(Kisah Perempuan tertimpa gempa, bangkit bersama LKP)
Oleh Retno Kustati
“Yen manut wae yo rekasa,” kata Munjilah saat menginisiasi Lembaga Keuangan Perempuan (LKP).
Para penggerak perempuan tersebut merasa perlu mengorganisir diri untuk menghadapi situasi bencana secara bersama-sama. “Kalau sama bapak-bapak kita nggak dianggap. Dianggapnya kita nggak paham. Lagipula soal-soal yang kita perjuangkan itu dianggap bukan urusan perempuan,” lanjut nara sumber.
Di sela-sela aktivitas mempersiapkan LKP, mereka membersihkan puing-puing bangunan, dan tetap berusaha untuk bisa bertahan hidup. Munjilah tetap kulakan di Pasar Bantul untuk dijual di desa. Warti mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual ke tukang ojek. Jiyem tetap menjadi buruh bangunan di desa lain. Ranti meremajakan tanaman yang rusak. “Sing penting usaha, nomor dua rumah,”katanya yang kemudian dia menggadaikan SK PNS nya sebagai jaminan untuk meminjam membangun rumah. Baginya berpangku tangan dengan mengharapkan imbalan atau bantuan pemerintah tidak baik dilakukan. Mereka mengaku tidak takut ancaman elit desa yang tidak memasukan mereka dalam pendataan rumah yang harus diperbaiki. “Daripada terlalu lama menunggu yang belum jelas, ya….diperbaiki sendiri saja semampunya. Bisanya hutang ya..hutanglah,” katanya penuh semangat.
Lain lagi yang dilakukan Sanikem yang rumahnya hancur, merasa tidak keberatan tinggal berbulan-bulan di tenda asalkan usahanya membuat emping kembali menggeliat. Baginya tidak ada waktu meratapi nasib atau menunggu uluran pemerintah atau pihak lain, “Wah…bisa-bisa anak-anak tidak bisa makan”.
Pengalaman empirik diatas menunjukan bahwa kemampuan beradaptasi, menentukan prioritas dan mengambil keputusan terhadap prioritas usaha lebih dahulu dipulihkan ketimbang rumah, serta percaya akan kemampuannya merupakan factor utama pemulihan. LKP merupakan jalur pengaman jangka panjang yang perlu diperjuangkan.
LKP Yang Berdaulat
Upaya untuk mengorganisir diri membentuk LKP, bukan perkara mudah pada masyarakat yang dihujani bantuan. Masyarakat beranggapan, bantuan mendirikan LKP adalah hibah yang dapat dihabiskan tanpa sulit-sulit mempertanggung-jawabkan nya. Untungnya, sejak awal para perempuan yang sudah satu misi tersebut mempunyai mimpi yang sama, yaitu membangun lembaga keuangan yang bisa memfasilitasi kebutuhan perempuan secara berkelanjutan. Mereka pun berdiskusi mengahasilkan aturan-aturan sebagai pijakan pendirian LKP, lengkap dengan urusan manajemen dan administrasinya.
Awalnya memang terasa berat. Tantangan datang dari dalam dan luar kelompok. Dari dalam, para perempuan berharap LKP berkelanjutan, namun mereka tidak tahu cara mempertahakannya agar terus berlanjut.
Mimpi tentang lembaga keuangan tidak datang tiba-tiba, melainkan berangkat dari analisis bahwa mereka tinggal di zona merah gempa, yang sewaktu-waktu gempa susulan terjadi. Bila mereka memiliki LKP sebagai sumber rujukan keuangan, maka mereka siap jika terjadi pengulangan gempa. Mereka berfikir lebih panjang, uang yang digelontorkan untuk pemulihan tidak dihabiskan, namun diputar dan menjadi dana abadi milik perempuan.
Dari luar kelompok, para lelaki masih terus merongrong karena mereka menghendaki dana dari pihak luar dikelola oleh mereka, sementara banyaknya tawaran program yang digelontorkan oleh pihak lain juga menjadi tantangan tersendiri. Akan tetapi, kelompok perempuan ini tetap konsisten dengan kesepakatan yang dibangun. Banyak tantangan dan godaan membuat mereka semakin bersatu membangun keberlanjutan yang telah disepakati pada awalnya. “Mari ibu-ibu kita bergandengan tangan, supaya kita bisa cepat bangkit dari keterpurukan bencana. Bencana membuat membuat kita banyak belajar tentang hidup. Tantangan kita bagaimana bantuan ini tidak hilang sesaat, namun bisa diturunkan ke generasi berikutnya untuk kehidupan yang lebih baik”, kata Inayah mengawali pendirian LKP.
Sejak awal kemampuan mengelola uang, menegakkan aturan, mengorganisir anggota diragukan. Lambat namun pasti, mereka belajar banyak hal; belajar dari yang paling mudah, belajar dengan semangat dan membangun kebersamaan , melibatkan semua anggota dst. Pada akhirnya mereka menunjukan bahwa semua yang dituduhkan hanyalah sekedar mitos. Inayah tersenyum bangga, ketika kerja-kerjanya diapresiasi oleh pihak lain, Warti yang sebelumnya tidak bisa administrasi menjadi bisa melakukan, Munjilah yang sebelumnya tidak pernah memegang uang sampai ratusan juta ternyata juga mampu menjaga amanah, Iyah yang awalnya diragukan kepemimpinannya ternyata mampu memimpin anggota dan seterusnya.
Perempuan mulai menghargai dirinya. Perubahan ini jauh lebih penting dari semua upaya penanganan bencana. Bekerja bersama perempuan di zona merah gempa mengajarkan bahwa melibatkan perempuan dengan memberi mereka otoritas yang otonom, mempraktikkan kesetia-kawanan warga, latihan bertanggung jawab, orientasi pada masa depan yang mempertahankan keberlanjutan merupakan upaya penting pemulihan.
Penanganan bencana sejatinya bisa menjadi proses pembentukan karakter bangsa bukan menangguk keuntungan memperluas pasar. Bagaimanapun tentu kita bisa menunjukan empati tanpa mengkomodifikasikan gempa dan korban gempa. Dan dana hibah bisa dijadikan lembaga keuangan sebagai alat berjaga-jaga serta sebagai alat perubahan. Persoalannya, apakah kita bersedia menunjukan empati tanpa merusak ? Bersediakan menunjukan empati dengan memikirkan keberlanjutan bukan mengibarkan bendera atas sebuah kemegahan ?
(Penulis adalah SEW ASPPUK Jawa. Artikel diatas bagian tukilan dari tulisan lengkap penulis yang berjudul, “Zona Merah Gempa”. Tulisan tersebut bisa dibaca di buku, “Katanya Menggugat”, ditulis Retno Kustati, dkk, Adriani S.S (penyunting), dan diterbitkan; ASPPUK Wil. Jawa, Desember 2011).