“Kita nih kaya akan sumber makanan. Seperti daerah Ngawi di Jawa Timur, semua tersedia di sana. Dedaunan, buah-buahan, dan tanah yang subur menjadikan aneka model makanan bisa tercipta.
Pecel yang kini dikembangkan kelompok perempuan memiliki keunikan rasa. Namun sayang, kekayaan kuliner ini belum dikembangkan optimal terutama dukungan pemda”, ungkap Reny, pendamping lapang ASPPUK Wil. Jawa, yang sehari-hari bekerja di Ngawi. Hal sama diungkap Presiden Indonesian Chef Association (ICA) Henry Alexie Bloem, meski kuliner nusantara yang jumlahnya mencapai puluhan ribu resep memiliki potensi sebagai pendukung pariwisata, namun pemerintah Indonesia belum mendukung dengan mengeluarkan semacam peraturan daerah (Kompas, 30/1/2003).
Kegundahan Reny dan Henry mewakili perempuan usaha kecil di seluruh negri, khususnya yang menggeluti pengelohan makanan. Saat dunia sedang terhantui dengan kelangkaan makanan yang sehat untuk kehidupan, Indonesia malah mengalami kelimpahan sumber makanan. Sayangnya aneka sumber makanan tersebut – sengaja atau tidak – belum disadari pengambil kebijakan dan pengusaha sendiri untuk menumbuhkankembangkannya. Bahkan kini aneka jenis makanan yang telah bertahun-tahun tumbuh di sejumlah belahan negri Indnesia sedang mengalami kepunahan. Jenis makanan seperti putu piring, bingke, makanan dan minuman olahan dari lidah buaya, sepang, jahe, kuyit asam dari Pontianak menjadi contohnya. Begitupula jenis makanan Bagea, Baruasa Bakso Ikan dan Abon Ikan dari Kendari Sulawesi Tenggara menjadi gambaran lainnya. Bagea merupakan salah satu produk makanan olahan tradisonal yang terbuat dari sagu. Ia dbuat dengan cara-cara tradisional. Adapun model bagea berupa macam-macam, ada yang natural, mete, pake gula merah dll.
“Kita di Sulawesi Teggara dari dulu memiliki makanan pokok dari Sagu. Eh saat Orde Baru muncul, membawa beras untuk dijadikan makanan pokok nasional. akibatnya makanan asli daerah yang mimiliki nilai historis makin langk dan akan hilang bila tidak terjaga”, kata Mia Ariyana, SEN ASPPUK, yang pernah bekerja di ALPEN Kendari selama bertahun-tahun, di dalam workshop perecanaan program Memfasilitasi Perempuan Usaha Kecil-mikro dalam Pengembangan Produksi Yang Berkelanjutan, di Cimanggis, 29 Januari 2013.
Kelangkaan dan ketahanan sumber makanan, serta serbuan makanan yang tidak menyehatkan dan tidak ramah lingkungan merupakan salah satu alasan ASPPUK untuk memfasiltasi perempuan usaha kecil untuk mengembangkan makanaan ramah lingkungan nan menyehatkan demi penumbuhan ekonomi lokal. Dunia kini sedang dihantui kelangkaan sumber makanan dan penguasaan sumber makanan oleh kapitalis besar. Harga-harga makanan pun melambung tinggi. Sementara bahan-bahan dasar kwalitas unggul malah terkirim ke balahan dunia maju untuk menjadi sumber makana olahan pabriknya. Anehnya, penduduk yang memiliki sumber penghidupan berupa makanan terkadang menerima “sisa” makanan dengan kwalitas rendah. Kondisi itu seperti pernah diungkap Amarty sen, ekonom penerima nobel, bahwa kemiskinan merupakan kondisi dimana manusia tidak memiliki akses kepada sumber-sumber penghidupannya.
Masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan akan mengalami kekurangan sumber makanan seperti yang pernah di wanti-wanti WFP (world food program). ASPPUK yang menjadi jaringn NGO pendamping PUK dimana produk olahan makanan merupakan 21% dari total jenis usahanya, amat berkepantingan dengan kondisi itu. Keberlangsungan sumber-sumber penghidupan yang berupa aneka makanan nusantara yang berbasis local dan ramah lingkungan menjadi agenda penting. Diharapkan dengan pulihnya sumber-sumber makanan yang dikelola kaum perempuan, terutama jejaring ASPPUK, akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan nasional Indoesia. Semoga. (ids)