Hikayat kelam DOM (Daerah Operasi Militer) dan tsunami telah berlalu. Aceh pun kini berbenah. Geliat ekonomi tampak meski malu-malu. Jalan-jalan mulus, tak terlihat lubang di setiap jengkal aspalnya. Bila tampak bongkah sedikit, truk aspal segera merapikannya. Itulah jalan utama yang terlihat sepanjang bandara International Sultan Iskandarmuda menuju kota Banda Aceh.
Situasi infrastruktur kota Banda Aceh yang hampir sempurna diakui Surya Mutiara, anggota Badan Anggaran DPRD, kota Banda Aceh, pada workshop sosialisasi kebijakan dan anggaran daerah 2012 di tingkat Kota/kab (Strengthening integrity and accountability program 2), di gedung Sultan Salim II, Banda Aceh, tgl 29 November 2012.
“Meski belum sempurna benar, tapi problem infra struktur Banda Aceh telah teratasi. Kini sejatinya program yang dikembangkan pemerintah kota berganti kearah yang lebih subtantif”, ungkap kader PKS Banda Aceh yang gemar bertemu masyarakat, terutama kelompok perempuan.
Harapan terhadap pemkot untuk fokus kepada hasil dan implementasi program kesejahteraan setelah kelarnya pembangunan infrastuktur, diungkap juga kelompok perempuan kec. Muereksa, Banda Aceh. Pasalnya, meski pemkot mengaku telah menginisiasi program bagi rakyat namun dinilainya belum tepat sasaran. Ibu Nevi dan diamini Mami, yang aktif dalam Musrena (satu mekanisme musrenbang diperuntukan bagi perempuan Aceh), berujar bahwa meski pemkot mengakui mengalokasikan program peningkatan kesejahteraan bagi perempuan namun belum dinikmatinya. “Kami ini sudah lama hidup di kec. Muereksa, namun program yang diungkap pak Sukri, sekda banda Aceh, belum pernah kami rasakan. Orang-orang tertentu saja yang baru menikmatinya”, katanya berapi-api. Kegeraman itu patut dimaklumi, karena sudah 5 tahun terakhir, proporsi APBK (anggaran pembangunan dan belanja kota) banda Aceh hampir 70 % untuk belanja pegawai termasuk untuk gaji PNS. Sementara sekitar 30% sisanya untuk pembangunan termasuk program kesejahteraan. Menyedihkan, karena sudah sedikit alokasinya namun sasarannya belum tepat.
Meski begitu, berkat pendampingan Flower lebih dari dua tahun, kelompok perempuan bersama aparat desa di sejumlah kampong, kecamatan, dan tokoh masyarakat, kini aktif untuk terlibat dalam perumusan penganggaran dan program pemerintah kota. Dan disela-sela minimnya anggaran untuk pembangnan rakyat, khususnya bagi perempuan ekonomi lemah, berkat dialog dan komunikasi yang terus menerus dilakukan, program pembangunan pasar rakyat yang diperuntukan bagi pengembangan produk kelompok perempuan segera terwujud. Begitulah janji Surya Mutiara di hadapan kelompok masyarakat, termasuk pihak kecamatan, tokoh masyarakat, SKPD, LSM, sekertaris daerah, dsb di workshop tersebut. Ia memberi garansi akan janjinya itu. Bila masyarakat tidak mendapatkan pasar rakyat yang dijanjikan, silahkan menghubunginya di rumah atau HP yang terbuka 24 jam untuk pengaduan.
Tantangan masyarakat sipil Aceh untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, bukan datang dari pembenahan integritas dan akuntabilitas aparat pemkot di tingkat lapangan, namun juga dari masyarakat. Merebaknya bantuan saat tsunami ikut mewarnai perilaku masyarakat yang menganggap setiap pertemuan ada budget transportnya. Hal itu diungkap Tabrani Yunis, direktur CCDE, dan Desy Setiawati, direktur Flower Aceh, saat berbincang santai dengan penulis. Diiringi segelas kopi panas nan kental, bang Tab, begitu biasa disapa, berujar, ”Kami seperti merapikan perilaku masyarakat dari awal. Dulu ketulusan masyarakat begitu kental. Saat bantuan ramai dengan program yang menyertakan transport di kegiatannya, kini hal itu terus berdampak. Setiap diajak untuk berkumpul demi membincangkan kemaslahantan kampong, transport menjadi pertanyaan awal.”
Setiap lini berkewajiban untuk mendorong perbaikan. Kelompok perempun dan masyarakat sipil pun dalam barisan itu. Makanya seperti diungkap Askalani, koordinator Gerak Aceh bahwa kelompok masyarakat yang menerima bantuan pun sejatinya sama-sama akuntabel. “Untuk mengakses program pemkot, kelompok masyarakat harus taat mekanisme (UU). Setelah program selesai mereka juga harus membuat laporan. Mereka juga harus siap saat ditanya inpektorat”, katanya menjelaskan. Itulah yang diangankan dalam negara demokratis. Hak dan kewajiban semua elemen dalam bernegara selayaknya milik bersama sesuai perannya.
Perjuangan untuk perubahan tidak mengenal titik. Tanda koma selalu menjadi indikasi pergerakan menuju perubahan. Ruang diskusi sesering mungkin antara DPRD sebagai wakil rakyat dan pemerintah kota sebagai “pelayan masyarakat” atau pemerintah, dengan kelompok masyarakat terutama kaum perempuan disadari semua kalangan menjadi tuntutan mendesak. Hal itu terbukti, meski musrembang kota Banda Aceh telah diadakan tgl 28 November 2012 yang diikuti semua SKPD, namun banyak aspirasi rakyat yang belum terakomodasi. Bahkan ada usulan masyarakat yang telah diakomodasi pemkot namun tidak terkomunikasi dengan baik ke masyarakat. Semoga ruang diskusi dengan rakyat langsung terutama kelompok perempuan di tahun mendatang sering dilakukan. Begitulah janji pak Sukri, sekertaris pemkot Banda Aceh, dan Surya Mutiara, anggota DPRD Badan Aceh. Semoga, demi kesejahteraan rakyat, terutama kaum perempuan.
(ditulis oleh M.Firdaus, Deputy SEN ASPPUK)