Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Koran Harian KOMPAS dan Lingkar Muda Indonesia, pada hari Senin 12 Nopember 2012 di Bentara Budaya Kompas, menghadirkan sebuah pertanyaan penting tentang arti dan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam kehidupan masyarakat sipil demokratis. Diskusi yang berjudul Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Kembali Gerakan Masyarakat Sipil, menghadirkan narasumber dosen dari FISIP Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Selain itu turut juga menghadirkan intelektual muda dari Muhammadiyah yakni Zuly Qodir dan salah satu tokoh LSM yakni Roem Topatimasang.
Diskusi ini hadir penuh dengan canda tawa dan spirit positif yang mempertanyakan matinya gerakan sipil masyarakat saat ini, yang harusnya terus hidup dalam upaya mendorong proses kehidupan berbangsa yang civilized (beradab). Diantaranya ada Ormas Islam seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sebenarnya memiliki peran penting dalam mendorong proses demokratisasi dan arus perubahan di negri ini.
Beberapa catatan kritis dari diskusi ini diantaranya adalah seperti apa yang dinyatakan oleh Roem Topatimasang, bahwa kondisi LSM saat ini tidak seperti dulu lagi yang mengakar ditengah masyarakat. Menurutnya lembaga swadaya masyarakat itu harusnya membiayai sendiri gerakannya, namun kenyataannya Kini LSM lebih banyak sibuk dengan kegiatan donor dan fundingnya serta meninggalkan semangat gerakan itu sendiri. Bahkan perekrutan anggota atau pengurus LSM, bukan lagi dari kalangan aktivis, melainkan direkrut dengan kriteria-kriteria tertentu di koran-koran, yang tidak mewadahi kaum aktivis itu sendiri.
Sementara itu narasumber dari Muhammadiyah yakni Zuly Qodir menyatakan bahwa ormas Islam sebenarnya berpotensi menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil, namun sayangnya banyak yang terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan politik dengan tindakan atau praxis poilitik yang tidak beretika, sehingga tidak berposisi kritis terhadap berbagai permalasahan di negri ini, bahkan pro kekuasaan.
Ade Armando yang adalah dosen FISIP UI menyatakan, bahwa peran media sosial adalah bagian penting dalam gerakan masyarakat sipil, namun sayangnya industri media ini banyak yang tidak berpihak pada isu-isu publik yang penting. Seperti dalam pemberitaan isukorupsi, media masih pilih-pilih isu. Ade juga mengkritisi media yang dominan dan cenderung menjadi industri hiburan semata tanpa ada kesadaran untuk membangun daya kritis masyarakat yang mencerdaskan. Padahal menurutnya dulu, ada banyak media koran atau cetak yang lahir karena perjuangan untuk mendorong dan memajukan proses demokratisasi di Indonesia, namun kini media yang banyak lahir bermunculan lebih karena kepentingan industri dan bisnis semata, yang seringkali tidak inheren dengan proses penyadaran msyarakat atas berbagai persoalan di negri ini.
Sementara itu Karlina Supelli, yang merupaka dosen Filsafat, menyatakan bahwa definisi civil society itu sesungguhnya berbicara tentang “keadaban”, namun kini telah mengalami reduksi makna. Civil society yang berbicara tentang keadaban itu, kini malah cenderung dikaitkan dengan perilaku sopan santun. Padahal berbicara keadaban harusnya berbicara tentang segala hal yang baik bagi publik atau masyarakat, yakni berbicara tentang kemaslahatan hidup bersama. Maka pola umumnya, gerakan sipil masyarakat ini bersikap kritis terhadap peran negara terhadap masyarakat. Namun menurutnya sistem pendidikan di Indonesia kini malah tidak menjadi bagian kuat dari gerakan sipil masyarakat. Bahkan sejumlah praktek korupsi banyak terjadi di lembaga pendidikan kita yang melibatkan banyak pelaku pendidikan baik ditingkat perguruan tinggi maupun sekolah. Ini sesuatu yang ironis. Sekolah atau lembaga pendidikan tidak lagi memiliki visi transformatif yang bersifat kritis dan dinamis, namun jadi mengarah ke visi transmissive yang bersifat pasif dan tidak kritis.
Mengikuti masukan Roem diatas, apa yang bisa dipelajari dari gerakan yang sudah dijalankan ASPPUK selama ini ? mari sama-sama berefleksi…..(Maeda, seknas ASPPUK).