newaletter SMERU, edisi No.22: April-Juni/2007, tentang Pasar tradisional di era persaingan global.