Suara merdeka; Menyambung tulisan Umi Nadliroh di rubrik ini, 20 Februari lalu, yang berjudul ’’Kuota atau Kapabilitas’’, penulis tertarik untuk menggarisbawahi bahwa antara kualitas dan kuantitas caleg perempuan adalah hal yang sama pentingnya. Penulis sepakat dengan tambahan bahwa caleg perempuan yang dikehendaki dalam konteks perjuangan mencapai kesetaraan gender adalah caleg yang responsif gender.
Para caleg perempuan perlu memahami bahwa affirmative action adalah kebijakan khusus yang bersifat sementara untuk mendorong terlibatnya perempuan dalam ranah pengambilan keputusan publik secara lebih masif. Kebijakan ini diambil untuk mencapai salah satu di antara 8 Millenium Developments Goals (MDG’s) yang disepakati 189 negara anggota PBB yang ditandatangani di New York, September 2000, dan ditargetkan tercapai pada tahun 2015 nanti.
Poin ketiga dalam MDG’s itu mengharuskan negara mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kebijakan ini juga merupakan konsekuensi bagi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi pada perempuan, yang tertuang dalam UU No 7 tahun 1984 . Pasal 2 ayat f UU No 7/1984 tersebut mewajibkan negara membuat peraturan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik.
Kesenjangan
Kuatnya budaya patriarkat membuat jurang kesenjangan partisipasi perempuan dan laki-laki telanjur menganga. Untuk itu, dibuatlah affirmative action sebagai langkah akselerasi mempersempit kesenjangan tadi. Dalam kerangka inilah, dibuat strategi Pug (Pengarusutamaan Gender) melalui Inpres No 9 th 2000, lalu diperkuat dengan Kep-mendagri No 132 tahun 2003, lalu Per-mendagri No 15 tahun 2008. Pug adalah strategi untuk tercapainya kesetaraan AKPM (akses, kontrol, partisipasi dan manfaat) antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pe-mantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan, termasuk di dalamnya politik.
Dalam pengertian yang lebih luas, Pug tidak hanya berurusan dengan pe-rempuan, tetapi pemihakan secara luas pada kelompok lemah dan marginal lainnya, seperti anak-anak, kaum mis-kin, difabel dan usia lanjut.
Dalam bidang politik, Pug yang ditempuh adalah dengan inisiasi dan advokasi agar proses dan tahapan dalam pemilu menjadi lebih sensitif dan res-ponsif gender.
Kuota 30 % perwakilan perempuan telah tercantum dalam pasal 65 UU No 12 th 2003, tentang Pemilu.
Tetapi sanksi, pasal ini seperti macan ompong, dan hanya menghasilkan caleg perempuan di DPR hasil Pemilu 2004, sebanyak 63 orang dari total 550 caleg atau 11,45 %. Ironisnya, jumlah ini justru lebih rendah dibanding era Orde Baru, yang mencapai angka 12 %.
Belajar dari hasil tersebut, maka revisi UU Pemilu berikutnya pada pasal 55 ayat 2 dan pasal 214 dalam UU No 10 th 2008 menetapkan sistem zipper (selang-seling) antara caleg laki-laki dan caleg perempuan.
Tetapi sayang, pasal ini dibatalkan oleh MK melalui putusan No 22-24/ PUU-IV/2008. Pembatalan ini membuktikan bahwa lembaga sebesar MK pun ternyata belum sensitif gender, dengan melihat UU Pemilu hanya dari kacamata hukum saja.
Menurut Komnas Perempuan, demokrasi yang dipahami MK adalah demokrasi prosedural, dan bukannya de-mokrasi substantif, karena menafikan perlakuan khusus terhadap kelompok marginal.
Pemilu 2008 menghasilkan anggota legislatif perempuan sebesar 18 % dari to-tal 560 anggota legislatif atau sebanyak 102 orang.
Meski ada peningkatan dari pemilu sebelumnya, tetapi tetap masih jauh dari kuota. Kemajuan cukup signifikan dibuat dalam revisi UU Pemilu No 8/2012 yang bertabur pasal yang memihak pada perempuan. Penulis menemukan setidaknya 7 pasal pemihakan, termasuk pasal 67 ayat 2, tentang keharusan parpol untuk mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap mereka pada media massa cetak harian nasional dan media elektronik nasional.
Ini adalah inisiasi bagi tumbuhnya tanggung jawab parpol terhadap publik atas keseriusan mereka melaksanakan aksi affirmasi ini.
Kesiapan
Jalan bagi keterlibatan perempuan dalam politik telah luas dibentangkan. Untuk masuk dunia politik, siapa pun memerlukan kapasitas personal, modal sosial dan finansial yang memadai.
Siapkah perempuan? Serius pulakah parpol membuat sistem kaderisasi yang sistematis dan berkelanjutan demi menemukan kader perempuan yang potensial ? Dari sisi ini, affirmative action bisa menjadi salah satu pintu yang ’’memaksa’’ parpol untuk serius melakukan kaderisasi yang sistematis dan berkelanjutan, karena tanpa itu, niscaya parpol akan kelabakan mencari kader perempuan tiap pemilu menjelang.
Kebijakan ini juga menjadi pintu untuk memperjuangkan pembangunan yang lebih ramah terhadap perempuan, anak-anak, lansia, difabel, dan kaum marginal lainnya.
Tentu saja caleg yang bisa diharapkan adalah caleg perempuan yang cakap dan sensitif gender. Parpol perlu membekali caleg perempuan dengan wawasan yang memadai tentang ’’medan tempur’’ yang akan dimasukinya. Menempatkan perempuan tanpa kapasitas personal yang cukup dalam daftar caleg, sama saja melepas mereka ke hutan belantara tanpa peta. (24)
Siti Maryamah, Ketua Jarpuk-bara (Jaringan Perempuan Usaha Kecil Banjarnegara)