Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) Wilayah Jawa, pada tanggal 7 Februari 2013 telah memfasilitasi Seminar Sehari Kajian Kritis UU No.17 Tahun 2013 tentang Perkoperasian. Dihadiri oleh kurang lebih 80 wakil pemerintah dan elemen sipil di Provinsi Jawa Tengah. Peserta terdiri dari NGO anggota ASPPUK, pengurus Lembaga Keuangan Perempuan (LKP), Pengurus Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk), LSM dan akademisi Kota Surakarta, Insan Media, Dinas Koperasi dan UMKM Surakarta, Badan Pemberdayaan Perempuan Surakarta dan BP3AKB Provinsi.
Acara seminar ini berlangsung cukup efektif di Hotel Arini Surakarta, terselenggara dalam rangka Refleksi Tahunan ASPPUK Jawa. Menghadirkan tiga Narasumber yang berkompeten di bidangnya, forum terasa semakin bernas. Narasumber pertama adalah Isminarti Tarigan seorang praktisi yang berkecimpung dalam bidang koperasi selama lebih dari dua dekade. Saat ini Isminarti menjabat sebagai Ketua I Pukowanjati, Jawa Timur. Narasumber kedua adalah Awan Santosa, SE.MSc. Beliau adalah akademisi dan pengamat ekonomi dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas UGM Yogyakarta. Narasumber terakhir adalah Adriani S. Soemantri, dia merupakan penulis dan aktivis gender yang sangat konsern pada gerakan perempuan dan ekonomi kerakyatan. Tidak kalah penting adalah Retno Kustati, tidak lain anggota Komite Eksekufit Nasional (KEN) ASPPUK Nasional, hari itu bertindak sebagai moderator yang cemerlang.
Isminarti Tarigan menyoroti UU No. 17 Tahun 2012 dari berbagai aspek, antara lain pergeseran nilai dalam devinisi, struktur, permodalan, jenis koperasi hingga kewenangan pengawas yang tidak proporsional. Menurut Isminarti, Undang Undang Koperasi yang ada saat ini cenderung mengakomodir kepentingan para pemilik modal. Beliau juga mengatakan, nilai kemandirian, keswadayaan dan kedaulatan koperasi nyata diberangus habis dengan adanya dana penyertaan dari pihak luar. “Konsekwensi koperasi sebagai badan hukum adalah menjadi obyek pajak”, demikian Isminarti mengakhiri sesinya.
Setali tiga uang, Awan Santosa menyebutkan bahwa produk Undang Undang Penanaman Modal di Indonesia cenderung mendorong privatisasi sehingga ekonomi negara kita berorientasi pada neoliberalisme. Persekongkolan antara legislatif, eksekutif dan korporasi yang fokus pada penguasaan sumberdaya alam demi akumulasi kapital, tidak terelakkan lagi. Dia menyatakan secara gamblang bahwa UU No. 17 Tahun 2012 sebagai prahara koperasi. ”Sistem pengelolaan ekonomi yang demikian sangat berbahaya karena mereduksi nilai-nilai kemandirian ekonomi rakyat. Saatnya koperasi kembali pada cita-cita awal, menguasai modal dan sekaligus menguasasi rantai produksi konsumsinya”, tegas Awan siang itu.
Yang menarik dari narasumber ketiga adalah ajakan refleksi kepada seluruh peserta, dengan menyimak kembali kutipan pidato Mohammad Hatta. Adriani Soemantri dalam kesempatan kali ini, berbagi spirit tentang gerakan ekonomi kerakyatan dari mula hingga kini. Adriani yang akrab dipanggil Ani, membeberkan fakta pergeseran gerakan ekonomi kerakyatan akibat campur tangan state melalui produk kebijakannya. Dalam makalahnya yang berjudul ”Catatan Atas Catatan”, Ani mengingatkan kepada kita semua tentang relasi individu, masyarakat, negara dan pasar yang sungguh tidak adil. Menurut Ani, saat ini state bersekutu dengan pasar dan menjadikan koperasi sebagai alat sehingga koperasi kehilangan kedaulatan dan otoniminya. Di akhir paparannya, Ani menambahkan ”Sangat jelas, bahwa negara menjadikan koperasi sebagai alat birokrasi negara dan pasar. Bubarkan saja Dekopindo!”
Sepakat atau tidak, bahwa UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sangat bertentangan dengan amanah konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Negara. Dimana sebagian besar sumberdaya alam yang ada di Indonesia saat ini justru dikuasai oleh pihak swasta. Pencapaian keadilan dan kesejahteraan rakyat semakin jauh api dari panggang, ketika akumulasi kapital menjadi satu-satunya tujuan pengelolaan ekonomi di negara kita. Permodalan koperasi yang dahulu dihimpun secara swadaya dari anggota (member base), kini berganti dengan model capital base yang membuka peluang pihak luar untuk menanamkan modalnya. Dengan adanya sertifikat modal, koperasi kini lebih mirip perusahaan yang menjual kepentingan melalui saham.
”Lantas bagaimana selanjutnya? Apakah kajian kritis ini hanya berhenti pada tataran refleksi atau kah bergerak pada aksi? Percaya deh, koperasi adalah alat gerakan yang terorganisir bukan organisasi birokratis dan hirarkis. Kenapa tidak kita buktikan saja bahwa rakyat mampu melawan ketidakberdayaan menghadapi pasar, melalui koperasi”, Ani menyudahi diskusinya. Diskusi pun berakhir sebelum pukul 15.00 WIB, forum refleksi ASPPUK Wilayah Jawa menghasilkan sebuah kerangka aksi strategis untuk mengkritisi UU No. 17 Tahun 2012. Judicial Review (Peninjauan Kembali) menjadi langkah advokasi yang dipilih oleh para pelaku koperasi dan elemen sipil di Jawa Tengah. Tim kerja pun telah dibentuk, terdiri dari tim kajian historis, tim kajian ideologis dan tim kajian relasi. Sampai jumpa lagi, kawan!
di tulis oleh: Yuliana (LPPSLH)