Desa Limboro kec. Banawa Tengah Kab. Donggala, terkenal sebagai kampong Tenun. Para penenun di daerah pinggiran pantai Palu, Sulawesi Tengah itu, secara turun menurun mewarisi keahlian tenunnya kepada anak cucu hingga cicit.
Saat siang hari mulai menjelang, kira-kira pukul 08.00 pagi – sesaat setelah memasak sarapan – riuh alat gedokan – alat tenun duduk selain ATBM – bersahutan yang berasal dari rumah penduduk. Lokasi alat tenun di setiap rumah bervariasi. Ada yang terpampang di depan rumah, di belakang berganung dengan dapur-masak, ruang depan yang bersatu dengan tempat tamu, bahkan ada yang memiliki “bengkel” sendiri yang berlokasi 3 meter dari rumah. Seperti yang penulis temui, seorang perempuan bernama Miftahul Jannah sedang menenun dengan anaknya bermain di sampingnya,11 Desember 2013. “Yah beginilah mas, kegiatan saya di pagi hari ya menenun. Saya berhenti saat memasak siang, terus dilanjutkan lagi sorenya. Bila tidak ada pesanan banyak, saya akan berhenti sore hari dan malamnya beristirahat”, ungkapnya lirih.
Permintaan pasar tenun Donggala sebenarnya tinggi. Ini terlihat dari hadirnya para pemodal – pengepul atau pedagang – yang hadir langsung ke desa Limboro setiap saat guna memberi modal kepada penenun sebagai “pesanan” yang diambil susuai perjanjian. Para penenun disana, ada yang sebagai pekerja (pembeli sudah siapkan benang, dsb). Ongkos tenun untuk selendang dan sarung sebesar 200 ribu. Rata-rata penenun bisa menyelesaikan satu kain sarung dan selendang dalam 20 hari (bila focus dan lembur), namun terkadang juga 1 bulan bila disambi. Benang dan zat pewarna penenun beli dari orang China di kota Palu dengan waktu tempuh kira-kira 45 menit perjalanan. Pola dan motive tenunnya beragam, seperti ros, gergaji dsb, dengan warna dasar kuning, merah, biru, dsb. Namun ada yang memilki pola unik seperti: umbu toto (yg sering buat baju dsb).
Penenun Tenun-Donggala menghadapi berbagai masalah. Selain persoalan pasar, permodalan penenun pun masih tergantung pada tengkulak, selain juga bahan baku benang, dan pewarnaan sintetis – kimia—yang masih mengiringinya. Oleh karena itu, KPPA, lembaga pendamping di Sulteng, melakukan pemberdayaan integratif terhadap kelompok perempuan penenun di Donggala. Maksudnya, KPPA melakukan beberapa hal sekaligus, berikut; inisiasi kelompok perempuan penenun, pendampingan berkelanjutan, mendesain strategi pemasaran hasil tenun, inisiasi kegiatan simpan pinjam dan peningkatan kepasitasnya dalam pengelolaan keuangan, serta praktek pelaksanaan tenun dengan penggunaan bahan pewarna alam dengan mensuport kebutuhan penyeleggaraannya.
Berkaitan dengan pewarnaan alam, sejatinya penenun di desa Limboro bersama KPPA mulai mengindentifikasi bahan sumber warna alam di sekitarnya. Setelah pendamping dan penenun mendapat pelatihan warna alam di bulan September 2013, yang digagas ASPPUK, kini mereka mencoba mempratekannya langsung. Tepatnya, di bulan Januari 2014, 23 Ibu penenun yang terlibat praktek pewarnaan alam mengetahui cara melakukan mordating/pencelupan yang selama ini belum pernah dilakukan, karena sebagian besar menggunakan benang yang diwarnai.
Prosesnya, sebelum melakukan pewarnaan, mereka melakukan perendaman benang sutra yang sebelumnya direbus dengan air tawas selama satu jam, lalu direndam selama 24 jam kemudian diangkat dan diangin-anginkan hingga kering. Terus mereka melakukan pencelupan esok harinya.
“Alhamdulillah kini pera penenun telah merasakan bagaimana mempraktekan pewanaan alam yang selama ini hanya mendengar saja”, ungkap bu Musnah setelah pelatihan. Kini 23 orang perempuan yang terlibat mengetahui cara melakukan mordating/pencelupan yang selama ini belum pernah dilakukan (ids, berdasarkan laporan bulanan KPPA).