“Seolah dunia akan runtuh selamanya. Itulah gambaran saat kami baru tertimpa gempa. Tak ada barang yang tersisa untuk dikembangkan. Air mata juga sulit untuk berhenti”, tutur Susi, saat memulai kisah dua tahun lalu di Sumatera Barat. Susi merupakan anggota JARPUK Hippma, kab. Padang Pariman, yang anggotanya tersebar di 3 Kenagarian, dan 11 Korong (kampong) di bumi Minang. Sambil menerawang jauh, ia melanjutkan cerita kelam sebagai “bakgraound” hikayat perjuangan kelompok perempuan di kab. Padang Pariaman, kepada penulis pertengahan Oktober 2012.
Di tingkat kabupaten, keberadaan organisasi perempuan pengusaha ini diperhitungkan berbagai kalangan, khususnya pemerintah daerah, dan kalangan swasta. Ini seiring dengan perkembangan jumlah keanggotaan yang meningkat sejumlah 343 perempuan. Untuk menunjang permodalan anggotanya, mereka juga merawat dan memperkuat LKP (lembaga keuangan perempuan). Diantara kelompok perempuan atau KPUK yang bergabung dengan JARPUK Hippma, tersebutkan satu kelompok yang layak diceritakan untuk pembelajaran bagi yang lain.
KPUK “Garuda Metro” yang terletak di korong Kampong, Kanagarian Koto Tinggi, kec. Enam Lingkung, itulah namanya. Ia seperti menjadi anti-thesis dari kelompok-kelompok perempuan dan laki-laki yang umumnya terbentuk atau “dibentuk” karena satu program (dari pemerintah) misalnya. Syahdan, setelah kelompok terbentuk muncullah pendanaan dengan besar dari pihak yang memfasilitasi kelompok (bisa pemerintah maupun swasta). Sepertinya sudah menjadi “pakem” umum bahwa pembetukan kelompok masyarakat merupakan langkah awal, lantas dana hadir kemudian. Masyarakat dan khususnya kelompok perempuan pun kini hafal dengan fenomena tersebut. ASPPUK dan LSM jaringannya, serta JARPUK beserta KPUK di sejumlah kabupaten menghadapi situasi tersebut di masyarakat, khususnya saat akan memperluas kelompok. Pertanyaan masyarakat setempat serupa, “Ada berapa besar dana yang akan dikucurkan, bila kelompok terbentuk?”, begitu nada yang sering muncul di tengah masyarakat. Memprihatinkan memang…
Kelompok Garuda Metro, seperti disebut diatas, satu dari sekian KPUK yang merusak “pakem” tersebut. Pendirian KPUK ini difasilitasi LP2M, LSM di Sumatra Barat yang telah lama bergabung di jaringan ASPPUK. Meski banyak kelompok masyarakat berdiri karena untuk “menampung” dana bantuan yang jamak di daerah tertimpa gempa, pendirian KPUK garuda metro tidak berlandaskan motif tersebut. Mereka mendirikan KPUK, karena memang itu menjadi kebutuhan mendesak kelompok perempuan yang baru saja tertimpa musibah gempa dan memerlukan recovery. “Kelompok” menjadi salah satu sarananya. Begitluah kira-kira niat awalnya, seperti diungkap Puji, aktivis LP2M yang memfasilitasi kegiatan KPUK.
Pelan, dan penuh keyakinan, KPUK garuda metro tumbuh alami. Ia berkembang karena tuntutan dan kebutuhan anggotanya. Itu pula yang dilakukan kelompok saat anggota membutuhkan dana saat setiap hari raya Idul Fitri (Lebaran) menjelang namun mereka tak memegang uang di tangan. Pengurus KPUK pun berinisaitif memupuk tabungan anggota dengan “skema” tabungan hari raya. Kontan, jenis layanan ini diapresiasi sebanyak 160 orang anggota, termasuk para tetangga anggota kelompok yang menitip dana melalui anggota kelompok. Total jenis tabungan lebaran berjumlah Rp 67.000.000, dalam waktu 10 bulan. Melalui kesepakatan anggota pula, modal itu diputar sebagai modal usaha bagi anggota kelompok dalam satu tahun berjalan. Keuntungan pun diperoleh kelompok dari perputaran itu sejumlah Rp 7.000.000. Kini KPUK garuda metro sedang mengembangkan inisiatif lain yang bisa memberdayakan masyarakat melalui kelompok perempuan. Inisiatif perempuan-perempuan perkasa di korong Kampong, Padang Pariaman, mengingatkan ungkapan Martha Nussbaum, feminis terkemuka, bahwa dalam kehidupannya setiap manusia berhak dan harus memiliki kemampuan untuk bertahan hidup secara layak, dan sejatinya daya tahan hidupnya itu bisa memperpanjang kehidupannya. Semoga semangat KPUK garuda metro menginspirasi, dan mereka terus bergerak maju…
(dirangkum oleh M.Firdaus, Deputy SEN ASPPUK).