Christine Novita Nababan (KONTAN), JAKARTA. Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro (UU LKM) yang ditetapkan akhir tahun lalu menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Di satu sisi, aturan ini melegitimasi aktivitas usaha LKM. Tetapi, di sisi lain, aturan anyar itu membatasi ruang gerak para pelaku bisnis.
Salah satunya, Pasal 16 ayat 1 yang menyebut, cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. âPadahal praktiknya, hampir seluruh LKM jaringannya lintas wilayah, ujar Mulyadi, Pengurus LKM Mitra Usaha Mandiri, Senin (21/1).
LKM Mitra Usaha Mandiri sendiri tercatat sudah berbadan hukum, dengan pola usaha mirip koperasi. Cakupan wilayahnya tersebar hingga berbagai wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jika dibatasi, itu berarti, perseroan tidak bisa lagi mengepakkan sayap bisnisnya ke luar wilayah lain.
Hal itu juga akan dialami banyak LKM, termasuk Baitul Mal Wat Tamwil alias BMT yang selama ini tercatat paling jago masuk ke wilayah-wilayah terpencil (remote area). Ironisnya, jaringan yang luas dan dalam ini menjadi keunggulan LKM atau BMT selama ini, imbuh Mulyadi.
Senada dengan hal itu, M Firdaus, Sekretaris Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) menuturkan, UU LKM mengancam sekitar 5.000 pelaku industri LKM, termasuk sejumlah kelompok perempuan yang telah menjadi binaan lembaga nirlaba tersebut.
Anehnya, saat masih berstatus rancangan undang-undang pada 2004 lalu, ketentuannya sudah menuai banyak protes dari berbagai kalangan. Tertunda-tunda. Kemudian, Desember 2012 lalu disahkan dan pengawasannya nanti di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seperti tiba-tiba saja,â terang dia.
Firdaus mensinyalir, ada udang di balik batu pada UU LKM. Misalnya, melindungi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) yang bakal berakhir 2014 nanti. Program ini dinilai mirip dengan LKM, yakni sama-sama lembaga permodalan. Bedanya, dalam PNPM, pemerintah punya andil menggelontorkan dana hingga triliunan rupiah untuk menjalankan program ini.