Siang terik di desa Oelpuah, kec. Kupang Tengah, kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur, layaknya berada di gurun pasir yang “merangas”, menantang matahari musim panas. Desa itu seperti daerah lain di kab. Kupang yang menanti kucuran hujan di siang bolong itu. Musim panas yang lebih panjang membuat pepohanan yang mengandalkan air hujan untuk kelangsungannya, terpanggang di bawah terik panas.
Pohon dan tanaman mengeliat saat hujan turun di bulan Desember hingga Februari. Tahun 2012 sedikit berbeda, karena tiba-tiba musim menggeser bulan yang bertahun-tahun telah pasti. Buktinya, hingga bulan Maret, hujan masih berlanjut. Konsekwensinya musim panas makin mundur hingga akhir tahun 2011 lalu.
Namun bukan hikayat alam desa Oelpuah yang akan diceritakan. Kondisi alam memang telah menerpa semua desa di kab. Kupang selama bertahun-tahun. Sehingga hampir di kebanyakan desa tersandra “lingkaran” kemiskinan tak berkesudahan. Desa Oelpuah merupakan salah satu gambaran itu. Alamnya yang berbatuan dan jauh dari jalan propinsi, memperparah penderitaan masyarakat. Sarana dan prasarana yang jauh dari standar, seperti terlihat pada; lokasi Pustu (puskesmas pembantu) yang jauh dari permukiman warga, SD (sekolah dasar) yang tak dihuni guru terbaik, menjadi lukisan desa yang masuk dalam kecamatan Kupang Tengah. Mungkin karena situasi “kesengsaraanya” itu, sehingga banyak program bantuan pemerintah yang hilir-mudik di desa tersebut. Namun sayangnya, kemiskinan dan ketertinggalan enggan lenyap dari desa yang bersebelahan dengan desa Noelbaki, yang terkenal dengan penumpukan program, sehingga kemakmuran warganya terus bergerak. Bermukimnya anggota DPRD di desa Noelbaki disinyalir menjadi sebabnya. Sang dewan merasa malu bila desa tempatnya berdiam, berkubang dalam kemiskinan.
Kembali ke desa Oelpuah. Situasinya diperparah dengan aparat desa yang tidak terbuka dan sulit menerima masukan orang luar yang hendak ikut membangun kesejahteraan masyarakat. “Uh…terasa capek hati ini, bila mengenang awal masuk ke desa Oelpuah”, ungkap Yanti Malelak, pendamping masyarakat YAO (yayasan alfao mega), saat berbincang santai dengan penulis 8 Maret 2012, di kantin kantor YAO, kab. Kupang, dengan nada lirih. “Jalan yang sulit untuk dilalui saat hujan meski tidak sejauh kalau ke East Timor, dan tanggapan aparat desa yang sulit diajak berembuk untuk memberdayakan masyarakat, membuatkku berjibaku untuk menemukan cara,” lanjutnya. Kala itu menurutnya, suasana aparat desa tidak ramah dan mudah-curiga kepada pendatang. Namun ia tidak putus asa, dan sesering ia berkunjung semakin banyak informasi yang didapat. Suara rakyat, apalagi usulan kelompok perempuan seperti lenyap ditelan bumi saat rembug desa. Tidak dianggap. Akibatnya musrenbang (musyawarah pembangunan) regular dan forum yang digagas desa tidak dianggap penting masyarakat. Kondisi itu terjadi bertahun-tahun. Dapaknya adalah gambaran “buruk-rupa” desa hampir menghiasi pemandangan mata penduduk. Jalan desa selalu rusak setelah diperbaiki, meski musrenbang rutin dilakukan setiap tahun.
Kondisi diatas dianggap Yanti sebagai tantangan saat mengajak masyarakat terutama kelompok perempuan untuk ikut mendorong integritas dan akuntabilitas aparat desa Oelpuah. Ia membutuhkan waktu 3 (tiga) bulan untuk betul-betul menyentuh hati masyarakat, terutama kelompok perempuan guna melakukan perubahan. Caranya, dengan pengorganisasian kelompok perempuan guna menuju perumusan dan penganggaran program pembangunan desa yang sesuai kebutuhan. “Saat kami berkunjung ke kepala desa, eh, dia kasih nama orang yang itu-itu saja. Akibatnya kegiatan sulit berjalan. Akhirnya kami mencari jalan lain, yaitu dengan langsung bertanya kepada masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kepada perempuan langsung saat ada jadwal posyandu. Di situlah kami mengobrol dengan ibu-ibu tentang pentingnya melakukan perubahan melalui kelompok perempuan”, timpalnya.
Pelan namun pasti, ia melakukan penguatan dan pengorganisasian masyarakat sejak Oktober tahun 2010. Di saat masyarakat mulai percaya kerja-kerjanya, ia mengadakan kegiatan yang direncanakan dalam program SIAP 2 ((Strengthening Accountability and Integrity Program II), seperti mengadakan diskusi kampung selama berkali-kali – meski dalam perencanaan hanya 2 kali – dengan lokasi dusun yang terpaksa dipisah, karena keberadaan rumah yang berjauhan. Dari satu diskuisi kampong ke diskusi kampung lain, masyarakat hadir berduyun-duyun. Sampai acara diskusi kampong yang terakhir, hampir 70 orang masyarakat yang terdiri dari; tokoh masyarakat, agama, BPD, kelompok perempuan, kakek, nenek, ibu-ibu hamil dan membawa anak kecil menghadiri pertemuan. Bahkan bila ada acara diskusi kampong, kegiatan pertanian dihentikan sejenak demi mengikuti kegiatan. Saat penulis ajak bicara seorang darinya, kenapa mereka tertarik dengan kegiatan, ia menyatakan bahwa setidaknya mereka bisa mengungkapkan keluhan ketimpangan pembangunan desa yang selama ini dipendam.
“Kini, saat kami mengadakan kegiatan, seperti workshop tingkat kecamatan, mereka hanya di telpon lewat salah seorang untuk terlibat dalam kegiatan, dengan segera mereka mengabarkan kawan-kawan lain. Bahkan surat undangan kegiatan malah diambil sendiri oleh mereka”, ungkap Yanti dengan muka berseri. “Kalau dulu, kata Kaur desa, bila pak Lurah mengadakan musrenbang desa, jarang sekali ada yang mau hadir”, lanjutnya.
Pekerjaan rumah YAO adalah bagaimana menjaga soliditas dan semangat optimisme rakyat Oelpuah saat program berakhir. Untuk itu, Yanti memiliki strategi keberlanjutannya, yaitu dengan mengadakan kegiatan ekonomi keluarga. Salah satunya pelatihan pembuatan usaha kripik pisang, pengembangan tanaman sayur, dsb. Kini, masyarakat mulai bergerak dan bangkit semangatnya. Apalagi sejumlah program yang selama ini diusulkan seperti pengadaan bantuan BOS yang transparan dan pelibatan program-pogram pembangunan telah menjadi milik masyarakat. Saat workshop di tingkat kecamatan diadakan, mereka mampu menghadirkan 20 orang untuk hadir dan aktif di acara tersebut. Mudah-mudahan ini awal yang baik bagi pembangunan desa Oelpuah dan menular kepada desa lain di kabupaten Kupang. Semoga. (Disusun M. Firdaus, deputi SEN ASPPUK, dari berbagai sumber)