TIGA perempuan itu bergegas menuju balai pertemuan kelompok Maju Mandiri Bersama Keluarga di Dusun Kiu Tetah, Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, minggu lalu.
Sepekan sebelum merayakan Hari Ibu, 22 Desember, mereka melakukan pertemuan bersama. Mereka mengevaluasi usaha kelompok tahun 2014 dan membuat program kegiatan untuk tahun 2015. Kelompok perempuan yang terbentuk tahun 1997 itu telah mendorong kemandirian ekonomi 52 kelompok tani di Kupang.
Ketiga ibu itu adalah pengurus inti jaringan perempuan untuk usaha kecil dan menengah keluarga, yang beranggotakan 645 perempuan dan sebagian kecil kaum pria. Mereka adalah Martha Kewuan (54), Wakil Ketua Jaringan Perempuan untuk Usaha Kreatif (Jarpuk); Clara Tawa Wenggu (35), Ketua Kelompok Wanita Tani Cinta Damai; dan Henny Padeda Amekan, Ketua Jarpuk.
Martha adalah pendiri dan penggagas awal Jarpuk Ina Foah atau Perempuan Membangun di Noelbaki. Cikal bakal terbentuknya Jarpuk, yang merambah ke dua kabupaten di NTT, adalah ketika ia mengajar anak-anak usia sekolah di sekitar rumahnya tahun 1996 untuk membaca, menulis, membuat puisi, dan budi pekerti.
”Saya temukan ada persoalan dalam perekonomian rumah tangga orangtua mereka. Tahun 1997, saya membentuk kelompok usaha bersama simpan pinjam yang diberi nama Theresia Calcuta dengan anggota 55 orang,” paparnya.
Tahun 2002, ia membentuk Jarpuk Ina Foah dengan anggota sekitar 100 orang dari kaum perempuan.
Jarpuk Ina Foah berkembang pesat dengan pembentukan kelompok wanita tani (KWT) sebagai unit usaha. Setiap kelompok beranggotakan 10-22 orang. Kelompok wanita ini bergerak hampir di semua bidang perekonomian keluarga, yakni menanam sayur di pekarangan, memelihara ikan, memelihara ayam, membuat kerupuk, membuat minyak kelapa, membuat pakan (pelet) untuk ayam dan ikan, serta membuat kain tenun. Sukses mendongkrak perekonomian keluarga, tahun 2005, sejumlah kaum pria meminta bergabung dan disetujui. Namun, jumlah perempuan tetap lebih banyak dalam kelompok itu. Pria yang boleh menjadi anggota kelompok adalah suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
KWT pun diganti nama menjadi Pusat Penyuluh Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S). Kegiatan usaha diperluas, termasuk dengan membuat tambak ikan dan udang serta merehabilitasi rumah anggota. Kaum perempuan di P4S juga belajar mencampur semen, membuat lantai, dan mendirikan bangunan. P4S pun berencana mengembangkan usaha dengan membuat batu bata. Sebagian besar hasil usaha itu dijual melalui toko dan kios di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Harga barang ditentukan oleh kelompok. Hasil usaha itu juga menjadi milik kelompok, dipegang oleh ketua kelompok masing-masing, dan dilaporkan kepada anggota. Keuntungan dari berbagai usaha itu dibagikan kepada semua anggota dengan bagian Rp 300.000-Rp 750.000 setiap pekan. Modal usaha tetap dipegang ketua kelompok. Untuk mendukung keuangan kelompok, mereka membentuk usaha simpan pinjam pula.
Keuangan keluarga
Clara mengatakan, kehadiran Jarpuk dan P4S membuat kesulitan keluarga untuk mendapatkan uang sekolah bagi anaknya, atau tak mampu membeli seragam, dapat teratasi.
”Kami, ibu rumah tangga, tak lagi meminta uang belanja, uang sekolah anak, dan uang seragam kepada suami. Pekerjaan suami buruh atau tukang ojek. Dengan usaha seperti ini, tak hanya perekonomian rumah tangga yang tertolong, tetapi kehidupan keluarga pun kian rukun,” ujarnya.
Saat ini, sedikitnya ada 52 P4S di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Pembentukan kelompok ini diprioritaskan di daerah pinggiran yang jarang mendapatkan perhatian pemerintah. Minat warga untuk masuk ke kelompok ini sangat tinggi. Ratusan ibu rumah tangga ingin bergabung dengan P4S terdekat, tetapi hanya tiga orang yang diizinkan bergabung. Ketiga anggota baru itu pun pada gilirannya harus membentuk kelompok baru untuk membantu sesamanya dan memperluas jaringan Jarpuk dan P4S. Jumlah anggota di setiap kelompok tidak boleh lebih dari 22 orang.
”Jika ada yang ingin bergabung dan bertanya akan mendapatkan uang berapa, langsung saya minta dia mencari pekerjaan lain. Kelompok ini tak berpikir untuk uang, tetapi untuk bekerja bersama. Mengutamakan uang membuat orang sering gagal dalam usaha,” kata Clara.
Menurut dia, orang harus bekerja dahulu, mengeluarkan keringat dan berkorban, baru mendapatkan imbalan. Falsafah kelompok ini sudah dipahami semua anggota. Sukses atau gagal kelompok itu bergantung pada semangat, minat, kerelaan, kerja sama, dan pengorbanan semua anggota untuk tujuan bersama. Oleh: Kornelis Kewa Ama Sumber Kompas.com