“ Aku ini dah karatan ngikutin musrenbang. Mungkin sudah hampir 5 tahun. Setiap tahun aku ikut terus. Tapi ngga ada perubahan tuh… Bosan rasanya hati ini karena keikutsertaan saya tidak mengubah apa-apa bagi pembangunan desa. Posyandu tetap saja mendapat minim anggaran untuk menyehatkan anak-anak kita”, ungkap Rasyidah, kader perempuan basis dari Mureksa, Banda Aceh. Pernyataan senada diungkap Yerni selly, kader dari Noelbaki, kab. Kupang, Endang susilowati, Jatinom, Klaten, Agus Samsiar Pontianak Timur, kota Pontianak, Damenta, kabanjahe, kab. Karo, saat berdiskusi di workshop monitoring dan evaluasi pelaksanaan program penguatan masyarakat dalam mendorong Integritas dan Akuntabilitas, di Cimanggis, Bogor, tgl 28 Mei – 30 Mei 2012.
Keluhan perempuan diatas merupakan miniatur sengkarutnya implementasi system perencanaan pembangunan di negri ini. Sebagaimana tertuang dalam UU no.25 tahun 2004, perencanaan pembangunan disusun pemerintah mulai dari dusun hingga kebupaten/kota dalam bentuk musyawarah rencana pembangunan atau “musrenbang” dengan melibatkan masyarakat. Namun kenyataanya, pelaksanaan musrenbang selama bertahun-tahun disusun ekslusif, minim keterlibatan rakyat, terutama kelompok perempuan miskin dan hanya melibatkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Sehingga hasilnya tidak sesuai kebutuhan masyarakat, terutama mengkomodasi suara perempuan miskin. Masyarakat pun makin apatis terhadap keberlangsungan musrenbang, karena bila mereka mengikutinya hingga tingkat kecamatan, tembok forum SKPD menghambatnya, karena ia telah menyiapkan programnya. Keterlibatan rakyat seolah hanya tuntutan formalitas.
Di sisi lain, sejak tahun 2007 muncul PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) yang memiliki perecanaan tersendiri. Meski di tahun 2012, sejumlah pemda telah mensinergikannya, namun di banyak wilayah hal itu masih berjalan secara terpisah. Dari sisi masyarakat, ia seperti mendapat “manan” dan harapan baru”, karena setiap usulan yang direncanakannya direalisasikan dalam waktu cepat. Ini berbeda dengan skema jalur musrenbang yang membutuhkan waku lama. Saat bersamaan, melalui perpres No.15/2010 pemerintah pusat yang dipimpin wakil presiden RI membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang bertugas mengkoordinir semua upaya penanggulangan kemiskinan secara nasional, dan di daerah dibentuk TKPKD (tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah) yang ketuai wakil pemda dengan melibatkan semua unsure masyarakat. Sayangnya, inisiasi ini belum berjalan baik, yaitu mengkoordinir dan mengintegrasi semua program kesejahteraan rakyat di satu daerah. Akibatnya perencanaan pembangunan berjalan sendiri-sendiri tanpa konduktor yang memandu alunan geraknya.
Sementara itu, desa yang sejatinya menjadi lokasi paling dekat dengan rakyat “dibonsai” otoritasnya oleh pemda dan SKPD. Sumber-sumber yang seharusnya bisa menjadi PAD des, malah diambil pemerintah kabupaten. “Galian parit yang kecil nilai nominal uangnya, itupun diambil pemerintah kabupaten sebagai sumber pemasukan pemerintah kabupaten. Terus kami mendapat apa. Katanya kita disuruh kreatif”, begitu ungkap kepala desa mata air, menggebu-gebu, saat ungkap unek-uneknya di workshop tingkat kecamatan yang diadakan di ruang pertemuan, Yayasan Alfao Mega, kab. Kupang, tgl 8 Maret 2012 lalu. Desa pun tidak mendapat apa-apa, meski dianjurkan kreatif. Padahal desa sering dinamai “kabupaten mini”, karena di sana ada APBdes, sementara di kab/kota ada APBD, PADes dan PAD, RPJMdes dan RPJMD, dsb. Posisi pemerintah desa seolah “semu” dan menjadi “bawahan” pemerintah kota/kabupaten dalam menjalan pelayanan masyarakat.
Gambar tersebut menjadi awal tererosinya integritas dan akuntabilitas aparat pemerintah dari tingkat bawah hingga nasional dalam proses pembangunan. Korupsi pun subur dalam situasi yang tak saling mengkait perecanaannya. Masyarakat akhirnya larut dalam situasi minim-integritas dan akuntabilitas. Terjadilah saling melengkapi secara vertical dan horizontal, antara buruknya mental birokrasi dan politisi serta “peniruan” rakyat terhadap pemimpinnya. Di tangan proses pembangunan yang tidak akuntabel, program kesejahteraan rakyat seakan jauh dari “jangkauan” rakyat kecil, khususnya kelompok perempuan miskin dan anak. Kondisi ini berakibat kepada melambatnya tingkat kesejahteraan rakyat miskin – khususnya perempuan dan anak – kian memprihatinkan. Tingginya jumlah orang miskin dan juga minimnya pendidikan perempuan yang sedang hamil berakibat pada munculnya 1.6 juta anak-anak menderita gizi-buruk (malnutrition), (Thejakartapost, 14/5/2012).
Oleh karena itu, perempuan kader yang mewakili teman-teman lain di kabupatennya dan 7 orang aktivis NGO menghimbau pemerintah. Pertama, mensinergikan semua perencanaan pembangunan yang dimulai dari tingkat paling bawah hingga kabupaten/kota dan nasional, dan forum SKPD harus apresiatif dengan usulan masyarakat. Kedua, musyawarah perencanaan pembangunanbetul-betul melibatkan unsur masyarakat dimulai dari tahapan pra hingga pelaksanaan. Ketiga, mengintensifkan peran TKPK nasional dan TKPKD kabupaten/kota. Keempat, memberikan ruang otonomi terhadap pemerintah desa dalam perecanaan dan proses pembangunan desa dengan pelibatan masyarakat terutama kelompok perempuan demi kesejahteraan rakyat. Kelima, perlunya aturan atau sejenisnya yang memungkinkan penggunaan alokasi anggaran daerah dan nasional sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat terutama bagi kelompok perempuan miskin dan anak. (Dilaporlan M. Firdaus, Deputy SEN ASPPUK).