Saya mulai berdagang beras tahun 1995. Saya mengambil beras langsung dari petani-petani di daerah sekitar saya.Kebetulan daerah sekitar saya banyak lahan pertanian dan memang penghasil beras. Beras yang saya beli dari petani saya jual ke bakul-bakul di Pasar dan setor di Rumah makan-rumah makan. Kebetulan saya memasok beras ke pasar-pasar yang cukup besar di daerah Solo seperti Pasar Legi, Pasar Gede dan Pasar-pasar di Daerah Sukoharjo. Demikian juga rumah makan yang saya setori lumayan banyak dan tersebar di berbagai tempat seperi di daerah Solo dan Sukoharjo juga.
Bisnis perdagangan beras saya mulai berkembang , namun 5 tahun yang lalu ketika beras impor mulai masuk, kondisi usaha saya mulai goyah. Pedagang-pedagang yang dulu kita pasoki mulai mengurangi beras yang saya setor, karena mendapat setoran beras yang lebih murah. Demikian juga rumah makan saya pasoki beras juga mulai tidak mau disetori, karena sudah mendapat pasokan beras yang lebih murah.
Puncaknya tahun 2009, saya sudah tidak bisa berdagang lagi. Disamping pedagang saya yang mulai berpaling ke beras impor yang lebih murah, pasokan beras dari petanipun mulai berkurang karena banyak terserang hama.
Hal ini tidak hanya saya alami sendiri . Kebetulan di dearah saya, khususnya di desa saya dari 3 pedagang (selepan) semuanya kolaps (hancur), di gudang-gudang sudah tidak ada beras sama sekali.
Beras impor ternyata tidak hanya mematikan petaninya saja, tapi juga bagi kami pedagang. Saya juga membuka toko kelontong pada tahuin 2002, namun toko saya ini juga kena imbas atas kehadiran supermarket yang saat ini menjamur sampai ke desa-desa. Supermarket itu juga menjual produk-produk impor yang membuat para pelanggan lari membeli ke sana. Nasib toko saya sama dengan usaha saya yaitu kalah oleh barang-barang massal dari orang yang punya modal besar dan import.
Oleh: Surati (Pedagang Beras Karanganyar Jateng)