Apa yang terjadi, bila negri ini tanpa masyarakat sipil atau NGO atau LSM ? Negara maju dimana fungsi legeslatif, eksekutif dan yudikatif telah berjalan, tetap masih membutuhkannya.
PBB (perserikatan bangsa-bangsa) pun mengakui keberadaanya. Negara Indonesia yang sedang bertransisi menuju alam demokratis, wajib memiliki masyarakat sipil yang independen, non partisan, berintegritas dan akuntabel. Cerita dari Klaten, daerah “persinggahan” komuter yang pergi dari Yogyakarta menuju Solo atau sebaiknya, memberi tambahan penegasahan premis itu.
Dalam satu dialog dengan DPRD, sebagai wakil rakyat, peserta kelompok perempuan, dengan geram mempertanyakan perannya. Pasalnya posyandu yang melayani warga miskin terkhusus perempuan hamil dan memiliki anak, hanya teralokasikan anggaran Rp 150 – 200 ribu per tahun. Karena minimnya anggaran dan ketidaktegaan kader pos yandu, mereka mengalokasikan dananya meski kehidupannya pas-pasan. Sementara dana untuk pembersihan WC Bupati malah melebihi Rp 100 juta per tahun.
“Saya heran. Sejak tahun 2010, kami sudah “woro-woro”, bolak-balik ke gedung DPRD untuk berdialog tentang program pemda Klaten agar berpihak kepada rakyat terutama kaum perempuan miskin. Tapi hingga kini, pancet. Bila kaum miskin sakit, sulit mendapat layanan kesehatan yang baik. Ibu hamil dan anak balita sedikit mendapatkan makanan bergizi”, tutur Purwanti, anggota kelompok perempuan yang sekaligus kader posyandu, dengan nada bergetar karena emosi. Tangan kanan yang berpegang microfon dan tangan kiri menunjuk menunjuk anggota DPRD, terlihat lega karena telah mengeluarkan uneg-unegnya di workshop analisa anggaran pembangunan (APBD 2013) yang responsive gender, tgl 18 Januari 2013, di kantor Persepsi, Kwaren Karanganom, Klaten. “Saya ga tega, kalau anak cucu saya dan masyarakat Klaten lain nanti, mewarisi keterbelakangan. Biar saya dan generasinya lah yang mengalami kekurangan,” lanjutnya dengan terbata-bata, yang ditenangkan Agus, kawan sesama jaringan masyarakat sipil.
Kadarwati, anggota DPRD dari fraksi PDI-P yang menangani anggaran dengan tenang dan penuh kesungguhan menjawabnya. Ia pun merasakan getaran yang sama dari keluhan masyarakat melalui Purwanti. “Saya tegaskan bahwa saya ada di pihak ibu-ibu dan masyarakat. Saya sudah berkali-kali dalam rapat di DPRD untuk mengalokasikan anggaran bagi rakyat. Bahkan terkadang sampai larut malam. Namun saya hanya sendiri di bagian anggaran. Sehingga kesulitan, meski dengan emosi pula,” jawab anggota dewan yang berkalli-kali ikut dalam diskuis bersama kelompok perempuan dan masyarakat. Ia pun berterus terang di hadapan masyarakat, yang terdiri dari, kepala desa, Bidan desa, anggota koperasi SETARA, kader perempuan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, bahwa tidak semua anggota DPRD berani hadir memenuhi undangan NGO. Mereka takut ditanya yang kritis. Namun ia berani karena merasa sudah berbuat sesuai harapan masyarakat.
Langkanya media atau ruang – bisa juga pertemuan atau diskusi informal – itulah mungkin yang bisa dipetik dari kejadian diatas. Pesepsi dan kelompok perempuannya berusaha menciptakan ruang tersebut melalui workshop tersebut dan pertemuan lain sebelumnya. Di tengah kencangnya kekritisan masyarakat dan kelompok perempuan, DPRD dan eksekutif masih belum berpihak banyak kepada tuntutan masyarakat. Hal itu tercermin dari besarnya alokasi APBD Klaten sejumlah 70 an % untuk kebutuhan rutin seperti dijelakan Muslih, aktifis ARAK Klaten.
Makanya, kekritisan masyarakat sipil tidak boleh berhenti. Bila berhenti atau berkurang, maka “kongkalikong”, “persengkongkolan” antara lembaga negara akan terus berlanjut. Masyarakat pun hanya penonton. Negara jadi “jarahan” mereka. Nasehat dari Klaten, jangan coba untuk berfikir “berhenti” dari bertindak kritis atas prakarsa pengambil kebijakan. Karena generasi mendatang, menunggu karya dan bakti generasi sekarang. (Ids, dari berbagai sumber)