“Saya getun dengan pemerintah. Kenapa kok nggak belajar-belajar dari masa lalu. Ini kan UMKM menjadi sector yang bisa mengurangi pengangguran. Tapi kok, saat mereka ingin mencari permodalan, malah sulitnya minta ampun akses ke bank”,
ungkap Dr. Enny Sri Hartati, peneliti INDEF, — melalui sambungan telpon — saat diminta tanggapan atas pernyataan M. Firdaus, deputy SEN ASPPUK, tentang minimnya dukungan perbankan kepada UMK (usaha mikro dan kecil). Menurut Firdaus, perlakuan perbankan terhadap pelaku UMK tidak berubah semenjak tahun 2001 hingga kini.
Pandangan perbankan kepada UMK (apalagi PUK) tidak beranjak dari hal-hal yg sudah banyak diketahui, tambahnya. Diantaranya pertama, lokasi kelompok pengusaha mikro jauh dari perbankan. Kedua, kegiatan usahanya masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan masih kecil dimana perbankan tidak melayani yang kecil karena dianggap tidak efesien. Ketiga, administrasi keuangan pelaku usaha mikro dianggap belum dikelola sesuai standart pembukuan perbankan. Keempat, keterbatasan dalam kepemilikan asset yang secara format dipakai sebagi jaminan kredit (kolateral).
Kritik pedas tentang peran kinerja perbankan tersebut tersaji di program “Sarapan Pagi”, yang disiarkan langsung KBR (kantor berita radio) 68 H, Jakarta, pukul 08.00 – 09.00 pagi, Jum’at, 21 Februari 2014. Siaran tersebut terilai ke sejumlah radio-radio daerah di Indonesia. Selain dua narasumber tersebut, talk show juga menghadirkan Wiko Saputra, peneliti Prakarsa, yang banyak mengulas suku bunga bank di Indonesia yang terlalu tinggi, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN.
Akibatnya, imbuhnya, hal itu makin menyulitkan dunia usaha termasuk UMK. Anehnya, tingkat keuntungan yang diperoleh perbankan nasional pada saat yang sama melalui net interest margin (NIM), berada pada angka antara 5 – 6% sejak tahun 2009. Padahal di Negara Malasyia, nilai keuntungan yang diperoleh hanya sebesar 3,03%, Filipina sejumlah 3,92%, Vietnam sebesar 3,43%, dan Singapura hanya 1,79%. Perbankan dengan model seperti ini memiliki LDR (Loan to Deposit Ratio) – gelontoran kredit — perbankan yang rendah, namun di saat bersamaan ia malah menangguk keungungan yang tinggi. Artinya, kala sector ekonomi lain kesulitan dan tertatih-tatih mempertahankan kinerja ekonomi, sektor perbankan malah menikmati laba yang menggiurkan.
Minimnya perhatian perbankan ke UMKM terasa aneh. Karena bila dicermati, kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 101,72 juta tenaga kerja (97,3 %). Sementara itu kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nya mencapai 57,12 persen. Hal ini wajar, karena menurut data Kemenkop dan UMKM (2013) menyebutkan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 55.2 juta (99,98 %) dari seluruh unit usaha di Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa sektor UMKM sangat strategis untuk peningkatatan kesejhateraan dan pengurangan kemiskinan. Tapi kok, pemerintah tidak mau mendorong kea rah situ.
Para pendengar yang mencermati acara “sarapan pagi” KBR 68 H menimpali dengan mengirim sms, komentar di twitter, facebook, dan web radio, yang menegaskan pernyataan narasumber. Salah seorang bernama Astuti, dari Depok mengutarakan bahwa meski ia telah memiliki usaha, namun kredit KUR (kredit usaha rakyat) sulit didapat. Oleh karenanya, para pembicara sepakat meminta Negara — secara ekonomi-politik — untuk berpihak kepada UMKM, khususnya pengusah mikro dan kecil. (ids).