Setelah era RA Kartini melalui surat menyurat kepada sahabatnya di luar negri, kiprah perempuan Indonesa terasa minim dalam penulisan sejarahnya. Baru selepas reformasi, beberapa kelompok perempuan menyadari akan laku sejarahnya, sehingga mereka menuliskannya dalam sebuah buku.
Itulah salah satu alasan kenapa perempuan dari Gresik, Jombang, Makasar, kota Padang, Padang Pariaman dan Kupang bersikeras untuk melukis sejarahnya. Menurutnya, merekalah yang mengetahui secara rinci akan perannnya di berbagai bidang kehidupan. “Yang mengerti bagaimana letihnya saya membangun usaha kripik ubi, ya saya sendiri…”, begitu ungkap Widia, dengan semangat. Ia merupakan anggota JARPUK Ina Fo’a, Kupang, yang gigih membangun usaha pembuatan kripik ubi dan jargung goreng asin pedas, paska di PHK dari perusahaan tempat bekerja.
Awalnya, perempuan-perempuan perkasa itu terasa berat untuk memulai penulisan sejarahnya. Namun melalui workshop penulisan yang diselenggarakan ASPPUK, tgl 15-17 Oktober 2012, di penginapan Desa Wisata, TMII, Jakarta Timur, dan difasilitasi P. Hasudungan Sirait, jurnalis senior dan Alida, jurnalis GATRA, dengan beragam metode, penulisannya terasa mengalir.
“Untuk menulis, kita dapat memulainya dari hal yang ada disekitar kita atau mengenai hal yang kita ketahui. Sebut saja, mulai dari hobbi yang paling kita sukai. Tanggalkan dahulu beban dan pemikiran bahwa menulis itu sulit ”, ungkap bang Has, sapaan bagi P. Hasudungan Sirait. Menurutnya, konstruksi sistem pendidikan sekolah sejak kecil turut mempengaruhi mengapa kita sulit menulis. Contohnya, sewaktu kita belajar bahasa Indonesia, ternyata kita lebih banyak belajar tata bahasa dan grammar dan bukan pengembangan kemampuan dan kreasi menulis. Demikian juga ketika kita mengikuti pelajaran menggambar, hampir semua anak melukis pemandangan alam secara seragam. Di situ ada: gunung, sawah, sungai, awan dan matahari. Anehnya hingga kinipun masih kita dapati pola menggambar seperti itu. Ini adalah cermin betapa konstruksi berpikir kita dibentuk seragam oleh guru, dan membentuk pola berpikir yang kaku dan minim kreatifitas.
Hari pertama, peserta diminta menulis hobinya, dan mempresentasikannya di depan peserta. Eh, ternyata mereka antusias, dan saking serunya menulis, mereka lupa akan waktu istirahatnya. Peserta menuliskannya secara deskriptif, narasi dan juga memiliki adegan. Sementara di malam hari, mereka menonton film dokumenter yang menceritakan kisah sukses tukang becak bernama “Harry van Yogya” yang terkenal menggunakan jejaring sosial dalam promosi layanan becaknya.
Keesokan harinya, peserta mulai menuliskan pengalaman yang menceritakan kegiatannya di organisasi Jarpuk dan aktifitas ekonominya. Dengan semangat, mereka menumpahkan segala pengalaman dan pergulatan hidupnya, baik dari sisi ketahanan ekonomi keluarga maupun perkuatannya sebagai mahkluk politik, dimana mempunyai hak yang sama di segala bidang. Dalam kacamatanya, problem sehari-hari juga rangkaian tak terpisahkan dari masalah “politik”. “Personal is political”, begitu ungkapan yang sering diucapkan feminis. Semoga harapannya untuk menerbitkan peran sejarahnya dalam buku menjadi kenyataan. Semoga. (Disusun Maeda Yoppy, Koordinator Pendidikan Kesadaran Kritis, seknas ASPPUK).