Seringkali gerakan korupsi dimaknai sebagai hal yang heroik. Ia muncul di media dengan tindakan dan penangkapan terhadap kasus-kasus besar. Padahal bila ditelisik mendalam, akar korupsi juga berawal dari “keengganan” semua pihak saat benih-benih korupsi mulai bersemi, yaitu di ranah kehidupan nyata. Keluarga dan ranah kehidupan sehari-hari menjadi contoh nyata.
Hal itu persis seperti apa yang disampaikan Dedi Rachim, pejabat KPK, saat pertemuan Serial Meeting Perempuan Anti Korupsi, yang difasilitasi KPI, Kamis 11 Oktober 2012, di Galeri rumah Tamu 678, Kemang Selatan Raya No 125-A, Jakarta. Menurutnya, prilaku masyarakat yang menginginkan segala sesuatu serba instan dan malas menjalani aturan yang berlaku, turut memberi ruang bagi terbukanya praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua ikut berkontribusi mendukung nilai-nilai dan perilaku tidak baik bagi anak-anaknya, sebagai contoh dalam pengurusan KTP atau SIM untuk anak-anak mereka yang telah remaja, seringkali orangtua mengambil jalan pintas dengan menyogok pihak-pihak tertentu agar proses pengurusan cepat selesai. Hal-hal seperti ini tidak boleh terus menerus dilakukan, karena pada akhirnya merusak nilai-nilai dan melanggengkan praktek korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan anti korupsi haruslah dimulai dari keluarga dimana Ibu haruslah memberikan nilai-nilai positif anti korupsi bagi anak-anak mreka dimulai dari rumah.
Di sisi lain, perempuan juga mendapat dampak dari buruknya budaya korupsi. Hal ini khususnya yang dialami perempuan pelaku UMKM di daerah yang terkendala soal perijinan dalam mengembangkan usahanya. Ini salah satunya disebabkan adanya praktek korupsi yang terjadi di dinas atau badan pemerintahan di daerah. Padahal UKM jelas berkontribusi prositif bagi perkembangan ekonomi. Demikian juga untuk meminjam dana di bank, kebanyakan usaha kecil tidak mendapatkan dana pinjaman karena adanya ketakutan tidak mampu mengembalikan. Sementara korporasi besar dengan mudah mendapatkan dana dari bank namun ternyata banyak pengusaha korporasi tersebut yang bermasalah dan kategori koruptor kakap seperti para pengusaha BLBI. Danang juga sempat menyinggung persoalan tergusurnya sejumlah usaha-usaha kecil oleh perusahaan besar yakni semakin maraknya pasar swalayan besar yang menggeser pasar-pasar tradisional di berbagai tempat dan daerah di Indonesia seperti carefour, Indomaret dll. Bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihkan pada masyarakat kecil, khususnya juga kaum perempuan.
Gambaran itulah yang mendorong gerakan perempuan mengadakan pertemuan berseri ini. Meski di dalam pertemuan awal ini, hanya dihadiri beberapa perwakilan organisasi, seperti; KPI, IPPI, FITRA, INFID, PKM ACE, PGI dan ASPPUK namun ke depannya jaringan akan diperluas. Hal ini karena pentingnya peran gerakan perempuan dalam pencegahan tindakan-tindakan korupsi yang telah mewabah di segala lini kehidupan. Selain itu, kaum perempuan juga perlu dipahamkan bahwa kaum perempuan sejatinya terlibat aktif dalam gerakan anti korupsi tersebut guna mewarnai setiap derapnya hingga ia responsive kepada persoalan kaum perempuan. Disepakati pula bahwa sejumlah issue perlu mendapat perhatian, seperti; Identifikasi titik-titik rawan/strategis bagi perempuan dalam persoalan anti korupsi, mapping kekuatan jaringan dan kelompok perempuan ataupun organisasi lainnya yang punya konsern yang sama (anti korupsi), agenda advokasi bersama sebagai strategi gerakan. Semoga ini menjadi langkah awal…. (Disusun Maeda Yoppy, Koordinator Pendidikan Kritis Seknas ASPPUK).